Mohon tunggu...
Astrid Ayu Septaviani
Astrid Ayu Septaviani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Muslim, Seorang Perempuan, Seorang Anak, Seorang Adik, Seorang Karyawan, Seorang Mahasiswa, Seorang Teman, dan Seorang Tante dari 3 pengacau kecil. Seorang Pengagum Maria Eva Duarte ( Evita Peron ) semenjak SMP. Evita buat saya simbol kekuatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjalanan Pers dan Sedikit Rohana Kudus

9 Februari 2011   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297216650971223200

Hari Pers Nasional. Setahu saya yang disebut Insan Pers adalah mereka yang bekerja dalam dunia media jadi bukan hanya wartawannya saja. Berbicara Pers tak lepas dari perkembangannya dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, juga tak mungkin lepas dari istilah kebebasan Pers dan kekerasan pada pers. Media diakui memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk opini public, maka tak heran bila Pers menjadi sasaran pembredelan dan kekerasan dari pihak penguasa yang terusik, bahkan sampai dengan penghilangan nyawa wartawan pada masa lalu. Saya sering menyebut pemberitaan pembunuhan terhadap wartawan sebagai “pena yang membunuh tuannya”.

Pada masa pra kemerdekaan, Pers merupakan alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Para wartawan menuliskan setiap perkembangan, gagasan para tokoh, para pemuda, dan mengobarkan semangat untuk memerdekakan Indonesia. Pers tak ubahnya jembatan penyemangat untuk menggalang persatuan dan kesatuan dan kekuatan untuk mengusir segala bentuk penjajahan kala itu. Setelah merdeka, lebih spesifknya pada zaman orde baru, Pers merupakan media untuk mendukung upaya suksesnya pembangunan yang dilakukan Pemerintah kala itu. Mendukung upaya suksesnya pembagunan Pemerintah mengindikasikan Pers harus memberitakan sisi positifnya saja, lalu sisi negatifnya?? Entahlah.. mungkin Anda bisa menafsirkan sendiri. Mungkin peranan media tersebut merupakan sebuah jawaban mengapa harus ada media yang dibredel kala itu. Kritis dianggap membangkang, mengangkat sisi lain selain sisi positif yang penuh kesuksesan dianggap sebuah kesalahan dan memenuhi syarat untuk dibredel.

Pasca Reformasi, kebebasan Pers mulai menjadi bahan pertimbangan dan pembicaraan. Seperti biasa, selalu ada pihak yang pro dan kontra. Pihak yang pro dengan kebebasan Pers menyatakan bahwa kekuatan sebuah Negara tergantung seberapa bebas Pers tersebut dalam melakukan aktifitasnya. Namun pihak yang kontra menganggap bahwa Kebebasan Pers tetap harus diawasi agar tak kebablasan. Dikhawatirkan Pers justru menjadi berlebihan dan justru akan memperkeruh suasana dan mungkin saja tak perduli dengan keadaan Negara yang sudah carut marut. Tetapi ada juga pihak yang mengatakan bahwa Kebebasan Pers itu biasa – biasa saja, hanya bagian dari euphoria yang ada. Melihat dan mengetahui peranan media dari masa ke masa buat saya sesuatu hal yang sangat menarik. Betapa unik dan menariknya sebuah media atau kehidupan Pers di Negara kita. Selalu menjadi bagian dari sejarah, melekat dan tak terpisahkan dengan semua pengaruh – pengaruh yang ada. Dengan perannya sebagai saksi sejarah, Pers juga menerima konsekuensi dari apa yang dilihat dan apa yang didapatkan untuk disampaikan kepada masyarakat, termasuk kekerasan bahkan hilangnya nyawa. AJI mencatat di tahun 2010 terdapat 47 kasus kekerasan terhadap Jurnalis. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2009 yang berkisar 37 kasus.

Belakangan, kita juga mendengar kasus kekerasan Pers di Mesir. Para Jurnalis asing mendapat tindakan pemukulan, penyerangan, dirampas media komunikasinya oleh para pendukung Hosni Mubarak. Hal ini dilakukan untuk menekan pemberitaan media Internasional terhadap situasi dan perkembangan politik di Kairo. Bahkan Presiden Obama pada 05 Februari lalu pun angkat suara dengan mengecam tindakan kekerasan pada Jurnalis dan Media asing yang bertugas di beberapa titik di Kairo. Commitee to Protect Journalis (CPJ) telah mendokumentasikan setidaknya terdapat 30 penahanan, 26 serangan dan penyitaan perangkat kerja para jurnalis. Sekali lagi inilah resiko besar yang dihadapi seorang pewarta berita dalam menginformasikan suatu fakta di luar sana. Sementara kita dapat dengan aman dan nyaman menyaksikan hasil jerih payah para Jurnalis tersebut lewat layar televisi, pemberitaan di media cetak, hingga media elektronik.

Lalu, bagaimana dengan sepak terjang dan kisah wartawan dari jaman ke jaman?? Saya ingin mengingatkan pada sosok Rohana Kudus. Siapa yang tak mengenal pendiri Koran perempuan pertama Indonesia ini.Rohana Kudus masih satu kerabat dengan H.Agus Salim, dan Chairil Anwar. Beliau lahir di tahun 1884. Bisakah dibayangkan bagaimana kemudian beliau menjadi wartawati?? Kebiasaan Beliau kala itu adalah membaca koran – koran berbahasa Belanda yang dibawa pulang oleh Ayahnya. Ya seperti seorang Ayah kebanyakan di jaman dulu, Ayah Rohana pun melarangnya untuk membaca koran – koran tersebut, namun Beliau tetap saja membacanya. Berawal dari keprihatinan Beliau pada keadaan para perempuan kala itu yang tak bisa membaca dan menulis, Rohana Kudus pun mengajarkan baca tulis pada perempuan di sekitar rumahnya. Tak hanya baca tulis, Beliau pun mengajarkan menjahit dan berbagai ketrampilan lainnya. Setelah menikah dengan Abdul Kudus, Rohana kemudian membangun sekolah perempuan yang mengajarkan banyak hal seperti baca tulis, budi pekerti, ketrampilan, Agama, dan banyak lagi. Dengan kebiasaannya menulis dan wawasannya yang luas ia pun menerbitkan surat kabar perempuan pertama dengan nama Sunting Melayu. Sunting Melayu dikelola oleh Pemimpin Redaksi, Redaktur, dan penulis yang semuanya adalah perempuan. Beliau juga mendirikan sekolah dengan nama Rohana School. Dari sebuah kebiasaan membaca Koran, hingga akhirnya memiliki Koran sendiri. Keren bukan??.

Selain Rohana Kudus, di jaman pra kemerdekaan juga ada SK Trimurti, yang kini namanya diabadikan untuk sebuah ajang penghargaan. Saya pernah menuliskan kisah beliau yang awalnya juga tak pede menulis hingga berani menulis, bahkan tulisannya pula yang mengantarkannya keluar masuk penjara, melahirkan anak dalam penjara, dan banyak lagi. Silakan klik link berikut untuk selengkapnya. Saya jamin Anda tidak akan menyesal mengenal sosok Beliau.

Ketika Rohana Kudus mampu mencerdaskan lingkungan sekitarnya, ketika SK Trimurti menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan, atau ketika Dahlan Iskan kini berbuat banyak untuk bangsa dengan menjadi Dirut PLN, maka bisa dikatakan Jurnalis / Pers telah memberikan sumbangan besar untuk bangsa ini. Wartawan tak pernah behenti memberi solusi dengan berbagai cara, seperti Budiarto Samabzay, wartawan senior Kompas yang sering kita dengar pendapatnya di beberapa media televisi, Wartawan Senior Rosihan Anwar dengan buku – bukunya dan tentunya Kompasiana sebagai salah satu ruang solusi yang dibangun oleh para wartawan handal Kompas. Tak diragukan lagi keberadaan Pers sebagai saksi sejarah sepanjang masa. Termasuk dosen saya (Alm) Zainuddin Nasution, seorang wartawan foto Surabaya Post dan pernah menjadi ketua PWI Sidoarjo. Sebagai saksi sejarah, ia menggambarkan setiap peristiwa dengan sangat sempurna tak hanya lewat foto bahkan lewat sebuah tulisan. Saya selalu mendapat C setiap kali mengikuti kelasnya, entah itu kelas fotografi atau kelas Jurnalistik. Beliau sangat detail dan begitu teliti serta idealis. Saya belajar banyak hal darinya, dan merasa beruntung pernah berada dibawah bimbingannya.

Begitulah perkembangan Pers dari masa ke masa. Bagaimana seorang Jurnalis/Wartawan berkiprah dari waktu ke waktunya, mereka mengagumkan. Selamat Hari Pers Nasional, tapi ngomong - ngomong apa sebenarnya makna Hari Pers Nasional??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun