Mohon tunggu...
Astrid Ayu Septaviani
Astrid Ayu Septaviani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Muslim, Seorang Perempuan, Seorang Anak, Seorang Adik, Seorang Karyawan, Seorang Mahasiswa, Seorang Teman, dan Seorang Tante dari 3 pengacau kecil. Seorang Pengagum Maria Eva Duarte ( Evita Peron ) semenjak SMP. Evita buat saya simbol kekuatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme Menteri Perburuhan Indonesia

25 Oktober 2010   08:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti Anda mengenal Soerastri Karma Trimurti atau biasa dikenal dengan nama SK.Trimurti. Ya... Beliau adalah Mantan Istri pengetik Naskah Proklamasi Sayuti Melik. SK.Trimurti mempunyai nama asli Soerastri. Nama Karma dan Trimurti adalah nama samaran yang Beliau gunakan ketika menulis artikel di masa perjuangan. Beliau kala itu sering dipanggil dengan panggilan Zus Tri, Zus adalah panggilan untuk perempuan pejuang. SK.Trimurti yang lahir pada 11 Mei 1912 tercatat juga sebagai Wartawati 3 jaman ( Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan ).

Kisah perjuangannya dimulai dari rasa kagumnya pada pidato – pidato Bung Karno. Ketika Beliau mendengar Partindo ( Partai Indonesia ), partai dimana Bung Karno dikenal sebagai salah satu petingginya membuka rekrut dan pelatihan Kader, Ibu Trimurti pun ikut mendaftar. Saat itu Beliau adalah seorang Guru Sekolah Dasar Khusus Putri di Surakarta dan Banyumas.Setelah aktif di Partindo dan juga mengajar di Perguruan Rakyat Bandung ( Milik Sastrawan Sanusi Pane ), Ibu Trimurti diminta oleh Bung Karno untuk menulis artikel di harian Pikiran Rakyat yang dipimpin oleh Bung Karno. Awalnya Ibu Trimurti menolak karena merasa tidak sanggup untuk menulis tapi toh akhirnya tulisan pertama Beliau diterbitkan oleh Pikiran Rakyat. Selama di Bandung, Ibu Trimurti pernah tinggal di rumah Ibu Inggit Garnasih.

Setelah Pikiran Rakyat dilarang terbit, Ibu Trimurti kembali ke rumah orang tuanya di Klaten. Namun akhirnya bersama dengan teman – teman pejuang di Jogja, mendirikan majalah Bedug, yang terinspirasi dari Bedug Masjid yang mampu mendatangkan umat muslim untuk sholat, diharapkan kelak Majalah ini bisa memanggil masyarakat untuk berjuang bersama. Aktifitas perjuangan Ibu Trimurti mulai mendapat kendala dari Sang Ayah yang tidak merestui kegiatan berbahayanya. Ibu Trimurti kemudian memutuskan keluar dari rumah. Ibu Trimurti bersama teman – temannya membuat Majalah Marhaeni yang merupakan corong perjuangan Partai Marhaeni Indonesia ( PNI ). Ketika terpilih sebagai Ketua PNI Jogja, SK Trimurti dibantu dengan Sekretaris Partai membuat dan menyebarkan pamflet yang menyerukan pada masyarakat untuk berjuang bersama. Karena kegiatannya ini, Ibu Trimurti merasakan kehidupan penjara untuk pertama kalinya. Ia dijebloskan oleh Kolonial Belanda di Penjara Khusus Wanita di Bulu, Semarang. Keluar dari penjara, seperti tak pernah kenal menyerah dan jerah akan kehidupan penjara, Ibu Trimurti kembali berjuang lewat pena dengan bergabung di percetakan kecil milik para pejuang kala itu “Suluh Kita”. Selain di Suluh Kita, Ibu Trimurti juga menjadi redaktur di Harian Sinar Selatan.

Harian ini yang kemudian menerbitkan tulisan Sayuti Melik yang berisi ajakan pada masyarakat untuk tidak membela Belanda dan Jepang, dan harus merebut kemerdekaan dengan usaha sendiri. Tulisan yang kemudian mempertemukan Ibu Trimurti dengan Sang Suami Sayuti Melik pada tahun 1937. Namun karena tulisan ini jugalah, Ibu Trimurti kembali di penjara karena mengakui tulisan Sayuti Melik sebagai tulisannya. Pada Juli 1938, Sayuti Melik menikahi Ibu Trimurti yang saat itu masih berstatus tahanan luar. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai dua orang putra Moesafir Karma Boediman dan Heru Baskoro.Sungguh memprihatinkan karena Ibu Trimurti harus menikmati kembali aroma penjara dengan bayi kedua yang dikandungnya selama 3 bulan. Heru Baskoro pun dilahirkan di penjara.

Sebagai wanita yang dipenjara oleh pemerintah Jepang, bukan berarti Beliau tak mendapatkan siksaan kala itu. Beliau bahkan pernah dipukul kepalanya menggunakan tongkat karet, yang awalnya hanya pelan – pelan namun kemudian dipukul dengan keras hingga membuat Ibu Trimurti tersungkur di atas meja tak berdaya. Penjajah Jepang kemudian memanggil Sayuti Melik yang juga dipenjara untuk melihat keadaan istrinya pasca penyiksaan. Bung Karno yang kala itu berada di Semarang mendengar info seputar Sayuti Melik dan Trimurti. Bung Karno kemudian mengupayakan berbagai cara untuk membebaskan keduanya dari Tahanan Penjajah Jepang, dan memboyong keduanya ke Jakarta. Ibu Trimurti kemudian ditugaskan untuk membantu Putera ( Pusat Tenaga Rakyat ). Beliau juga merupakan saksi hidup detik – detik menjelang Kemerdekaan hingga pembacaan teks Proklamasi.

Setelah Merdeka, Beliau aktif di beberapa kegiatan seperti Gerakan Wanita Sedar ( Gerwis ) yang kemudian kita kenal dengan Gerakan Wanita Indonesia ( Gerwani ), menjadi anggota pengurus Partai Buruh Indonesia ( PBI ) hingga menjadi Menteri Perburuhan Indonesia pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifudin II. Beliau jugalah yang kemudian membuat aturan kerja bagi Buruh Perempuan seperti Cuti Menstruasi di hari pertama, dan beberapa peraturan lain yang memihak pada Buruh Perempuan. Pensiun menjadi Menteri, Ibu Trimurti melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Setelah itu pada tahun 1962 Beliau ditugaskan oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia dan beberapa Negara Eropa lainnya untuk melakukan studi banding dan mempelajari Worker’s Management. Pulang Ke Indonesia, selain menjadi Dewan Pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Beliau juga aktif di Petisi 50, dan menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri pada era Orde Baru. Majalah ini lebih berisi pada hal – hal keagamaan dan ketenangan jiwa.

Kisah cinta yang terajut dalam bingkai rumah tangga selama puluhan tahun pun harus kandas, ketika Sayuti Melik sang suami berniat berpoligami. Sebagai aktivis perempuan yang menolak keras Poligami, Ibu Trimurti memutuskan untuk berpisah dengan Sayuti Melik yang begitu dicintainya pada tahun 1969. Sikap tegasnya menolak Poligami juga ditunjukkan melalui perdebatan dengan Bung Karno ketika Bung Karno berencana menikahi Bu Hartini. Namun toh, sikap tegasnya yang berujung pada kurang membaiknya hubungan Bung Karno dengannya tak menyurutkan niat Bung karno untuk memberikan penghargaan Bintang Maha Putra Tingkat V kepada Ibu Trimurti.

Di masa tuanya, Ibu Trimurti masih sering menghadiri rapat Petisi 50, naik bis sendirian di usia 82 tahun, dan harus terkulai tak berdaya di beberapa Rumah Sakit di Jakarta karena penyakit tuanya ( diduga terdapat varises pada perut Beliau ). Beliau juga sempat mengalami pikun, hanya mengenali putra bungsunya, Bung Karno, Ali Sadikin, dan beberapa penggal kisah masa lalunya yang heroik. Kedua tangannya terpaksa diikat di tempat tidur karena kebiasaan Beliau yang suka menggaruk – garuk badan dan menarik selang makannya. Matanya pun seperti lelah untuk terbuka. Hanya suaranya yang kadang terdengar mendendangkan langgam jawa “Ilir – ilir “. Semua derita itu berakhir pada 20 Mei 2008 di RSPAD Gatot Subroto, hanya 9 hari setelah Beliau menggenapi usianya menjadi 96 tahun. Beliau tak hanya meninggalkan keluarga dan dunia ini, tetapi juga meninggalkan cerita Heroik para pejuang perempuan dalam memerdekakan Indonesia. Terima kasih Ibu Seorastri Karma Trimurti.

Sumber Foto : google.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun