“Mengapa Kau tetap setia padaku?” Tanyaku sambil menatap ombak yang berdebur di pantai pasir panjang.
Sore itu kami berdua duduk di tepiannya. Terdiam sejak tadi tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut kami.
Aku mencoba menganalisa sikapnya. Beberapa kali aku melukai hatinya, berpetualang dari satu perempuan ke perempuan lain. Berulang kali pula tangis itu yang menghentikanku. Berulang kali pula ia memaafkan dan tetap setia berdiri di sisiku.
Aku menoleh saat beberapa tak ada jua jawab darinya. Laras menatapku.
“Apa itu tujuanmu? Agar aku pergi meninggalkanmu?” Tanyanya menohok relung paling dalam dalam diriku.
Aku terdiam. Aku sendiri tak mengerti.
“Sejak dulu aku sudah tahu. Kau hidup sendirian. Tak ada orang tua tempat mu berkeluh, tak ada pula sanak kadang tempatmu berteduh. Sahabatpun tak lebih dari orang yang ada saat kau tertawa bahagia. Lalu haruskah aku meninggalkanmu sendirian?” Tanya Laras lagi.
Aku menoleh.
“Delapan tahun kita hidup bersama. Selama itu pula aku semakin menyadari, kau lah laki-laki yang pertama dan akan menjadi yang terakhir dalam hidupku. Aku mencintaimu.” Ucap istriku dengan nada yang begitu indah terdengar.
Ku peluk tubuh mungilnya, tangisku pecah.
****
Dan gadis kecil itu terlahir setelah dua belas tahun pernikahan kami. Setelah lelah aku bertualang. Setelah kami merasakan hidup berpindah dari kota satu ke kota lain, sesuai penempatan tugasku. Dan akhirnya di Bogor jagoan kecil kami menyusul melengkapi.
Yang membuat cintaku pada Laras semakin besar adalah permintaannya untuk memaafkan ayahku dan mengajaknya hidup bersama kami. Di usianya yang mulai tua, tubuhnya mulai digerogoti penyakit. Semakin lemah dan tak mampu hidup sendiri.
Saat mengajak Laras mengunjunginya, istriku memintaku mengajaknya bersama kami. Mencoba meyakinkanku bahwa Beliau membutuhkan aku, anak semata wayangnya. Membutuhkan kami, keluarga yang dimilikinya.