Mohon tunggu...
Astrid Athina
Astrid Athina Mohon Tunggu... -

Because we are born to speak out!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak-Hak Mahasiswa Perantau yang Terabaikan dalam Karut-Marutnya Prosedur Pemilu 2014

10 April 2014   05:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bercerita sedikit tentang kehidupan saya saat ini. Saya merupakan mahasiswi aktif di salah satu universitas swasta di Tangerang. Sudah 2 tahun ini saya tinggal disini. Namun, selama 18 tahun, saya dibesarkan di Surabaya karena Kota Pahlawan itu memang merupakan kampung halaman saya. Ya, pemilu legislatif tahun ini merupakan chance pertama saya untuk dapat ikut berpatisipasi dalam pesta demokrasi. Secara saya sudah mengantongi persyaratan untuk memiliki E-KTP dan berumur diatas 17 tahun tentunya. Excited dan bangga karena sudah dianggap cukup dewasa dan matang untuk dapat menentukan pilihan saya pribadi. Di dorong dengan fakta bahwa saya seorang mahasiswi fakultas hukum. Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa nasionalisme tertanam tinggi pada diri ini. Tanggal 9 April 2014, tepatnya hari ini, merupakan hari yang sudah saya tunggu-tunggu. Minggu ini, tanggal 7 hingga 11 April 2014 (kecuali hari ini karena tanggal merah), saya dan teman-teman yang lain sedang menjalani Ujian Akhir Semester. Minggu-minggu sebelumnya juga menjadi minggu yang berat buat kami karena banyaknya tugas paper yang harus dikumpulkan. Hal ini membuat kami (khususnya yang berasal dari luar daerah atau pulau) kesusahan untuk mengurus hak pilih di kota asal atau yang dikenal sebagai form A5. Sangatlah tidak mungkin, jika kami harus kembali ke kampung halaman hanya sekedar untuk mengurus dokumen tersebut. Awalnya, saya pikir dengan hanya berbekal E-KTP akan menyelesaikan semuanya. Pagi ini, jam 9, saya mendatangi salah satu TPS. Saya dan seorang teman yang juga berasal dari Surabaya bertanya kepada salah seorang petugas di TPS tersebut. "Bu, apakah saya bisa mendapatkan hak pilih dan mencoblos di tempat ini?" tanya teman saya. "Wah, emang adek asalnya darimana? Namanya ada di papan daftar pemilih tetap gak?" "Ya pasti gak ada lah, Bu. Orang kita dari luar kota. Soalnya sebelum kesini, kita dengar ada sosialisasi dari pihak KPU jika pemilih yang sedang tidak berada  di wilayah domisilinya hanya butuh untuk membawa E-KTP untuk mencoblos di TPS terdekat." "Ngaco itu mah. Kalo kalian emang beneran niat harusnya dari kemarin-kemarin ngurus form C6." jawab Ibu tersebut dengan nada yang mulai agak tinggi. "Waduh, jadi gak bisa dong ini?" "Ya pasti gak bisa lah. Salah kalian sendiri kenapa gak mau ngurusin jauh-jauh hari." KECEWA. Hanya perasaan itu yang tergambar dengan jelas pada perasaan kami berdua. Bayangkan saja, pagi harinya sebelum ke TPS dan malam harinya, saya dan teman saya ini sudah terlanjur dibuat excited dengan berita yang kami dengar. Kami tidak bisa memilih hanya karena harus membawa surat C6. (Sampai saya saat ini pun, saya juga kurang paham dengan definisi dan prosedur mengurus C6. Perbedaan A5 dan C6? Jangan tanya saya deh. Ntar saya kasih tau malah jadi ajaran sesat. Hehehe :p) Tidak terima dengan pendapat dari salah satu ibu petugas yang sangat kurang friendly tersebut, kami memberanikan diri untuk bertanya pada petugas lain. "Pak, selamat siang. Kami berdua berasal dari Universitas *blablalba*. Kami sangat ingin untuk dapat mencoblos pada hari ini." "Punya KTP? KTP kamu kabupaten mana?" Dalam benak saya, yang petugas kali ini malah tanya-tanya KTP kami dari kabupaten mana. Indonesia satu. Indonesia sudah merdeka. Masa mau kasih hak pilih aja tersandung daerah tempat asal? "Kebetulan kita bukan orang asli sini, Pak. Kita sampai sekarang tercatat sebagai warga Surabaya. KTP kita pun, ya pasti KTP asli Surabaya." "Wah, ya belum bisa, Dek. Kamu cuman bisa coblos disini kalau KTP kamu masih dalam lingkup Kabupaten Tangerang. Maaf ya." Lagi-lagi, nasib dan hak kami ditelantarkan begitu saja. Semakin pusing. Saya sudah patah arang pada saat itu, tapi teman saya masih penasaran. Ya sudahlah, kami akhirnya bertanya lagi kepada petugas yang ketiga di TPS yang berbeda. "Pak, bagaimana prosedur pemilu 2014 bagi mahasiswa perantau seperti kami untuk dapat memberikan hak suaranya?" "Oh.. Ntar kamu tungguin aja sampe jam 12 yah. Bisa kok pilih disini. Bawa KTP kan?" Wajah kami langsung sumringah mendengar jawaban Bapak yang satu ini. Masih ada secercah harapan buat kami untuk tidak GOLPUT. "Bawa dong, Pak. Ntar gimana ya?" "Jadi gini dek, kalian tunggu aja disini. TAPI SAYA GAK BERANI JANJI KALIAN BISA COBLOS YAH." "Lah? Terus maksudnya gimana ini, Pak? Sebentar bisa, sebentar gak bisa." "Soalnya kalian itu ntar bisa pilih kalau surat suara di TPS ini masih ada sisa. Kalau enggak ya, gak bisa. Jadi kalian tunggu aja yah. Sebentar kok, cuman 3 jam." LAGI-LAGI DI-PHP-IN (bagi yang tidak tahu PHP, PHP adalah singkatan dari Pemberi Harapan Palsu). Cukup deh, batin saya. Sudah punya niat, sudah berbekal KTP, sudah memikirkan matang-matang mau pilih partai apa malah dipersulit. Mau coblos aja dipersulit? Untuk pemilu kali ini saya rasa Indonesia cuman merdeka dalam konteksnya saja, secara riil masih jauh. Usai sudah perjuangan saya dibawah terik matahari yang cukup bersinar hari ini. Capek, letih, jadi korban PHP : SUPER SEKALI! E-KTP yang notabene selama ini dikoar-koarkan oleh pihak pemerintah akan berlaku secara skala nasional sepertinya belum berjalan dan tidak memiliki kekuatan dalam pemilu kali ini. Terus, untuk apa dana triliunan yang digelontorkan untuk menjalankan produk E-KTP ini? Sudah layakkah fungsi dari E-KTP ini? Apa bedanya dengan KTP biasa? Bayangkan saja ada berapa banyak mahasiswa lain yang berasal dari daerah lain. Ratusan? Ribuan? Belasan ribu? Golput cuman gara-gara tersangkut karut-marut prosedur pemilu 2014 ini. Sosialisasi tentang form A5 juga tidak terdengar. Banyak dari kami juga kurang paham dengan hal ini. Hak kami seakan terabaikan dan terambang-ambang ditengah ketidakjelasan. Petugas-petugas di TPS pun yang bekerja di lapangan antara satu sama lain terlihat sangat tidak kompak dan tidak paham dengan regulasi yang ada. Penjelasannya pun cenderung berbelit dan complicated. Bagaimana mereka bisa mensosialisasikan sesuatu jika mereka sendiri tidak paham dengan peraturannya? Satu kata, miris. Lalu, bagaimana dengan nasib kami, para mahasiswa perantau, dalam pemilu presiden 2014?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun