Kakak saya bukanlah produk kerusuhan. Dia lahir di Surabaya, besar di Cirebon, Karawang, Palembang, dan Malang. Kota-kota yang menghargai ke-bhineka-an. Mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Agama, suku, dan kelas sosial tidak pernah diajarkan padanya. Itu mengapa, dia tidak pernah bersedia menjelaskan secara rinci maksud dari pernyataannya “Biar nggak dikira Kristen, Kampung Kristen, Kampung Islam, dan lain-lain.” Dia hanya berkata “tapi di sini aman kok.” Dia tidak ingin menceritakan apa yang sesungguhnya dia rasakan selama tinggal di Maluku Tengah.
“Kakakku bisa merasakan apa yang kamu rasakan.” kata saya pada teman saya.
“Itu karena kakakmu bukan anak kecil. Sebenarnya mungkin semua daerah sama. Kamu nggak merasakan perbedaan itu karena kamu masih kecil.” jawabnya.
“Mungkin iya. Buatmu. Nggak buatku. Buktinya, kita ngobrol di sini. Dulu, kita sering menghabiskan waktu berdua seharian. Pernah kamu nggak nyaman sama aku?” dia hanya menggelengkan kepalanya.
“Itu karena aku ataupun kamu tidak pernah berpikir apa agamaku dan agamamu? apa suku-ku dan suku-mu? apa kerjaanku dan kerjaanmu?” sambung saya.
“Kamu tidak pernah mempermasalahkannya, tapi orang lain?” sahutnya cepat.
Pertanyaan itu tidak bisa saya bantah lagi. Saya tidak pernah merasakan apa yang dia dan kakak saya rasakan. Saya paling suka lihat Upacara Bendera di Istana Merdeka lewat layar kaca. Saya suka melihat barisan pelajar yang memakai beragam pakaian daerah, membaur menjadi satu. Saya suka melihat berbagai wajah petugas Paskibra dari 33 propinsi yang pasti suku dan agamanya berbeda.
Perbedaan itu selalu ada. Bukan hanya perbedaan Agama, suku, kelas sosial dan lainnya. Bahkan perbedaan itu ada dari cara kita tersenyum, tertawa, menatap seseorang, memilih pendidikan dan karier, memilih hobi dan tempat berlibur, memilih gadget, sudut pandang, cara memandang masalah, cara menyelesaikan masalah, cara makan, cara tidur, cara menata rumah, memilih tempat nongkrong, memilih bahan bacaan dan lainnya.
Perbedaan itu ada di setiap individu. Antara satu pribadi dengan pribadi lainnya. Antara suami dan istri. Antara kakak dan adik. Antara orang tua dan anak. Antara kita dan teman kita. Tapi coba lihat, betatapun menyebalkannya keluarga, teman, ataupun kekasih, ketika kamu pernah sekali saja merasa nyaman dengan seseorang, tak peduli seberapa besarpun perbedaan antara kamu dan dia, nalurimu akan tetap selalu menerimanya, meski pertengkaran harus jadi pemanis di setiap pertemuannya.
Ada teori yang mengatakan “Manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar. Dia memilih fakta sesuai dengan yang disukainya.” Kalau begitu, coba belajar mendengar naluri, hati kecil. Kalau anak kecil saja bisa, masa’ kita yang orang dewasa tidak bisa? bukankah kita harus memberikan contoh pada makhluk-makhluk kecil itu? Perbedaan bukan untuk mengkotak-kotakan manusia sesuai dengan keinginnanmu, tapi untuk menambah warna dalam hidupmu, persis seperti yang dikatakan hati kecilku, dan hati kecilmu. Coba dengarkan.
Perbedaan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Dia berubah menjadi masalah sampai kamu yang menjadikannya masalah. Masalah kecil yang kemudian dibesar-besarkan.