Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan yang Datang Kala Hujan

19 November 2010   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:28 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gelegar guntur seolah membelah langit, cahaya kilat laksana penerang bagi sang malam. Rintik yang tak kunjung usai sejak senja tadi menambah mencekam.

tok tok tok

"Bu, ada tamu." terdengar suara inah.

Aku membuka pintu kamar, heran."Siapa, Nah?"

"Tidak tahu, Bu. Karena ndak kenal, saya suruh tunggu di teras. Kasihan kalau diluar, hujan." Jelasnya tanpa kutanya.

Aku berjalan keluar, seorang perempuan muda dengan sepasang balita. Berdiri melihat aku datang.

"Maaf, saya mengganggu malam-malam."

Aku tersenyum, "Tak apa. Silahkan masuk, kita duduk didalam saja ya ? Diluar dingin, kasihan anak-anak."

Dia berjalan menggandeng kedua anaknya mengikuti langkahku. Kuminta Inah membuatkan teh hangat dan menyuguhkan pisang goreng. Kulihat kedua anak itu tergesa ingin menyantapnya tapi dicegah oleh perempuan itu.

""Biar saja, anak-anak." Kataku memaklumi. Dia tersenyum. Kuperhatikan wajah perempuan muda itu. Terlihat letih, entah berapa lama dia berjalan diluar ditengah hujan bersama sepasang balitanya, kupikir kelihatannya anak-anaknya.

"Maaf, Bu. Kedatangan saya mengganggu istirahat ibu." Basa-basi pikirku.

"Tak apa, ada yang bisa saya bantu ?"

"Sebenarnya saya ingin bertemu bapak, bu. Sudah enam bulan ini bapak tak mengunjungi saya dan anak-anak juga tak mengirimi uang."

Aku terkejut. Mana mungkin suamiku ? Anak-anak kami beranjak dewasa dan kuliah di kota lain. Kesibukannya yang sering membuatnya tak dirumah dan membuat aku sepi sendiri. Hanya untuk wanita ini dan balitanya ?

Kuperhatikan wajah balita-balita itu. Usia mereka sekitar Empat dan Dua tahun. Selama hampir lima tahun artinya suamiku menyembunyikan perempuan ini? Juga kiriman-kiriman uang untuknya, kunjungan-kunjungan untuknya yang tak kuketahui.

"Dimana adik tinggal?" Tanyaku.

"Saya dari Semarang, Bu."

Kuingat, memang beberapa kali suamiku berkunjung ke kota itu dalam rangka dinas katanya. Dan ternyata. Aku semakin bingung, ada rasa pedih menyelusup dalam hatiku.

"Tapi bapak belum pulang, sedang ke Medan. Mungkin besok baru tiba. Adik mau menginap disini menunggu ?"

"Tak usahlah, bu. Saya kembali ke rumah saudara saya saja. Sejak kemarin saya menginap disana." Sahutnya.

Dia berdiri hendak pamit, tiba-tiba aku teringat. Ada yang belum sempat kutanyakan padanya.

"Nama Bapak yang adik cari siapa ya ?" Tanyaku.

"Pak Ahmad Taufan, Bu."

Aku terkejut, bukan nama suamiku."Tapi disini bukan rumah Pak Ahmad Taufan, dik."

Geli bercampur lega, aku tersenyum. Dia terkejut, mengeluarkan sehelai kertas kumal dari tasnya.

"Jalan Kemuning III no 25 ?"

"Disini Jalan Kemuning IV no. 25."

Kurangkul bahunya, kuantar dia keluar dari rumahku. Mungkin hujan dan penerangan malam yang tak seberapa membuat papan nama jalan kurang terlihat.

Aku berjalan masuk kekamar sambil tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun