Bahkan, sempat berdiskusi dengan orang-orang yang pesimis dan skeptis dengan kebijakan ini, mereka menganggap kalau memang ini alasan "lingkungan" toh masih ada biodegradable plastic yang bisa terurai lebih cepat. Ujung-ujungnya, pro dan kontra disertai rasa pesimistis dengan pemerintah yang mungkin ada "sesuatu di balik batu" atas keluarnya kebijakan plastik berbayar ini tidak ada habisnya.
Beberapa saat lalu, saat menjadi peserta booth NGO dan komunitas di acara Youth Dev Summit 2016 (mewakili ARBC), salah satu pengunjung (yang kebenaran adalah junior di kampus) memberikan masukan yang mungkin bisa diterapkan bersama. Di luar negeri, di awal-awal menerapkan kebijakan plastik berbayarpun sulit, sehingga pegawai peritel memajang foto-foto menyedihkan dan mengenaskan tentang bahaya plastik, sehingga customer memilih untuk membeli dan menggunakan tas pakai ulang dan menolak menggunakan plastik. (terimakasih Shera dan Mimit, hehe :))
Ada baiknya mencoba cara tersebut karena manusia adalah makhluk visual, jika hanya ada tulisan " plastik tidak gratis, bawalah kantung belanja sendiri" , dipajang tidak menariknya menggunakan secarik kertas fotokopian, bahkan kadang-kadang sangat kecil sehingga terabaikan, buat apa dong smile emotikon
Jadi, ada dua hal besar yang menggelitik menurut saya dengan kondisi yang seperti itu. Pencerdasan "sadar lingkungan' ke ranah menengah dan menengah keatas ( akademisi, aktivis, dan sejenisnya) disudahi lah dulu kawan, karena tingkat kesadaran mereka sudah ada hanya perlu disentil hebat sekali dua kali, tapi bagi mereka yang belum tahu sama sekali, bisa jadi semangat untuk menyadarinya melebihi tingkat menengah dan menengah keatas itu.
Mungkin akan sangat efisien, ketika progress itu juga melingkupi "pencerdasan" ke ranah peritel dan unit usaha. Tapi sambil terus melakukan pencerdasan ke masyarakat dan gaya hidupnya. Kedua, tentang cara visualisasi dampak yang akan terjadi. Cara itu jelas menggunakan keadaan psikologi seseorang ketika melihat keadaan menyedihkan dan mengenaskan tersebut, secara naluri pasti ada rasa bersalah ketika mengerti bahwa apa yang dilakukannya ( tidak menggunakan plastik secara bijak) akan berdampak buruk bagi banyak hal.
Nah, terlepas dari semua itu, saya cukup salut dengan banyak orang-orang peduli dibalik penerapan kebijakan ini. Sebab saya sendiri bersama teman-teman di komunitas lingkungan menyaksikan jatuh bangunnya, susahnya melakukan audiensi dengan banyak pihak termasuk pemerintah, pihak peritel, diskusi kesana dan kemari, membuat petisi dan lain sebagainya sampai akhirnya diberlakukan kebijakan ini walaupun masih saja ada yang nyinyir, berkomentar negatif dan lain sebagainya. Tapi saya tetap optimis dan saya yakin, ini baru langkah awal dan belum menjadi "kemenangan" tapi, suatu saat mungkin akan menjadi kemenangan untuk kita semua. Tidak perlulah, sampai harus musibah sendiri yang menyentil kita untuk sadar. Karena kesadaran itu hanya dimiliki orang-orang yang bisa berpikir. Orang-orang yang buang sampah sembarangan, orang-orang yang bianya ngerusak dan gak liat ada masa depan yang dirusak dari situ, biasanya sebagian besar berasal dari kalangan orang-orang yang kurang mendapat akses pendidikan dan pencerdasan. Wajar gak kalau Indonesia ini menyandang status negara berkembang terus menerus?
karena memang akses pendidikan dan pencerdasannya masih kurang. Ditambah beberapa kalangan yang egois, ilmunya ditelen sendiri. Akibatnya, kesadaran lingkungan akan terbengkalai, dampaknya kompleks banget dan bisa meluas, ya kesehatan, keuangan, dan segala sisi kehidupan.
Pertanyaannya, mau sampai kapan?
Kalau ternyata kamu yang sudah mengenyam pendidikan masih buang sampah sembarangan, masih gak peduli untuk gak ngerusak lingkungan yang akan jadi bagian masa depanmu juga, itu artinya kamu belum berpikir. Apa gak bisa mikir?
Yuk, mulai sekarang bijak untuk pakai plastik! jangan lupa juga untuk bijak pilih pilah sampah (next post, mungkin kita berbagi lagi~)
Salam lestari, keep being green!