Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kabut di Ujung Hari Adinda

2 Februari 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Adinda terpekur di kursi ruang tunggu stasiun Tugu. Kereta Api Taksaka yang akan membawanya kembali ke Jakarta belum datang. Tapi semangatnya untuk kembali bergelut dengan hari-hari kuliahnya sudah menguap. Semua sejak sore tadi saat berpamitan dengan Bapak.

Saat melihat Adinda sudah selesai membereskan isi ranselnya, Bapak mengajaknya bicara di ruang tengah. Dimintanya Adinda duduk di dekatnya. Hanya berdua.

“Nduk, beberapa hari kamu di rumah. Beberapa kali pula Bapak mendengar nama Yogi kau sebut. Boleh Bapak tahu, Yogi yang mana? Sepertinya anak bapak sudah mulai gede iki.”

Sambil tertawa, pertanyaan itu tetap saja membuat Adinda terkejut. Ia berusaha mengingat-ingat, benarkah sering disebutnya nama itu? Ah, malu rasanya sampai bapak mengamati. Jangan-jangan Ibu dan Mas Dika juga memperhatikan hal yang sama?

“Lho, kok malah diam. Kalau Bapak ndak boleh tahu ya, sudah.” Kata Bapak lagi.

Adinda tersenyummalu.

“Ah, Bapak. Teman kok.” Sahutnya dengan tersipu.

“Bapak masih ingat kan, tetangga kita dulu waktu keluarga kita masih tinggal di Jakarta? Pak Haris.” Tanya Adinda.

“Ehmmmm, Jadi benar dugaan Bapak. Yogi anak Pak Haris?” Bapak balik bertanya.

Seberapa dekat hubungan kalian? Boleh Bapak tahu?” Tanya Bapak lagi.

Adinda hanya mengangguk tak menjawab sepatah katapun dan hanya menunduk.

“Kalau boleh Bapak ingin meminta padamu. Tolong jangan lanjutkan kalau memang ada hubungan khusus diantara kalian.” Kata Bapak dengan mata menerawang.

Adinda terkejut.

“Kenapa, Pak?” Tanyanya.

“Maafkan, Bapak. Bapak tak bisa menjelaskannya sekarang padamu, Nduk.” Kata Bapak lagi.

Dan pembicaraan itu terputus karena ibu mengingatkan sudah waktunya berangkat. Mas Dhika sudah siap di motor karena setelah mengantar Adinda, dia langsung ke kampus. Mas Dika memang kuliah di Yogya sementara Adinda memilih di Jakarta walaupun harus menikmati hidup menjadi anak kost dan jauh dan orang tua. Tapi sebagian masa kecilnya pernah dilalui di kota itu sebelum Bapak dan Ibu memutuskan pindah ke Yogya. Di Jakarta pula mereka bertetangga dengan Pak Haris dan Yogi menjadi teman bermainnya dulu. Usia mereka memang terpaut cukup jauh, tapi karena itu Yogi sering melindunginya bila diganggu anak-anak jahil. Mas Dika bukan tak membela, tapi lebih sering asyik bermain dengan teman-temannya sendiri.

Akhirnya Adinda mencium tangan Ayah dan Ibunya. Ibu sempat mencium pipinya dan berpesan agar hati-hati dan segera menelepon ke rumah setelah tiba di Jakarta.

****

Setahun lalu saat baru tiba di Jakarta, Adinda menghubungi nomor telepon yang sudah lama disimpannya. Saat keluarganya pindah, Yogi memintanya menyimpan nomor telepon itu.

“Telepon aku, kalau kamu tiba-tiba ada di kota ini.” Pintanya saat Adinda berpamitan dulu. Saat itu Adinda baru kelas satu SMP dan Yogi sudah kelas dua SMA.

Saat telepon terhubung, Tante Ambar, ibu Yogi yang mengangkat dan memberitahu kalau Yogi belum pulang. Jadi Adinda hanya meninggalkan nomor telepon kostnya.

Beberapa hari ditunggunya telepon dari Yogi hingga nyaris putus asa, hingga suatu siang saat sedang tak ada kuliah dan hanya tergeletak di kamar dengan sebuah novel.

“Din, ada telepon tuh.” Suata Tante Nunik ibu kostnya.

Adinda berjalan dengan tak berselera menuju meja telepon di dekat ruang tengah. Tempatia bersama teman-temananya biasa berkumpul disore hari setelah lelah beraktifitas seharian. Tapi siang itu ruang tengah sangat sepi. Biasanya hanya teman-teman yang sedang butuh meminjam catatan yang meneleponnya di jam seperti ini, keluhnya.

“Ya, halo.” Sapanya malas.

“Adinda?” suara di seberang mengejutkannya. Tak dikenalnya suara itu.

“Iya, siapa ini?” Tanyanya.

“Ya, ampun Din. Jutek banget sih, lo. Ini Yogi.” Sahut suara di seberang sana.

Adinda terlonjak.

“Hai, Ihh kok lama banget baru telepon? Dinda udah tungguin dari kemarin.” Katanya manja.

Dulu ia sudah terbiasa bermanja-manja pada cowok itu. Abang, panggilan sayangnya untuk dia.

Terdengar suara tawa di sana. Mereka ngobrol hampir satu jam dan sepakat bertemu di akhir pekan. Di sebuah toko buku, karena Yogi belum tahu daerah kostnya.

Sejak itu mereka sering bertemu. Hampir setiap malam menelepon hanya untuk bercerita peristiwa yang mereka alami siang harinya.

Hingga beberapa hari sebelum ujian, dia dan Yogi jalan ke sebuat toko buku. Sebenarnya hanya ingin membeli novel saja. Tapi hari itu menjadi hari yang spesial untuknya.

Saat makan di sebuah warung bakso di dekat toko buku, Yogi menatapnya. Adinda heran dan jengah.

“Kenapa sih? Ada yang salah ya?” Tanyanya.

“Salah? Apanya yang salah?” Yogi balik bertanya.

“Dari tadi, kamu tuh ngeliatin aku kayak gitu. Memang adayang aneh dengan wajahku?” Tanya Adinda sambil mengusap wajahnya. Siapa tahu memang ada sambal atau kotoran yang menempel di pipi atau di hidungnya. Tapi ia terkejut karena Yogi malah menyentuh lembut dagunya.

“Ngga ada yang salah kok. Cuma suka aja liat wajah cantik kamu.” Katanya lembut.

Uh, gombal sekali, tapi Adinda suka. Hanya malu karena ada beberapa orang disitu, tak hanya mereka. Adinda menunduk setelah menepiskan tangan Yogi yang tertawa senang melihat wajah merahnya.

“Din, ada pesaing ngga sih?” Tanya Yogi.

“Pesaing?” Dinda tak mengerti maksud pertanyaan itu.

“Ya, iyalah. Apa iya, di kampusmu tidak ada satu pun cowok yang memberi perhatian khusus pada cewek secantik kamu? Atau kamu judes sama mereka ya? Jadi Cuma baik sama aku?” Kata Yogi lagi.

“Huh, Kegedean kepala sih. Yang naksir ya jelas banyak. Dinda gitu……” Sahutnya.

‘Tuh, kan. Banyak saingan.” Keluh Yogi.

“Ihh, Abang ini ngapain sih?” Sahut Adinda bingung.

Yogi menatapnya, Adinda salah tingkah. Lagi-lagi tatapan itu seperti menghujam langsung ke dalam hatinya. Adinda menunduk,berpura-pura mengaduk-aduk bakso yang sejak tadi tak habis dimakannya.

Tiba-tiba tangan Yogi menarik tangan Adinda kedalam genggamannya.

“Din, Aku harus jujur. Gadis kecilku dulu ternyata sudah pergi membawa hatiku.”

Adinda menunduk.

“Aku sudah mencoba melupakan kamu. Dua kali aku coba pacaran dengan orang lain, tapi aku Cuma menyakiti mereka. Hingga aku sadar, aku Cuma nunggu kamu. Maka waktu Mama memberitahu kamu menelepon dan meninggalkan nomor, Aku bahagia banget.” Lanjut Yogi.

Lagi-lagi Adinda hanya diam dan membiarkan tangannya dalam genggaman laki-laki itu.

“Mau jadi pacarku ya, Din?” Pinta Yogi.

Adinda terdiam terpaku dan tetap menunduk. Pipinya terasa hangat, dadanya terasa berdegup kencang. Dia tak berani menatap wajah cowok yang sedang bicara di hadapannya.

“Kalau kamu ngga mau, aku maksa!” Kata Yogi lagi.

Adinda kaget dan nyaris tertawa terbahak-bahak. Bahkan dalam situasi seperti itu cowok itu tetap dengan kegilaannya.

Adinda mendongak dan menatap wajah lelaki itu sambil tertawa lebar.

“Jadi pilihanku apa?” Tanyanya geli.

“Cuma satu, jadi pacarku!” Kata Yogi mantap.

Dan mereka tahu, perasaan mereka bersambut. Mereka sama-sama tertawa. Yogi menggenggam tangan Adinda dan menciumnya. Adinda tertawa.

Bisa juga cowok gila ini bersikap romantis, pikirnya.

****

Sore itu setelah seminggu kembali dari liburan ke rumahnya di yogya, Adinda kedatangan Yogi.

“Kok, ngga bilang sih kalau udah balik kesini?” Pertanyaan itu langsung diucapkan cowok itu.

Adinda diam. Dia bingung. Berusaha menjaga jarak dengan cowok itu adalah hal yang pertama dilakukannya.Walau belum tahu alasan Bapak, tapi Adinda takut untuk menolak permintaan Bapak.

Sejak datang seminggu lalu, tak dihubunginya Yogi. Dia memilih asyik dengan buku-buku dan jadwal baru kuliahnya yang belum mulai padat di minggu-minggu awal.

“Kok, malah diam sih, Din?”

Tiba-tiba Yogi bertanya sambil berlutut di hadapannya. Adinda yang sedari tadi hanya diam menunduk terkejut. Mata mereka langsung bertemu.

Mereka tertawa, Yogi memang penuh kejutan. Itu yang membuat hari-hari Adinda terasa berwarna sejak bersamanya lagi. Apalagi sejak mereka memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih.

Pernah suatu hari, Yogi datang tengah malam. Jelas saja pintu gerbang kostnya sudah tertutup. Dari luar dia menelepon hanya meminta Adinda membuka jendela dan melihatnya.

Dilihatnya diluar cowok itu berdiri di depan pagar dan membawa sebuah cake ulang tahun dan ditiupnya sendiri. Lalu melambaikan tangan dan pergi.

Semalaman Adinda tak bisa tidur, bahagia sekaligus khawatir karena jarak kostnya ke rumah Yogi sangat jauh. Dia memikirkan apakah cowok itu sudah sampai di rumah dengan selamat.

Dan pagi harinyanya,sapaan lembut di ujung telepon membuatnya lega sekaligus bahagia.

“Selamat ulang tahun, sayang. Love you.’

Tapi siang ini, semua berbeda. Hati Adinda diliputi kebingungan. Gamang.

Tapi, tunggu dulu. Yogi pun terlihat tak seperti biasa. Ada kabut samar terlihat di balik tatapan matanya.

Adinda tahu itu. Ada yang disembunyikannya dari dirinya.

Akhirnya saat pulang dan mengantar sampai ke depan gerbang, Adinda tahu jawabannya.

“Din, mungkin ini kali terakhir aku kesini.” Yogi menghela nafas berat. Adinda kaget.

“Ada apa, Bang?” Tanyanya.

“Sebenarnya berat aku bicara padamu. Tapi aku tak punya keberanian untuk menentang orang tuaku.” Kata Yogi.

“Tadi malam kami bicara. Mereka menceritakan semua masalah antara mereka dan orang tuamu. Awalnya aku menentang. Aku tak mau kita dilibatkan dalam pertikaian mereka. Ini hati kita, hidup kita. Mereka tak punya hak merusak kebahagiaan kita. Tapi aku tak berdaya, Din.”

Jelas Yogi lagi. Ditatapnya wajah Adinda dengan sedih. Adinda kaget, ternyata ini penyebab permintaan ayahnya kemarin.

“Maafkan aku, Din. Terimakasih untuk semua kebahagiaan ini.Tolong simpan ini.” Katanya sambil mengangsurkan sebuah kotak kecil.

“Aku menabung bertahun-tahun uang jajanku untuk membelinya. Berharap suatu saat bertemu kamu dan memasangkan di jari manismu. Tapi sekarang aku tak punya keberanian, tolong simpan seperti aku menyimpan cinta kamu dalam tempat terdalam di hatiku.”

Adinda hanya terdiam, hingga mobil Yogi berlalu.

Dikamar dibukanya kotak kecil itu. Sebuah cincin emas kecil bermata merah. Didalamnya terpahat namanya. Ada sebuah kertas kecil di dalamnya.

“UNTUK SEORANG ADINDAKU, I LOVE U”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun