Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perjalanan

31 Maret 2011   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bagian I

Dio berlari mengejar bolanya yang diambil Rara. Bocah tiga tahun itu berusaha merebut kembali bola dari sang kakak, gadis kecilku yang tahun ini memasuki usia lima tahun. Keduanya tertawa terkekeh-kekeh.

Sementara di tepi taman, aku dan Laras istriku duduk bersisian menyaksikan mereka. Kutolehkan kepala menatap istriku, perempuan keturunan Medan yang menghabiskan sebagian masa remajanya di Aceh-tempat pertama kali kami bertemu. Perempuan paling sabar kedua-setelah ibuku-yang pernah kutemui.

Tak pernah kusangka, perjalanan hidupku akan menemui manisnya kehidupan rumah tangga seperti ini. Masih lekat dalam ingatanku perjalanan sejak kecil yang kulalui di Jawa Timur. Lahir hingga sebagian masa remajaku di Surabaya dan berpindah di kota kecil Kertosono karena kenakalanku. Ya, karena kenakalanku Bapak mengungsikan aku ke tempat nenek. Hal yang justru membuatku merasa semakin terbuang. Kilasan demi kilasan masa lalu pun satu persatu berkelebat.

****

Aku terduduk menundukan kepala dalam-dalam di hadapan Bapak. Akhirnya orang tua itu datang juga menjengukku dalam tahanan. Sudah tiga hari aku berada di tempat ini tanpa seorang pun datang menjenguk.
“Apa lagi sekarang maumu, Le?” Tanyanya.
Aku diam.
“Belum cukup semua kenakalan-kenakalan yang kau lakukan? Belum puas juga kau mempermalukan aku dan ibumu?” Tanyanya lagi.
Aku terdiam dan mulai terisak manakala ia menyebut kata “ibu”.
Perempuan lembut yang selalu mengalah dan diam bahkan saat tangan-tangan perkasa bapakku mampir di tubuhnya. Meninggalkan bilur-bilur kebiruan dan tetesan bening dari matanya. Perempuan yang sangat kuinginkan untuk melawan semua ketidakadilan yang terjadi di depanku. Hingga akhirnya aku tak mampu lagi menyimpan banyak harap untuknya melakukan apapun.
Ingin rasanya aku berteriak dihadapan lelaki tua ini, aku sangat mencintainya dan ibuku. Tapi aku juga ingin dia mencintai kami dengan cara yang kami harapkan. Bukan dengan tangan dan teriakan yang tak pernah menyejukkan kalbu. Aku ingin dicintai dengan kelembutan, dengan rengkuhan hati , dengan kesejukan senyumannya.
“Cengeng!” Bentaknya.
Aku tak peduli. Aku kangen Ibu.
“Sekarang kau siap-siap. Hari ini aku sudah mengurus kebebasanmu. Tapi aku sudah tak mau berurusan dengan kenakalanmu. Kau akan ku kirim pada Mbah uti. Biar kau tau rasanya tinggal tidak dengan orang tuamu. Sudah cukup kemanjaan dan kenakalanmu.” Katanya tegas bahkan terdengar kasar di telingaku.
Bah, takkan sudi aku tinggal di rumah Mbah utiku. Setelah tak mampu mencintai anaknya bahkan ia kini  berniat membuangku.
Kuangkat kepalaku, menatap matanya dengan tajam.
“Cukup! Sekarang kita keluar dari sini, bersikap baiklah setidaknya pada para petugas  yang ada di depan sana. Setidaknya mereka tak mencincangmu setelah menambahi pekerjaan mereka denga urusan anak-anak berandalan macam kau.” Katanya lagi.
Dia beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu, berhenti dan menoleh. Menatap aku yang masih terduduk diam.
“Kau masih ingin disini?” Tanyanya nyinyir.
Kuangkat tubuhku pelan dan beranjak mengikutinya.
Disalaminya beberapa petugas yang ada ruangan itu dan aku hanya mengikutinya. Sebentar ia berbasa basi mengucapkan terimakasih. Lalu kami pulang.
Di rumah, ibu hanya mampu menatapku. Tak berani mendekat apalagi memelukku. Tapi aku tahu, beliau ingin memelukku hanya takut pada ayahku. Pasti lelaki itu akan berteriak mengatakan, “Jangan kau manjakan anakmu. Biar dia menjadi laki-laki!”
Dia pikir laki-laki tak perlu pelukan ibunya? Tak perlu kata-kata lembut perempuan yang sudah melahirkannya? Tak perlu belaian perempuan yang menyusuinya?
Betapa sangat ingin kupeluk tubuh ringkih itu, seperti memeluknya saat-saat ia hanya mampu menangisi rasa sakit di tubuh dan hatinya. Betapa ingin kurengkuh ia dalam pelukanku seperti saat malam-malam kutemuinya sedang sendiri dan menatap langit dari  teras rumah kami.
Air mataku nyaris jebol dari pertahannya, tapi kugigit bibir untuk menahannya. Takkan kubiarkan ia menerima teriakan lagi karena melihat tangisanku.
“Cepat kau bereskan semua barang-barangmu. Aku sudah mengurus surat kepindahan sekolahmu.” Teriakan itu membahana lagi dalam ruang ini. Dan itu kali terakhir aku bertemu ibu di rumah ini dan menatapnya sedemikian rupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun