Mohon tunggu...
Astrid Ayu Septaviani
Astrid Ayu Septaviani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Muslim, Seorang Perempuan, Seorang Anak, Seorang Adik, Seorang Karyawan, Seorang Mahasiswa, Seorang Teman, dan Seorang Tante dari 3 pengacau kecil. Seorang Pengagum Maria Eva Duarte ( Evita Peron ) semenjak SMP. Evita buat saya simbol kekuatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Moment Masa Damaiku di Palembang

8 November 2010   11:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:46 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, ketika saya sedang jenuh dengan tugas – tugas yang menumpuk, saya memilih membuka facebook saya. Sedikit terhibur rasanya membaca status fb teman – teman mulai dari kabar gembira, patah hati, hingga status lucu yang konyol.Lalu, saya membaca message di inbox saya, dari seorang teman SMA. Dia bilang dia suka dengan catatan – catatan saya yang hanya ada 4 catatan. Saya juga tidak tahu apa yang dia suka dari catatan saya, saya membaca ulang ke 4 catatan tersebut, dan tiba – tiba saya jatuh hati pada salah satu catatan saya hehehehe……. Catatan yang saya tulis satu hari sebelum Hari Raya Waisak. Catatan itu saya tulis karena rasa rindu saya pada teman – teman SD saya di Palembang.

Dulu, saya disekolahkan Ibu saya di sekolah Katolik, sebuah sekolah yang sangat unik menurut saya. Seumur hidup saya, selama saya sekolah, saya tidak pernah menemukan sekolah seunik ini. Namanya saja yang sekolah Katolik, tetapi penghuninya begitu beragam. Dominasi memang ada di Agama Katolik dan Kristen, tetapi banyak juga yang beragama Muslim seperti saya, banyak juga yang beragama Hindu dan Budha. Tidak hanya orang Palembang yang menjadi siswanya, tetapi banyak juga orang Tionghoa, orang Jawa, orang Manado, orang Kalimantan, Arab, bahkan India, seru sekali memiliki mereka dalam kisah masa kecil saya.

Sekolah saya dikelilingi 3 tempat Ibadah : Masjid, Gereja, dan Klenteng. Suatu sore, ketika kami sedang asyik bermainbenteng – bentengan, tiba – tiba teman saya yang beragama Kristen mengusulkan untuk menghentikan permainan, katanya “ada Adzan” jadi harus berhenti untuk menghormati. Jujur, saya yang beragama muslim saat itu malah tidak tahu akan hal tersebut, malu rasanya . Dan di hari – hari tertentu, Gereja yang jaraknya tak jauh dari sekolah saya seolah menyapa kami dengan bunyi lonceng yang sayup – sayup terdengar indah. Lalu, bila Imlek atau Hari Waisak tiba, maka Klenteng dekat sekolah saya akan memproduksi asap yang luar biasa mirip seperti kebakaran. Asap itu selain berasal dari hiu / dupa berbagai ukuran, juga berasal dari lilin merah yang sangat..sangat besar, mungkin 3x badan saya besarnya, dan 2x tinggi saya tingginya. Sore harinya, setelah umat Budha selesai beribadah petasan yang sudah digantung dinyalakan, jadi seru sekali bener – bener rame….

Saya punya pengalaman, saya sering bermain ke rumah teman saya yang kebetulan beragama Budha. Kalau mau ke rumahnya, pasti lewat kuil / klenteng, saya pernah lihat patung Budha yang besar dari pagar samping Kuil / Klenteng, saya kagum dengan patung itu. Sejak kecil saya sangat suka benda – benda yang berbau China, Ibu saya sampai heran kenapa saya sangat suka benda – benda berbudaya tionghoa. Dulu, seingat saya, ketika Imlek, teman – teman saya tidak libur seperti sekarang, maklum Gus Dur tokoh Pluralisme itu belum menjadi Presiden. Jadi teman – teman saya kadang membawa angpao mereka ke sekolah. Salah seorang teman saya menunjukkan angpao – angpao yang dia dapat sembari bercerita bahwa hanya orang yang belum menikah saja yang berhak mendapatkan angpao. Dia malah berniat membagikan sebagian angpaonya pada saya, dan mengajak saya jajan di kantin. Saya menolak. Saya hanya minta amplop angpao yang warnanya merah dengan gambar yang lucu – lucu. Dengan segera teman saya memnidahkan uangnya dan memberikan amplop merah yang lucu itu pada saya, saya senang bukan main saat itu. Maklumlah, namanya juga pecinta budaya China hehehehe…….

Selain amplop itu, teman saya juga memberikan gambar Dewi Kwan Im ( Avalokitesvara ), katanya gambar itu bisa melindungi saya. Saya terima saja, lawong gambarnya bagus dan gak dijual di toko – toko. Saya juga pernah diberi gambar Yesus Krsitus dengan doa – doanya oleh teman saya yang beragama Katolik, “aku punya dua” katanya. Lagi – lagi saya terima pemberiannya hehehhe……Mereka juga mengajak saya ke rumah mereka saat perayaan Imlek. Selain kue keranjang yang legit, mereka menyodorkan saya manisan buah yang warnanya seperti traffic light : merah, kuning, hijau. Saya selalu tertarik dengan manisan – manisan itu. Kalau di Palembang, kadang kue keranjang di goreng dengan telur hampir mirip menggoreng perkedel kentang, rasanya tetap enak.

Saya yang sudah sebesar ini jadi senyum – senyum sendiri mengenang masa kecil yang begitu menyenangkan. Masa yang telah berlalu lebih dari 10 tahun yang lalu. Saya sangat beruntung bisa menjadi bagian dari cerita mereka, dan benar – benar beruntung memilki mereka dalam kisah masa kecil saya. Bagaimana hanya ada damai di antara sekian ragam suku, Agama, dan etnis. Bagaimana kami begitu saling menghormati dan menghargai satu sama lain apapun agama kami, dari manapun kami berasal dan dilahirkan, dan darah apa yang mengalir dalam tubuh kami. Mau orang China, India, Jawa, Manado, Palembang, Sumatra, Kalimantan. Mau beragama Kristen, Islam, Katolik, Budha, dan Hindhu, permainan kami sama. Kami bermain benteng – bentengan, kami bermain kasti, bermain karet, bermain bola bekel, bermain engkle, ular tangga, monopoli, petak umpet dan apapun itu.

Kami tak perlu mendaftar dan mencentang salah satu pilihan agama, suku, asal daerah maupun etnis. Dulu, masing – masing dari kami bebas bercita – cita menjadi Presiden tanpa mengetahui kenyataan adanya anggapan “harus menjadi orang Jawa untuk menjadi Presiden”. Melihat kenyataan adanya penikaman Pendeta HKBP, Upaya penurunan Patung Budha di Tanjungbalai, penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, sempat terlantarnya para korba banjir Wasior, serta tulisan – tulisan yang menggambarkan dampak Jawanisme, membuat saya ingin kembali menjadi anak kecil. Lebih baik menjadi Astrid kecil yang begitu damai bersama teman – temannya yang beragam. Tapi waktu tak bisa diubah mundur ke belakang, mungkin kalau Doraemon itu benar – benar nyata ada, mungkin saya akan menggunakan laci lorong waktu atau pintu kemana saja milik Doraemon untukkembali pada masa kecil, lalu saya akan merekam moment dimana teman saya memberikan gambar Dewi Kwan Im, Yesus Krsitus, dan amplop angapo, mungkin saya akan merekam moment kebersamaan kami ketika kami menghias telur paskah yang lucu – lucu, mungkin saya merekam bagaimana kompaknya kami ketika bermain kasti dan menguploadnya di youtube hehehhee….. tapi itu bukan solusi.

Solusinya ya apalagi kalau bukan saling menghargai dan menghormati, dan tentu saja doa untuk keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Berlomba untuk saling memberikan manfaat bagi sesama. Tak perlu menunggu bencana untuk menyadarkan bahwa kita dari Sabang hingga Merauke adalah saudara. Tak perlu menunggu Negara ini di obok – obok kedaulatannya oleh Negara lain untuk menyadarkan bahwa persatuan dan kesatuan itu sangat penting. Betul tidak??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun