Mohon tunggu...
..
.. Mohon Tunggu... Ahli Gizi - ..

..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dialog

19 Desember 2010   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1292728224193699319

Judul Buku: Dialog Penulis        : Umar Kayam Tebal            : 325 hlm Terbit           : 2005 Penerbit      : Metafor Publishing 38 artikel selama kurun waktu 30 tahun, mulai 1969 hingga 1999, rasanya membuat Pak Kayam seolah sedang duduk di samping saya dan bercerita dengan asyiknya. Saya, sebagai pendengar setia, tak sekedar menyiapkan kuping sebaik-baiknya tapi juga beberapa kali bertanya. Seperti itu seharusnya dialog, bukan? Dua arah, bukan satu arah. Kadang saya memang agak bosan ketika Pak Kayam mulai bicara super duper serius seperti dalam artikel “Film Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri”, tapi saya paham, Pak Kayam sangat serius dalam artikel itu mungkin karena beliau pernah jadi Dirjen Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan pada tahun 1966-1969. Artikel semacam itu pula yang membuat saya diingatkan bahwa Pak Kayam punya banyak “wajah”. Selama ini saya baru tahu sedikit “wajah” Pak Kayam. Saya kenal Pak Kayam sebagai Pak Kayam yang nJawani (tapi Indonesia), dekat dengan wong cilik, serius, tapi tetap santai lewat 4 jilid Mangan Ora Mangan Kumpul. Sedangkan Pak Kayam yang romantis dan humanis saya kenal lewat Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Lebaran di Karet di Karet, Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Sekali waktu pernah pula saya lihat Pak Kayam sebagai Bung Karno di film G30S PKI yang saya tonton waktu masih SD. “Dialog” memperkenalkan saya pada Pak Kayam yang lain lagi. Pak Kayam yang kadar seriusnya kelas tinggi, Pak Kayam yang akademisi, Pak Kayam yang budayawan, Pak Kayam yang pernah jadi birokrat, dan Pak Kayam yang semeleh pada kehendak Tuhan. Dua artikel di akhir buku ini adalah favorit saya. Dua artikel yang menyentuh hati tentang pengalaman Pak Kayam saat akan berangkat maupun ketika sedang menunaikan ibadah haji. Dua artikel itu mengingatkan saya pada sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang saya dengar beberapa tahun lalu.

Susah bingah paringanipun Gusti Pangeran.

*dapat juga dibaca di http://aulialibrary.wordpress.com/2010/08/24/dialog/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun