Senja sebentar lagi bertandang. Burung-burung sudah bersiap pulang ke sarang. Tampak di tengah lapangan rumput, segerombolan anak-anak masih asik bermain sepak bola. Saling berkejaran menggiring dan menendang bola. Sesekali terdengar gelak tawa bahkan mengumpat dari mereka, ketika bola gagal masuk gawang. Tak jarang anak yang tak berhasil memasukkan bola ke sarang lawan akan menjadi bulan-bulanan teman sepermainannya. Kemudian berlari saling mengejar dan tawa pun berderai ceria memenuhi seluruh lapangan.
“Acchhh... masa kecil memang sangat menyenangkan,” batinku.
Belum genap enam bulan aku menetap sementara di daerah ini. Sebuah desa yang berada di kedalaman pulau Kalimantan Barat. Tempat yang terpencil dan jauh dari keramaian kota. Jarak dari desa ke kota dapat ditempuh selama hampir dua jam perjalanan. Itu pun hanya dapat ditempuh dengan jasa ojek jika tak ingin berjalan sampai tempat pangkalan mobil angkutan penumpang yang lumayan jauh. Suasana alam yang masih asri jauh dari polusi dengan hutan yang masih dibiarkan rimbun di sekitarnya. Hanya beberapa bagian saja yang sudah ditanami pohon karet. Mayoritas penduduknya adalah pendatang dari daearh-daerah di Indonesia. Sesuai program pada masa pemerintahan Alm. Soeharto, mantan Presiden Indonesia yang mensejahterakan warga dengan sistem transmigrasi untuk warga kurang mampu pada waktu itu. Setiap tempat pemukiman memiliki nama daerah masing-masing. Seperti Indramayu menandakan bahwa yang bermukim di tempat tersebut adalah penduduk transmigrasi dari daerah Indramayu, begitu juga dengan Wonosobo, Semarang, Kendal, Malang, dan masih banyak lagi nama daerah yang lain. Ini juga dapat dilihat dari bahasa yang digunakan sehari-hari.
Berawal dari rasa sosial, akhirnya aku menyanggupi dikirim ke daerah ini untuk mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah yang diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu. Melihat antusias mereka ketika sedang belajar meski hanya duduk di atas karpet tanpa bangku, sungguh suatu keharuan. Betapa mereka pun sesungguhnya memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Namun perekonomian tak memihak pada mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih layak.
Sebuah bola tiba-tiba menggelinding tepat di depanku, spontan aku meraihnya. Lalu aku tersenyum dan memberi aba-aba bahwa bola akan kulempar pada mereka. Mereka saling berebut ambil posisi.
“Awas, siap yaa...!” teriakku memberi aba-aba.
“Siappp...!!!” teriak mereka serempak.
“Lempar ke sini, Bu... Lempar ke sini, Bu...” tingkah mereka membuat aku tersenyum.
Segera kulempar bola serong ke kiri, di mana tak ada anak sama sekali. Mereka segera berebut saling mendahului untuk mendapatkan bola tersebut. Aku hanya dapat tertawa melihat tingkah lucu mereka. Mataku lalu tertuju pada seorang anak yang sedang menggendong anak lain di seberang lapangan. Dengan jalan setengah membungkuk mungkin beban terlalu berat di punggungnya, ia berjalan ke arah tempat duduk di pinggir lapangan. Aku tertarik untuk mengikutinya. Bergegas aku berjalan ke arahnya.
“Bu Riri!” belum sempat aku menegurnya, ia sudah menyapaku terlebih dahulu.
“Kamu Asoka kan?” tanyaku kemudian.
“Iya, Bu. Ibu kok ada di sini?” ia menjawab sambil mendudukkan teman yang tadi digendongnya di bangku panjang yang ada di pinggir lapangan.
“Ibu kebetulan lewat di sini terus melihat anak-anak main sepak bola. Kamu kok nggak ikut main bola, terus itu siapa?” Lanjutku ingin tahu.
“Ini adik saya, Bu. Setiap sore saya mengajaknya main ke sini, karena dia nggak bisa jalan jadi saya gendong kasihan kalau di rumah terus,” katanya sambil membenahi baju adiknya.
Namanya Nasokha, tapi temannya lebih sering memanggilnya Asoka. Anak kelas 4 Madrasah Islamiyah di tempatku mengajar. Dengan postur tubuh yang sedikit pendek dan agak gemuk. Berbeda dengan adiknya yang bertubuh kurus bahkan nyaris tinggal kulit dan tulang. Asoka adalah anak yang berprestasi, meski tak selalu mendapatkan peringkat satu namun ia selalu di urutan lima besar. Termasuk juga untuk pelajaran agama, ia paling cepat tanggap dan lebih cepat menghafal daripada teman yang lain. Aku tahu selama mengajar di sekolah itu, banyak para guru yang membanggakannya.
“Orang tuamu ke mana?” aku memandang prihatin pada adiknya yang duduk pun harus bersandar ke pundak Asoka.
“Ibu sama Bapak kerja di kota, kami tinggal di rumah sama nenek,” sambungnya.
“Jadi selama ini kamu cuma tinggal sama nenek? Terus nenek kamu sekarang di mana?” aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
“Nenek sedang jualan pisang goreng keliling, jadi saya yang gantian menjaga adik,” tangannya mengusap mulut adiknya dengan sapu tangan yang sedari tadi mengeluarkan air liur.
Subhanallah, aku benar-benar tak mampu berkata apa-apa, hanya mampu memandang kedua kakak beradik itu dengan perasaan trenyuh. Betapa hidup tak lepas dari cobaan yang mendera. Tak terkecuali pada anak-anak sekali pun. Masa kanak-kanak yang semestinya adalah masa pertumbuhan, bermain, dan belajar. Namun kenyataannya sudah harus mengecap pahitnya hidup.
“Terus kapan dong waktunya belajar kalau Asoka juga harus jagain adik?” lanjutku kemudian untuk menutupi rasa terharuku.
“Biasanya malam sebelum tidur, Bu. Tapi kalau terlalu capek ya besoknya sehabis shubuh,” terlihat matanya begitu antusias untuk menjawab.
“Wahh, kamu hebat ya, Asoka. Di samping pandai, kamu juga pintar membantu Nenek dengan menjaga adikmu. Orang tuamu pasti bangga punya anak yang cerdas seperti kamu,” aku memberi semangat dengan suara yang berapi-api.
“Kata Nenek kita harus mandiri, bahkan baju juga Asoka yang cuci sendiri,” ada kebanggan dari nada bicaranya.
Ya Allah, aku benar-benar kalah di hadapan anak sekecil ini. Memaksaku harus menghitung berapa kenikmatan yang tidak kusyukuri.
“Ini sudah hampir petang, pulanglah. Kasihan adikmu tuch, kecapekan kayaknya,” perintahku kemudian melihat hari sudah mulai gelap.
“Oh, iyaa.. kami pulang dulu ya, Bu. Nanti nenek pasti mencari kami,” jawabnya sambil bersiap menggendong adiknya.
Kubantu angkat adiknya ke punggung Asoka, yang dibebat dengan seutas kain yang telah lusuh.
“Hati-hati di jalan, yaa...” sahutku lalu mengusap rambut Asoka.
“Iya, Bu. Sampai jumpa besok di sekolah,” sambungnya sambil menyalami dan mencium punggung tanganku.
“Semangat belajar. Ibu bangga punya murid cerdas sepertimu. Jadilah kebanggaan untuk orang tuamu, yaa...” sambungku mengikuti langkah Asoka yang beranjak meninggalkan lapangan yang hanya dibalas dengan anggukannya.
Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu bangga padamu, Nak. Di balik sifat ceria dan kepandaianmu, ternyata kau sedang berjuang melawan ganasnya hidup. Yakinlah kau akan menjadi orang sukses bersama do’a Ibu, dan do’a orang-orang yang menyayangimu, Amin.”
“Jadilah bintang, anakku...!” teriakku kemudian.
“Terimakasih, Bu Guru,” jawabnya sambil melambaikan tangan.
Senyumku mengembang, bangga dan terharu. Hari ini satu lagi pelajaran hidup yang aku dapat. Bertemu seorang calon bintang yang akan mengharumkan nama kedua orang tua, bangsa dan negara. Semoga.
13 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H