Novel Saman karya Ayu Utami sebelumnya mengundang kontroversial karena isinya, terutama karena mengusung tema feminisme yang mendobrak hal tabu di Indonesia, salah satunya ialah seksualitas perempuan. Akan tetapi, meski sempat menghebohkan dunia sastra di Indonesia ketika awal diterbitkan, novel Saman justru menjadi pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Bahkan, berkat novel ini pula, Ayu Utami mendapat penghargaan Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund—sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag—yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan (Ensiklopedia Sastra Indonesia).
Dalam Saman, yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana Ayu Utami menyuarakan wujud permasalahan yang dihadapi wanita melalui empat tokoh wanitanya; Laila, Yasmin, Shakuntala dan Cok. Wujud-wujud permasalahan itu diantaranya ialah pengalaman seksualitas wanita, permasalahan virginitas, kebebasan reproduksi, sistem patriarki dalam keluarga, pembagian kerja seksual, dan adat perkawinan Jawa (Sudiati, 2016: hlm. 29). Lebih dari pada itu, Ayu Utami juga membahas berbagai isu sosial yang terjadi pada masa Orde Baru (bukan hanya hak perempuan) melalui tokoh lelaki yang namanya dijadikan sebagai judul novel; Saman, sebab Ayu menulis Saman pada tahun 1997. Ayu Utami (2018) sendiri mengatakan, akhir Orde Baru dan awal Reformasi ialah suasana yang melatarbelakangi Saman juga Larung.
Wujud Permasalahan yang Dihadapi Wanita: Permasalahan Virginitas dan Pemerkosaan
Wanita dilahirkan dan ditakdirkan memiliki alat vital yang dilindungi selaput dara, dianggap sebagai porselen cina, harus dijaga dan tidak asal diberikan, jika hancur, tamatlah sudah. Sedangkan, pria tidak. Wanita diciptakan dengan selaput dara, tapi pria tidak diciptakan dengan selaput penis, Hal inilah yang mengawali munculnya suatu permasalahan yang harus dihadapi wanita dalam novel Saman.
Waktu mereka mulai mendengar bahwa aku sembunyi-sembunyi menemui seorang raksasa, ibuku membuka satu rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah porselin cina. Patung, piring, cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau muda, maupun cokelat. Tapi mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah, atau merekatkannya sebagai penghias kuburan. (Utami, 1998: hlm. 127)
Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah (Utami, 1998: hlm. 127). Virginitas seolah-olah menjadi hal yang paling penting untuk mempertahankan harga diri seorang wanita. Jika sudah tidak perawan, wanita akan dibuang. Jika sudah tidak perawan, dianggap jijik wanita itu sebab tidak bisa melindungi mahkotanya. Hingga sekarang, masalah tersebut masih sangat relevan, pemikiran masyarakat mengenai keperawanan wanita masih sama. Sesungguhnya mengenai hal tersebut, sebagian benar, wanita memang harus menjaga keperawanannya, namun menganggap wanita yang sudah tidak perawan adalah sampah? Itu yang salah.Â
Sesungguhnya, keperawanan itu milik wanita, mahkotanya dijaga untuk wanita itu sendiri, bukan untuk pria yang entah akan menjadi suaminya kelak atau siapapun. Sehingga, sebuah kesalahan jika masyarakat berpikir keperawanan seorang wanita dijadikan tolak ukur apakah wanita itu pantas atau tidak diterima dan dihargai.
Pembaca mungkin menyadari, Ayu Utami menulis Saman sebagai bentuk protesnya pada pemikiran yang menganggap wanita hanyalah sebuah barang; porselen, dan wanita harus mampu menjaga dirinya agar ia tidak menjadi barang pecah belah yang tidak dapat lagi digunakan oleh pria. Perlu orang-orang ketahui, wanita itu hancur, kehilangan keperawanannya bukan hanya karena mereka sendiri yang menyerahkan keperawanan itu, banyak pula kasus dimana lelaki sendirilah yang merenggut keperawanan wanita dengan memperkosa. Ironisnya, masyarakat hanya membuka matanya untuk melihat kasus pertama, dan menutup mata serta telinganya untuk kasus kedua.Â
Masih di dalam novel Saman, terdapat kasus pemerkosaan yang dialami oleh gadis bernama Upi. Ketika ia (Saman) kembali ke Lubukrantau, Ibu Argani menceritakan satu hal yang begitu mengejutkan dia. Dua laki-laki menjebol rantai pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah dua puluh satu tahun. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan di dadanya (Utami, 1998: hlm. 90).Â
Kasus pemerkosaan itu nyata, banyak wanita yang tidak mampu menjaga mahkotanya sebab mereka tidak berdaya, namun, berkali- kali dalam novel Saman ini, orang-orang terus mengingatkan wanita untuk menjaga keperawanannya tanpa mengingatkan pria untuk menjaga dan menghormati wanita. Itulah salah dua hal yang menjadi permasalahan yang harus dihadapi wanita yang dituliskan Ayu Utami dalam novelnya.
Peristiwa Kelam Kekuasaan Orde Baru