Mohon tunggu...
Astro Doni
Astro Doni Mohon Tunggu... Lainnya - kausalitas dalam ruang dan waktu

menulis, memerdekakan!

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pemulung Dilarang Masuk!

2 November 2012   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:05 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13518226511226463562

‘Batu yang dibuang oleh tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru...’(Mazmur 118:22)

Logika Ekonomi Sampah

Tulisan itu masih jelas saya lihat. Sebuah kalimat perintah larangan. Dipampang di ujung gang. Isinya jelas dan cendereung diskriminatif. Pemulung dilarang masuk! Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas. Dalam prakteknya, barang-barang tersebut dijual. Ada yang berupa kertas, aneka plastik, besi dan sebagainya. Seringkali karton-karton sisa membungkus barang elektronik atau pun makanan diambil pula oleh pemulung.

Pemulung bekerja sejak subuh. Tepatnya sebelum sholat subuh sampai malam. Tidak tentu. Mereka sering membawa tas karung goni yang besar. Kemudian mendatangi tempat-tempat sampah untuk menyeleksi sampah yang mereka cari. Harga plastik sekilonya hanya Rp1.200, besi perkilonya hanya Rp3000. Kardus atau sejenisnya harganya perkilo hanya Rp 700, botol mineral perkilonya hanya Rp2.000. Yang paling mahal ialah kaleng minuman yang perkilonya Rp11 ribu. Harga-harga tersebut bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung juragan tempat penampungan sampah.

Artinya di sini ada peluang ekonomi. Ada uang di balik tumpukan sampah itu. Memang benar, ada pemda suku dinas kebersihan. Dalam kesehariannya, mereka berperan penting dalam mengatur masalah sampah suatu daerah. Lihat saja contohnya di Depok. Setiap hari, saban siang ada truk pengangkut sampah. Truk-truk itu mampir menyusuri Jalan Margonda mengangkut sampah. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah. Keberadaan pemulung yang seolah dilupakan.

Pemulung hadir di luar sistem kebersihan kota. Mereka adalah sekumpulan orang  yang tidak terdidik dan kurang paham arti kebersihan. Namun kehadiran mereka sangat banyak membantu mengurai sampah di kota. Mereka hadir karena ada sesuatu yang salah dalam sistem besar tata kelola sampah di Indonesia. Tentu masalah di satu pihak menjadi peluang di pihak lainnya. Pemulung-pemulung itu hadir karena mereka butuh uang. Mereka memungut sampah, memilahnya kemudian menjualnya kepada pengepul sampah. Selamanya ada barang bekas di situ ada uang.

Lalu kemudian pertanyaan saya, mengapa kita membutuhkan pemulung? Agak berat menjawabnya dalam paparan singkat. Garis besarnya ada tiga. Pertama. Kurangnya kesadaran kolektif kebersihan lingkungan. Apa maksudnya? Bagi saya, ini bukan sekedar memisahkan sampah kering dengan sampah basah. Tetapi kesadaran tentang bagaimana sampah itu diolah. Didaur ulang, mulai dari saat kita membuang sampah, sampai sampah itu menjadi bijih plastik. Kenyataan yang rumit itu membuat masyarakat malas mengurusi sampah dengan benar. Sampah, apapun itu tinggal dibuang saja. Peduli amat dengan sampah kering, pokoknya dibuang saja. Diikat plastik, kemudian di taruh di bak sampah. Selesai. Apa akibatnya? Sampah menjadi bau dan berair. Tanpa kita pernah sadari. Kesalahan kecil satu keluarga dalam mengelola sampah akan bermuara pada kerusakan lingkungan. Pemulung kemudian hadir untuk memisahkan sampah kering (botol plastik) dan menjualnya.

Kedua. Proses daur ulang yang ruwet.Ketika kita memutuskan untuk membuang sampah, maka kita akan masuk dalam siklus tak berkesudahan. Siklus yang dimaksud adalah proses dari awal sampah itu dibuang sampai menjadi barang setengah jadi –layak jual-. Proses daur ulang yang rumit itu membuat kita menjadi malas. Malas karena agaknya hidup kita terlalu sibuk untuk mengurusi tetek bengek bernama sampah. Bukankah tiap bulan tiap keluarga membayar retribusi biaya kebersihan melaui RT dan RW? Bukankah tiap periode (harian/mingguan) ada petugas dinas yang memunguti sampah? Di tengah sistem yang telah berjalan baik itu, diam-diam para pemulung mengurangi beban sampah kita. Mereka memunguti sampah kering.  Lupakan daur ulang sampah yang rumit itu? Buat apa dipirkan? Karena ada agen-agen perubahan. Ada broker sampah, yang disebut pemulung.

Ketiga. Karena sampah itu bau dan jijik! Jadi perlu orang-orang yang terbiasa dengan hal-hal yang bau dan jijik itu. Budaya modern membuat kita menjadi manusia yang higienis sekaligus busuk. Higienis karena kita mandi, mencuci tangan dan melakukan apa pun untuk kesehatan kita. Ironisnya kita acuh pada kotoran busuk dari kegiatan sehari-hari kita. Lihat saja sampah yang dihasilkan tiap rumah tangga. Gila! Jadi butuh pemulung yang terbiasa dengan bau dan hal-hal menjijikan itu untuk menjadi pengantara. Menjadi penghubung mata rantai yang putus itu. Pemulung yang menjadi jembatan antara rumah warga dengan tempat pabrik pengolah sampah pada akhirnya.

Hijau itu Hitam

Kenyataan tersebut menjadikan konsep Go Green menjadi kehilangan makna dalam dunia nyatanya. Konsep Go Green menjadi sebuah konsep indah di atas kertas. Yang dalam prak-teknya malahan diadaptasi dan dijiwai oleh para pemulung. Hanya satu motivasinya yaitu uang. Jadi bukan orang terpelajar yang mengerti arti lingkungan sehat yang berperan dalam Go Green. Justru orang yang pendidikannya rendah, yang melakukan perubahan Go Green.

Masalah menjadi semakin pelik, karena diketahui bahwa pemulung adalah status sosial dengan kasta terendah dalam masyarakat. Dalam hirarki masyarakat, pemulung adalah mereka yang miskin. Pemulung adalah orang tanpa identitas. Pemulung adalah residu kota, semacam sesuatu yang mengganggu pemandangan. Apa maksud semuanya ini? Saya hendak menyadarkan bahwa masalah kecil yang nampak di depan mata saya, tiba-tiba menjadi masalah moral yang penting.

Ketimbang menegasikan eksistensi pemulung. Justru kita ditantang untuk mengangkat harkat dan derajat pemulung. Dalam konteks luasnya, kebijakan publik harus merangkul mereka. Alasan utamanya adalah karena mereka manusia. Bahkan yang hendak saya tambahkan, alasan sesungguhnya adalah karena ada sesuatu yang salah dalam sistem pengelolaan sampah. Maka kita harus menjadikan pemulung bagian dari solusi itu.

Mereka layak dapat status yang manusiawi. Mereka harus diberi tempat tinggal. Mereka harus dilibatkan dalam sistem tata ruang kota. Jangan lupakan juga keterlibatan cendikia-cendikia lintas ilmu. Mereka ditantang menggabungkan ilmu sosial dan teknik lingkungan. Mereka harus bereksperimen memadupadankan sistem besar pengelolaan sampah. Merekomendasikan integrasi pengelolaan sampah. Mari kita mulai dari komunitas dahulu. Kabar baiknya, komunitas Buddha Tzu Chi telah memulainya.

Kelak, saat kita berjumpa dengan salah satu dari mereka, bolehlah kita menyadari satu hal yang penting. Bahwa pemulung adalah manusia Indonesia. Mereka adalah pahlawan-pahlawan hijau dalam kubangan sampah yang hitam.

Karena Indonesia hari ini adalah jejak langkah harapan pemulung. Harapan yang sirna, karena sebuah kalimat perintah arogan. Pemulung dilarang masuk! Dikutip dari laman http://www.kamusbesar.com/31553/pemulung 7 Oktober 2012 Dikutip dari laman http://www.haluankepri.com/insert/25168-meraup-rupiah-dari-barang-bekas-.html

7 Oktober 2012

Go Green adalah tindakan penyelamatan Bumi yang saat ini sudah mengalami pemanasan global             akibat dari ulah diri kita sendiri (http://klikgogreen.com). Pengelolaan lingkungan melalui                   perubahan dalam kebijakan publik dan perilaku individu (http://jakarta.bubyulhaq.com/definisi-      go-green/) Terinspirasi dari laman http://www.tzuchi.or.id/view_berita.php?id=2932 diakses 7 Oktober 2012

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun