Tayangan-tayangan yang ada di dunia maya yang disajikan tanpa sensor dianggap sebagai tayangan yang layak mereka tiru tanpa ada saringan apapun lagi. Jadilah generasi penjiplak menjamur di negeri ini seolah apa yang dilihat adalah benar kemudian serta merta ditiru dan dapat dengan mudah dibagikan ke semua orang.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memulai pencanangan Gerakan Nasional Literasi yang pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia secara umum dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis sehingga pada akhirnya mampu menyelesaikan masalah dan menganalisa informasi secara benar dan akurat.
Pada tingkat sekolah Kemdikbud melakukan gebrakan dengan melaksanakan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang secara khusus sasarannya adalah seluruh siswa sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk membentuk individu yang mampu mengolah informasi secara akurat melalui budaya membaca dan menulis. Pada akhirnya nanti siswa diharapkan mampu menyaring, mengolah dan menyajikan informasi yang didapat di dunia maya dengan bijak.Â
Sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia secara serentak mengadopsi program nasional ini dan langsung menjalankan program ini di sekolah masing-masing dengan harapan agar budaya membaca dan minat baca para siswa kembali tumbuh.Â
Secara umum program GLS di sekolah-sekolah diawali dengan membudayakan membaca setiap hari sebelum pelajaran berlangsung dan dilanjutkan dengan menuliskan rangkuman dari apa yang telah dibacanya. Pada tahapan selanjutnya para siswa harus mampu menyajikan tulisan dari apa yang telah dibacanya. Proses ini lakukan secara bertahap dan berkesinambungan sehingga pada saatnya nanti diharapkan akan lahir generasi penulis inovatif dan original  dari bangsa ini.
Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) yang merupakan sekolah Indonesia yang berada di luar negeri selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik dalam bidang pendidikan. Dengan membuka layanan pendidikan dasar dan menengah bagi warga negara Indonesia yang ada di Malaysia, SIKL memiliki tanggung jawab yang sama dengan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia yakni mendidik anak Indonesia menjadi insan yang berjiwa Pancasila yang mampu berkompetisi di kancah global tapi tetap berkarakter dan berbudaya nasional. Gerakan Literasi Sekolah yang dilaksanakan di SIKL pun mengadopsi program yang juga dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia yakni dengan mulai membudayakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.Â
Pelaksanaan GLS di SIKL bukannya tidak mendapat hambatan sama sekali. Karakteristik SIKL yang cukup unik menjadikan pelaksanaan program GLS ini sedikit terhambat dengan adanya beberapa alasan. Sekolah Indonesia Kuala Lumpur terletak di lokasi yang sangat strategis yakni di jantung kota Kuala Lumpur yang nota bene adalah ibukota negara. Konsekuensi dari keberadaan SIKL di tengah-tengah komunitas internasional menjadikan sekolah ini rawan terpapar perilaku negatif yang berasal dari lingkungan luar dan mempengaruhi lingkungan dalam sekolah.Â
Kemajuan teknologi yang terjadi di kota metropolitan seperti Kuala Lumpur memudahkan para siswa SIKL untuk memanfaatkan fasilitas publik yang ada secara optimal. Tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, stasiun kereta api dan bandara dilengkapi dengan wifi gratis sehingga warga bisa dengan mudah mengakses internet di mana saja dan mengerjakan pekerjaan yang memerlukan bantuan internet dengan mudah, murah dan cepat. Hal ini tentu saja merupakan salah satu bentuk pelayanan pemerintah terhadap warganya dan ini disambut secara positif dan juga dimanfaatkan secara tidak langsung oleh para pendatang seperti halnya warga negara Indonesia yang tingal di Kuala Lumpur.
Dibandingkan dengan teman-temannya yang ada di Indonesia, tentu saja hal ini menjadi suatu keuntungan bagi para siswa Sekolah Indonesia Kuala Lumpur karena mereka bisa lebih cepat mendapatkan informasi dan mencari sumber referensi yang diperlukan terutama yang berkaitan dengan pelajaran. Di Indonesia, tidak banyak tempat-tempat umum yang menyediakan fasilitas internet dengan gratis.Â
Kalaupun ada biasanya informasi pun bisa didapat dengan susah payah karena sinyal yang lemah. Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak Indonesia yang ada di pulau-pulau kecil yang belum terjangkau teknologi internet. Tentu hal ini sedikit banyak mempengaruhi informasi dan sumber belajar yang seharusnya mereka bisa dengan mudah dapatkan dan seharusnya merupakan hak dasar mereka.
Menjadi ironi jika kemudian di satu kondisi ada satu kumpulan yang bisa dengan mudah mengakses ilmu pengetahuan, sementara di tempat lain masih ada yang mengalami kesulitan untuk mengaksesnya. Yang lebih parah lagi, kemudahan-kemudahan ini kemudian disalahgunakan dengan hanya mengambil hal-hal yang isinya tidak bermanfaat, bertentangan dengan moral atau bahkan malah merusak sama sekali.Â