Ramai pemberitaan di beberapa media lokal Surabaya bahkan telah menjadi Headline dalam dua hari ini, apalagi kalau bukan rencana penutupan Lokalisasi yang konon katanya terbesar di Asia Tenggara ini “Lokalisasi Dolly”. Sekedar Informasi, Lokalisasi ini telah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan konon sejak jaman penjajahan Belanda. Seorang teman pernah menemukan buku Sejarah Asal – usul Gang Dolly. Nama Dolly sendiri adalah nama depan mucikari kebangsaan Belanda kala itu, sehingga mungkin bisa dipercaya bila lokaliasasi ini telah ada sejak jaman baheula.
Wacana Penutupan ini bukan yang pertama kali saya dengar, beberapa tahun lalu saya juga sempat mendengar wacana serupa. Wacana ini kembali dihembuskan media setelah Gubernur Jawa Timur yang akrab disapa Pa’de Karwo meminta Pemkot Surabaya untuk menutup Lokalisasi Dolly. Tidak mudah memang menutup lokalisasi ini, ada banyak faktor yang memerlukan pertimbangan khusus, seperti :
- Faktor Kemiskinan.
Kemisikan selama ini diyakini sebagai Faktor Primadona. Mencari uang dengan menjual kehormatan sebagai perempuan untuk membiayai hidup memang terdengar begitu memilukan, tapi itulah yang selama ini diyakini.
- Perputaran uang yang luar biasa menggiurkan.
Dari Penelusuran seorang wartawan harian lokal di Surabaya yang saya baca, seorang warga mengatakan perputaran uang disini sangat menggiurkan. Kita ambil contoh retribusi saja. Setiap pelanggan dikenakan Retribusi yang katanya dikelola oleh RW setempat sebesar Rp.5000 / jam. Warga tersebut mengungkapkan paling tidak setiap PSK bisa melayani 4 pelanggan setiap harinya. Berarti setiap PSK bila dihitung telah memberikan kontribusi sebesar Rp.20.000/ hari, atau Rp.600.000/bln. Sedangkan menurut Data Puskesmas setempat jumlah PSK mencapai 1200-an orang. Berarti dari retribusi saja bisa menghasilkan uang sebesar Rp.720.000.000/bln. Itu baru dari retribusi, belum dari pungutan lainya seperti ijin mendirikan wisma, pemutihan usaha, pungutan plakat “TNI dilarang masuk”dan pungutan – pungutan lainnya. Si Mucikari sendiri, selain mendapat uang dari PSK, juga meraup keuntungan rata – rata Rp.10.000/botol dari botol Bir yang dijual. Dan masih banyak lagi.
- Sudah mendarah daging.
Karena sudah ada sejak jaman Belanda, tentulah ini memiliki kesulitan sendiri. Warga sekitar sudah menggantungkan perekonomian dari sini sejak lama. Seperti Tukang Becak, Supir Taksi, Musisi, Warung – warung, dan banyak lagi. Sehingga penutupan Lokalisasi tidak hanya berdampak pada PSK dan Mucikari saja, tapi juga warga sekitar.
Tahun lalu, saya pernah membaca harian lokal Surabaya yang melaporkan hasil penelusuran bahwa ternyata anak – anak usia 11 tahun dan 14 tahun pun telah menggunakan jasa PSK hanya dengan membayar Rp.10.000 saja. Salah satunya yang menjadi sumber adalah anak jalanan. Dia mencopet, hasilnya dia belikan bir dan sisanya untuk menyewa jasa PSK. Ini memang tidak terjadi di Dolly tapi di daerah lokalisasi lainnya di Surabaya. Namun bisakah Anda bayangkan, anak usia 11 tahun sebaya dengan ponakan saya yang berusia 10 tahun sudah mengenal seks. Wah saya sampai merinding saat membaca beritanya.
Sehingga menurut Gubernur Jawa Timur Pa’de Karwo, Gg.Dolly harus ditutup karena :
- Penyebaran Penyakit kelamin dan Virus HIV AIDS sudah sangat memprihatinkan. Sejak 2006 hingga 2010 ada 62 PSK di Gg.Dolly terindikasi terjangkit virus HIV, dan banyak PSK yang terjangkit penyakit kelamin. Ada berapa pria hidung belang yang kemudian terjangkit HIV dari PSK dan kemudian menularkan pada istri dan keluarga lainnya.
- Faktor Kemiskinan bukanlah faktor utama.
Walikota Surabaya Ibu Risma, sempat menolak penutupan Lokalisasi secara langsung. Beliau mengkhawatirkan, para PSK tersebut justru menyebar kemana – mana, di jalan – jalan, dan itu hanya akan menambah persoalan bagi Pemkot Surabaya. Apalagi banyak PSK Dolly yang bukan berasal dari Surabaya. Belum lagi warga sekitar yang sudah menggantungkan perekonomian dari bisnis esek – esek tersebut. Dikhawatirkan mereka akan menambah panjang permasalahan kesejateraan sosial yang belum diselesaikan di Surabaya.
Namun pagi ini, saya kembali membaca Surat Kabar Lokal Surabaya yang memberitakan rencana Pemerintah yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Gus Ipul. Gus Ipul menyatakan wacana penutupan tetap akan dilaksanakan secara bertahap hingga diharapkan 4 tahun lagi Gg.Dolly sudah benar – benar bisa ditutup. Selama ini Pemkot Surabaya telah mengadakan beberapa usaha seperti pembatasan PSK baru, pemberian kegiatan keagamaan, dan ketrampilan. Setelah ini Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya akan meningkatkan kegiatan – kegiatan tersebut, dan menambahkan beberapa program efektif lainnya, termasuk pemberian modal bagi para PSK. Diharapkan dengan modal tersebut, mereka bisa membuka usaha sendiri.
Pemkot sendiri mengusulkan adanya pemasangan CCTV di setiap pintu wisma. Dengan begitu, Pemkota Surabaya bisa memantau ada tidaknya PSK baru, dan membatasi kunjungan pelanggan. Tentu saja pria hidung belang akan berfikir ulang untuk sering – sering berkunjung bila terekam oleh CCTV. Selain itu, Pemkot bisa mengenali pria yang sering berkunjung sebagai pelanggan, dan bisa meminta pelanggan tersebut untuk memeriksakan dirinya apakah tertular Virus HIV AIDS, atau tidak dengan begitu angka penderita HIV AIDS diharapkan bisa ditekan. Diharapkan, dengan adanya usul ini, Gg.Dolly bisa tutup dengan sendirinya secara alamiah. Tapi menurut saya, setidaknya para istri yang meragukan suami bisa meminta di copykan rekaman CCTV ini hehehe……
Kita lihat saja perkembangannya, tapi yang jelas sebagai warga Surabaya dan sebagai perempuan sayasangat setuju dengan wacana dan rencana di atas, menjadikan Gg.Dolly hanya menjadi sebuah sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H