Huh, Dian bersungut-sungut masuk ke dalam rumah.
Untuk bocah kelas lima Sekolah Dasar itu, hari ini benar-benar mengesalkan. Teman-temannya dengan sangat bahagia mengejeknya, bahkan di sepanjang perjalanan pulang.
Dihempaskannya tubuh mungilnya ke atas ranjang. Dilihatnya lengan kanannya lalu lengan kirinya setelah kemudian beranjak ke depan cermin. Kulitnya memang berwarna hitam, coklat gelap tepatnya.
Ketukan pintu kamar mengganggu keasyikannya. Mbok Nah memanggil mengingatkannya untuk makan siang. Tapi Dian menolak. Tak bernafsu ia untuk makan hari ini. Hatinya benar-benar kesal.
Hingga malam Dian tak beranjak dari kamar.
"Dian.." Panggilan lembut Ibu sembari mengetuk pintu kamar.
"Kita makan yuk, Sayang." Ajak Ibu.
Dian tak beranjak juga.
Lalu pintu perlahan dibuka. Dian menelungkupkan wajahnya ke bantal, pura-pura tidur.
"Ibu tahu Dian belum tidur. Kata Mbok Nah, Dian belum makan sejak tadi siang. Ada pepes ikan dan sayur sop lho....." Bujuk Ibu.
Sebenarnya Dian lapar, tapi hatinya benar-benar belum bisa diajak berdamai. Tiba-tiba suara Ayah terdengar mendekat.
"Wah, ada apa nih dengan anak cantik Ayah?" Goda Ayah.
Dian langsung duduk dan berkata dengan ketus.
"Apanya yang cantik? Orang hitam kok cantik!" Wajahnya terlipat dengan bibir mengerucut.
Ayah dan Ibu tersenyum walau sedikit terlihat kaget.
"Kenapa juga Ayah dan Ibu memberi nama Dian? Udah tahu anaknya hitam!" Protes Dian lagi.
"Lho memang ada apa dengan nama Dian?" Tanya Ibu.
Dengan kesal Dian bercerita.
Tadi waktu pelajaran Bahasa Indonesia, Gurunya bercerita tentang sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana. Juga dengan salah satu karyanya yang berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam.
Rio temannya bertanya, apa artinya Dian? Apa hubungannya dengan padam?
Lalu Pak Imam menjelaskan kalau Dian artinya lentera atau lampu kecil. Jadi nyalanya bisa saja padam.
Tiba-tiba Rio yang jahil berteriak, kalau Dian itu artinya cahaya berarti terang. Tapi mengapa Dian dikelas kita gelap ya?
Dan teman-temannya tertawa riuh bahkan baru tenang setelah Pak Imam mengetuk meja.
Dian benar-benar kesal sekali.
Ayah dan Ibu tersenyum. Lalu Ayah bertanya pada Dian.
"Tahukah Dian arti nama Dian? Dian Nur Fajri."
Dian menggeleng.
"Nama yang diberikan orang tua adalah sebuah doa dan pengharapan orang tua untuk anak-anaknya sayang. Dian tahu harapan Ayah dan Ibu pada nama yang diberikan untuk Dian?" Tanya Ayah.
Lagi-lagi Dian menggeleng.
"Dian itu lentera. Lentera mungkin memang kecil. Cahayanya juga kecil. Tapi Ayah dan Ibu ingin bahwa cahaya Dian bisa seperti cahaya fajar. Yang selalu memberi harapan kepada semua mahluk di setiap pagi." Jelas Ibu.
Dian mendongak menatap Ayah dan Ibu.
"Jadi tak ada hubungannya doa Ayah dan Ibu dengan warna kulitmu, Sayang. Lagipula tak selalu orang berkulit hitam itu jelek. Coba Dian lihat saudara-saudara kita dari wilayah Indonesia timur. Kulit mereka lebih gelap tapi lihat hidung mancung mereka dan senyum mereka. Senyum yang sangat manis dan tulus yang mungkin tak dimiliki oleh setiap orang." Kata Ayah.
Dian menunduk malu. Begitu besar harapan Ayah dan Ibu padanya tapi ternyata ia tak pernah tahu bahkan mungkin tak mau tahu. Dipeluknya Ibu dan Ayah.
"Maafkan, Dian."
*mengingat seorang gadis kecil yang dulu sering digoda seperti ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H