Ku terbangun dari tidurku. Suara jam weker berdering begitu kerasnya bersamaan dengan jeritan ibu yang akhirnya berhasil membuatku terbangun. Kutengok jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ah! Malas sekali rasanya beranjak dari tempat tidurku yang sangat nyaman ini.
“Adiitttttttt......! Mau bangun jam berapa kamu, Nak? Apa kamu gak siap – siap ke sekolah? Hari ini kan tanggal 17 Agustus.. Kamu lupa ya kalo ada upacara?” tegur ibuku.
Oya! Kok aku bisa lupa sih?! Aku baru ingat hari ini seluruh siswa SMA Tunas Bangsa II Jakarta diharuskan hadir mengikuti upacara bendera pukul enam nanti. Tak ada rasa tertarik dan minat sedikitpun pada diriku ini untuk mengikuti upacara tersebut. Apalah arti upacara bendera? Untuk apa menghormat pada bendera merah putih? Untuk apa juga dibacakan teks proklamasi? Masa bodoh dengan semua hal itu!
“Ibu..!” jeritku.
“Ibu, ibu bantu aku deh.. Telfonin sekolah bilang aku sakit atau ada acara keluarga atau apa gitu kek. Aku pingin bolos aja deh. Upacara apa pentingnya sih?! Males banget, Bu..” seruku dari dalam kamar.
“Aduh, Adit! Kenapa sih tiap kali upacara 17-an adaaaa aja. Bawaannya kok ngomel mulu? Udah sana, mandi gih trus pakai seragam..” balas ibu sambil membuka jendela kamarku yang masih tertutup rapat. Udara pagi serta hangatnya cahaya matahari langsung menembus jendela kamarku. Samar – samar juga terdengar kicauan burung bernyanyi.
Aku.. Kalau boleh jujur sih, aku emang nggak pernah merasa puas dengan bangsa yang aku tinggali selama 17 tahun ini. Negara terkorup yang pernah aku kenal. Negara yang penuh dengan konflik yang seakan – akan tak ada ujungnya. Negara yang dipenuhi oleh ketidakadilan. Semua yang berhubungan dengan negara ini tak pernah sepenuhnya aku senangi. Begitu pula dengan nilai pelajaranku di sekolah. Nilai ulangan PKN dan sejarah Indonesia tak pernah lebih dari 50. Ya, memang! Aku sangat membenci sejarah negara ini yang begitu memusingkan dan berliku – liku. Haha.. Apa susahnya coba meraih kemerdekaan dan kebebasan dari tangan para penjajah itu? Tak bisa kupungkiri lagi bahwa sikapku ini sangat bertentangan dengan kakekku yang tinggal di Surabaya. Seperti bumi dan langit. Hubunganku dengannya tak pernah akur. Aku sangat membencinya apalagi ketika ia mulai berceramah panjang lebar tentang arti dan sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tak jelas mengapa kakekku begitu handal menceritakan kisah pilu bangsa ini. Ada satu hal yang selalu membuatku merasa kasihan ketika berada didekatnya adalah kakekku kehilangan kaki kanannya saat ia masih sangat muda. Yang aku ketahui kakinya diamputasi akibat kecelakaan.
“Bu, Adit berangkat dulu ya..” ijinku kepada ibuku. Kukecup keningnya, kebiasaanku ketika aku akan pergi dari rumah.
“Ya, Dit! Ikut upacara yang khidmat dan hormat ya. Ibu nggak mau loh, Bu Citra, wali kelasmu itu, memanggil ibu lagi ke sekolah karena kamu bikin ulah waktu upacara. Sebaiknya kamu berdoa untuk jiwa – jiwa pahlawan yang telah gugur maupun yang masih hidup dalam peperangan...” lanjut ibuku yang kemudian diselingi senyumannya yang begitu khas.
“Ah..! Ibu! Mulai deh.. Ikut – ikutan kakek ceramahin aku..” balasku selagi mengunyah roti bakar coklat buatan ibuku. Segera kuberangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Bu Citra memanggilku.
“Dit!”
“Pagi, Bu! Ibu cantik banget deh pagi ini.”
“Udah deh, nggak usah ketawa sama senyum – senyum gitu. Langsung aja deh, nanti waktu upacara kamu jangan bikin ulah lagi..”
“Siap...! Hormat kepada Bu Citra, GRAK!” balasku sambil tertawa, lantas aku segera meninggalkannya.
Ehmm.. Untuk tahun ini rencanaku untuk membuat onar semoga saja bisa terlaksana dengan lancar. Diki dan Ilham yang akan membantuku menunaikan tugas. Kedua sahabatku ini telah kukenal dekat sejak kami duduk di bangku SMP. Kita bertiga emang udah klop dan kompak banget.
“Rencananya sih, nanti kita godain tuh si Rio yang freak abis..” kataku kepada Diki dan Ilham yang asik mengunyah permen karet Bubble Gump.
“Ah, Dit! Masak si Rio lagi sih? Apa nggak Intan aja? Skalian kann...” balas Diki.
“Skalian apa?” teriakku dan Ilham yang hampir bersamaan.
“Skalian kenalan gitu maksudmu? Hahaha.. Mimpi lu, Dik. Intan cantik gitu, mana mau sama kau yang kumal abis. Hahahaha.” lanjutku. Intan, gadis pujaan semua siswa di SMA ku ini. Rambutnya yang hitam panjang, kedua matanya yang begitu sempurna, serta kulitnya yang putih seputih susu berhasil merebut paksa semua hati yang melihatnya.
Tak lama, upacara pun dimulai. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan begitu kerasnya. Para anggota paduan suara dan anggota drum band sekolah berhasil melaksanakan tugas mereka dengan sebaik – baiknya.
Pagi ini, nampaknya matahari tak bekerja sama. Keringatku mengucur begitu derasnya dan berhasil membuatku bak mandi keringat. Pada saat Pak Bejo, kepala sekolah SMA Tunas Bangsa II, yang juga menjadi pembina upacara menginstruksikan kami semua untuk mengheningkan cipta. Seluruh barisan siswa dan guru mendadak diam dan tertunduk. Akal dan keisenganku mulai menjadi – jadi. Kuberi Ilham dan Diki sinyal. Lalu kita bertiga yang berbaris dibelakang Rio mulai mengeluarkan suara – suara kentut. Rio yang tadinya diam khidmat mulai merasa gelisah karena seisi sekolah mulai meliriknya dengan pandangan yang aneh, tak jarang beberapa dari mereka kelihatan menahan tawa. Namun, sepertinya Bu Citra sudah tahu bahwa itu merupakan hasil karyaku, Diki dan Ilham. Bu Citra melirikku dengan kejam sambil menggelengkan kepalanya.
Akhirnya setelah empat puluh lima menit berlalu, ritual pengangkatan bendera merah putih ini akan segera berakhir. Senangnya hatiku. Sekarang, Pak Bejo memberi wejangan – wejangan yang panjang pada kami.
“Jadi anak – anak didikku sekalian, kita, rakyat Indonesia yang hidup pada zaman ini seharusnya lebih banyak mengucap syukur atas kemerdekaan yang telah diraih puluhan tahun yang lalu. Para pahlawan kita dulu yang telah bertempur menaruhkan nyawa sampai dengan titik darah penghabisan untuk kehidupan bangsa ini di masa yang akan datang. Dan kini, sekolah kita telah mengundang salah seorang veteran pejuang yang saat ini telah berusia kurang lebih 80 tahun. Mari kita sambut, Pak Kasan...”
Apa? Pak Kasan? Kenapa namanya sama dengan nama kakekku? Ah.. Nggak mungkin kalau itu kakekku. Mana mungkin ia ke Jakarta? Kuberanikan diri melihat siapa sosok veteran yang bernama Pak Kasan itu. Lelaki tua yang sudah sangat renta. Menggunakan baju hem berwarna coklat, lengkap dengan berbagai atribut lencana yang ditempel dibajunya itu. Ia juga menggunakan topi kuning. Untuk menaikannya ke atas panggung membutuhkan bantuan empat orang guru karena rupanya beliau menaiki kursi roda.
“MERDEKA! MERDEKA! HIDUP ATAU MATI!” teriakan yang penuh semangat dari pria renta itu. Suaranya yang menggema, membuat semua hati pasti merinding mendengarnya. Tak samar mendengarkan suara ini, rasanya aku mengenalnya.
Mataku tertegun. Hatiku termenung. Mulutku membisu. Badanku mematung. Pak Kasan yang sedang duduk di kursi roda itu tak lain adalah kakekku. Ia bercerita bagaimana ia bisa kehilangan kakinya. Rupanya penjajah Jepang telah menembak kaki kanannya itu ketika ia sedang berjuang dengan sebuah bambu runcing. Jadi selama ini, cerita bahwa ia kehilangan kaki kanannya akibat kecelakaan itu semua adalah bohong. Tapi kenapa ia tak mau jujur saja padaku? Apa karena aku terlalu bersikap dingin dan jahat terhadapnya? Tanpa kusadari, air mataku perlahan turun membasahi pipiku. Tak satupun kata keluar dari mulutku. Maafkan aku, Kek.. Yang telah mengecewakanmu. Kehadiran dan perjuanganmu melawan penjajah – penjajah itu tak akan pernah tergantikan. Terimakasih atas tumpah darah yang telah kau perjuangankan untuk mengubah sejarah bangsa ini menjadi lebih baik pada hari esok. Aku sangat bangga menjadi cucumu. Aku juga bangga menjadi rakyat Indonesia.
Tamat.
(18/01/2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H