Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Restu Ayah

14 Juni 2011   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ehm, tetap dia? Apa tidak ada laki-laki lain?”
Ayah berkata sambil tetap menatap koran pagi yang dipegangnya.
Seperti biasa, secangkir kopi dan sepiring kue buatan ibu berteman dengan Koran pagi adalah sarapan Ayah.
Itu komentarnya waktu ibu menanyakan siapa yang akan menjemputku setiba di Jakarta, besok. Aku memilih diam.
Aku cuti seminggu dan memilih pulang ke rumah untuk sekedar menenangkan diri. Rasa lelah kembali merajai setelah aku dan Danu bertengkar hebat.
Danu ingin meminta kepastian padaku, kapan kami bisa meresmikan hubungan kami ke dalam sebuah pernikahan. Tapi aku belum bisa memberinya jawaban. Dia tahu, Ayah tak merestui hubungan kami.
Enam bulan yang lalu saat mengajak Danu ikut pulang ke Yogya dan mengenalkannya pada Ayah, aku tak pernah menyangka reaksi Ayah.  Awalnya aku tak mengerti mengapa, hingga Danu bercerita sore harinya. Ayah bertanya padanya tentang keluarganya. Tak disangka Ayah mengenal Almarhum Ayah Danu.
Dahulu saat masih sama-sama muda, Ayahku Bramantyo dan Ayah Danu, Herman Faisal menuntut ilmu di kampus yang sama. Mereka sama-sama mengambil jurusan tehnik mesin di perguruan tinggi yang sama, termasuk bersaing mendapatkan cinta dari seorang gadis yang sama. Hingga suatu hari tragedi itu terjadi. Maya, gadis itu hamil oleh perbuatan Herman Faisal. Demi mendapatkan gadis itu, Herman mengajaknya ke pesta dan membuatnya mabuk. Hubungan intim yang dilakukan tanpa kesadaran penuh karena pengaruh alkohol itu membuat Maya hamil.
Saat Bramantyo-ayahku- menemui Maya, gadis itu menangis. Menanggung malu dan murka dari orang tuanya. Saat itulah Bram tahu kalau sesungguhnya Maya mencintainya. Tapi dengan terpaksa Maya menerima pernikahannya dengan Herman. Tapi ternyata Herman tak lebih dari Playboy yang senang melompat dari satu perempuan ke perempuan lain. Selain memang mahasiswa yang cerdas, Herman juga berasal dari keluarga kaya raya. Berbeda dengan Bram yang berasal dari keluarga guru. Bukan perkara sulit buat Herman membuat perempuan bertekuk lutut.
Petualangan itu tak berhenti hanya karena beristri Maya yang sedang hamil anaknya. Bram yang sering menjenguk Maya, yang mengerti keadaannya.
Hingga akhirnya nyawa Maya dan bayinya tak terselamatkan. Mereka meninggal dalam lara hati. Dan Bramantyo-ayahku- yang menyaksikannya.
Dendamnya tak pernah surut. Hingga menyelesaikan kuliah ayahku tak pernah bertegur sapa dengan Herman.
Cerita itu kutahu dari Ibu. Ibu mendapatkan penjelasan dari Almarhum nenekku. Tapi dulu ibu tak pernah tahu siapa nama laki-laki dan perempuan teman ayah itu. Hingga saat membujuk ayah enam bulan yang lalu ibu baru tahu.
Setelah lulus, Herman-ayah Danu- meneruskan usaha orang tuanya. Keluarga mereka memang keluarga pengusaha kaya raya yang terkenal di Jakarta. Sementara ayahku bekerja di sebuah perusahaan perminyakan milik negara hingga usia pensiunnya. Setelah pensiun ayah memilih tinggal di Yogyakarta, kampung halaman ibuku.
Aku tak pernah menyangka, perkenalanku dengan Danu menjadi penyambung kisah itu. Aku mengenal Danu lewat seorang teman saat kami makan siang di sebuah pusat perbelanjaan.
“Danu” Katanya mantap sambil menjabat tanganku.
“Tiara” Sahutku.
“Nama yang cantik secantik pemiliknya.” Pujiannya membuatku tersipu.
Entah mengapa genggaman mantap tangannya saat bersalaman, senyumnya dan wajah kokohnya membuatku tak bisa tidur malam itu. Hingga suatu hari, aku menerima telepon dari nomor yang tidak kukenal di telepon genggamku.
“Hai, Tiara. Masih ingat aku? Danu.”
Aku terkejut. Darimana ia tahu nomor telepon genggamku.
“Maaf ya, aku memaksa Dina memberikan nomor teleponmu.” Katanya seperti memberi jawaban.
Dan semua mengalir begitu saja. Tiara dan Danu, tak bisa dipisahkan sejak itu.
Kami berkantor di tempat yang berbeda. Aku tenaga akunting di sebuah perusahaan di pusat kota Jakarta. Sementara Danu adalah seorang pengusaha muda yang mewarisi usaha besar ayahnya.
“Pasti dia menggunakan cara-cara yang membuatmu terbang melambung untuk mendapatkan perhatianmu. Keturunan Herman, pasti melakukan hal yang sama.” Kata Ayah begitu terdengar menyakitkan pagi itu.
Lagi-lagi aku dan ibu hanya bisa terdiam. Tak sanggup aku mengeluarkan sepatah katapun. Tak kumengerti pula bagaimana gejolak hati ibuku. Di usia senja, ternyata suaminya masih mengingat cinta lalunya yang terenggut.
“Tak adakah laki-laki lain, Tiara?” Kata Ayah sambil menatapku.
Aku menunduk.
“Sudahlah, Yah. Kita sarapan dulu. Kita bicara lagi nanti.” Kata Ibu.
“Ayo, Ra. Habiskan nasi gorengmu. Nanti keburu dingin.” Ajak ibu berusaha terdengar riang.
Tapi aku tahu, hatinya pasti juga bimbang. Tadi malam kami ngobrol berdua di kamarku. Ayah pergi ke rumah Pak RT yang sedang mengadakan syukuran akikah cucu pertamanya.
“Sebenarnya ibu tak tahu harus bagaimana, Ra. Rasanya tak adil juga menyamakan Danu dengan ayahnya. Tapi sebagai perempuan, rasanya menakutkan mendengar apa yang dilakukan ayahnya pada Maya dulu.” Kata Ibu.
“Tapi, Bu. Danu bukan Herman. Tak adil kalau ayah dan ibu menyamakan keduanya.” Aku berusaha mendebat ibu.
“Tolonglah aku, Bu. Tolong bantu aku melunakkan hati ayah.” Pintaku dengan tangis berderai.
“Ibu sudah mencoba, Ra. Sejak kalian pulang enam bulan yang lalu. Ibu rasa Danu anak yang baik. Ibu berusaha meyakinkan ayah hal itu. Tapi ayah tetap pada pendiriannya.” Jawab Ibu.
Aku menangis dalam pelukan ibu. Aku bercerita tentang keributanku dengan Danu. Dia meminta kepastian hubungan kami. Meminta penjelasan kapan kami bisa meresmikan hubungan dalam sebuah pernikahan. Dia sungguh-sungguh serius dengan hubungan kami.
Tapi ibu benar-benar tak tahu cara untuk meyakinkan ayah.
Hingga hari terakhir di rumah, aku tetap tak tahu harus bagaimana. Rasanya memang takdirku untuk mengakhiri hubungan kami. Tak mungkin aku menentang ayah yang sedemikian kuat menentang hubungan ini. Aku memang pengecut. Aku tak punya nyali untuk melawan ayah demi hubunganku dengan Danu.
Hingga saat bertemu Danu keesokan harinya, aku hanya bisa diam. Di bandara, Danu menyambutku dengan pelukan. Menciumi kepala dan rambutkku.
“Aku kangen, Ra.” Bisiknya lembut.
Aku diam dan menunduk.
Dalam perjalanan menuju kosku pun aku lebih banyak diam. Sepertinya Danu mengerti, aku tak berhasil meyakinkan ayah.
“Ra, aku tahu. Ayahku mungkin memang petualang cinta. Bahkan ibuku pun adalah istri ketiganya.” Jelasnya padaku.
Aku terkejut. Baru kali ini aku tahu.
Danu menoleh memandangku, mengangguk.
“Ya, Ra. Ibuku adalah istri ketiga dari ayahku. Bukan pula istri terakhirnya. Masih ada satu istri yang sekarang tinggal bersamanya hingga akhir hidupnya di Surabaya.” Kata Danu lagi.
“Tapi aku bukan ayahku, Ra. Aku tahu penderitaan perempuan yang ditinggalkan. Aku melihatnya pada ibuku.” Danu berusaha membela diri.
Seandainya aku bisa meyakinkan ayah dengan kalimat itu. Aku hanya mampu terdiam.
Dan akhirnya setelah berkali-kali berdebat dan berargumentasi, keputusan kami sudah bulat. Kami akan tetap menikah dengan atau tanpa restu ayah. Kalau ayah tetap tak merestui juga, kami akan kawin lari.
Aku sempat takut. Sejak dulu, aku adalah anak kebanggaan ayah dan ibuku. Anak tunggal yang tak pernah menggantungkan hidup dengan kemanjaan pada apa yang orang tuaku miliki. Penerima beasiswa di sekolah menengah bahkan pernah saat kuliah. Menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan predikat Cumlaude. Bekerja pun aku tak perlu meretas jalan sulit dan berliku. Semua kudapat dengan mudah dengan modal kecerdasan dan keluwesan pergaulanku.
Tapi ternyata berbeda untuk masalah cinta. Aku tak pernah jatuh cinta hingga bertemu Danu. Dan aku tak bisa melepaskannya begitu saja walau dengan tentangan ayahku.
Dan saat kedatangan kami setahun kemudian.
Kulihat mata ayahku terbelalak. Bahkan Ibu hanya terpaku di depan pintu.
Aku datang bersama Danu yang menikahiku secara sirri dengan perut yang mulai membuncit di kehamilan yang menginjak tujuh bulan.
Hari itu ayahku langsung pingsan dan terkena serangan jantung. Setelah dua hari kritis akhirnya ayahku meninggal dunia. Ibu menangis tak henti-hentinya. Aku benar-benar tak mengerti harus bagaimana. Semua mata menatapku seolah menuduhku sebagai pembunuh ayahku sendiri.
Dan di tahun berikutnya, aku pulang menengok ibu hanya berdua dengan Maharani putri kecilku. Danu suamiku memilih terbang ke Singapura bersama sekretaris pribadinya yang juga perempuan simpanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun