Mohon tunggu...
Nadia Astriani
Nadia Astriani Mohon Tunggu... -

ibu satu anak yang diamanahi mendidik penerus-penerus bangsa...menulis untuk belajar jujur pada diri sendiri dan belajar berlapang dada menerima berbagai respon yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi "Pareum Obor"

2 September 2010   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_247249" align="alignleft" width="183" caption="diambil dari chip.co.id"][/caption] "Pareum Obor" adalah istilah dalam bahasa Sunda yang berarti kurang lebih kehilangan jejak. Saya mendengar kembali istilah itu ketika sedang mengurus Asuransi Kesehatan, sejak awal saya merasa bahwa wajah salah satu petugas sangat familier, tapi sebagai orang yang lahir dan besar serta menghabiskan hidup di Bandung, saya sering menemukan wajah-wajah yang familier yang ternyata adalah orang-orang Bandung asli (saya mengkategorikan orang Bandung Asli bagi mereka yang sudah hidup 3 generasi di kota Bandung). Baru ketika sedang dilayani dan mengobrol dengan petugas yang duduk di sebelah petugas berwajah familier itu saya menyadari bahwa sang petugas tersebut masih terhitung paman saya, beliau adalah sepupu ayah saya dari pihak ibu. Dan Petugas yang melayani sayapun tertawa melihat saya dan temannya sama-sama baru menyadari ikatan persaudaraan itu sambil berseloroh "Jaman ayeuna mah sok kitu jeung wargi teh...sok pareumeun obor" (jaman sekarang suka begitu dengan saudara...suka kehilangan jejak). Padahal ketika kakek nenek saya masih ada 15 tahun yang lalu, minimal 2kali setaun kami bertemu, kini setelah kakek dan nenekku tiada, masih untung jika kami bertemu setahun sekali dikala lebaran, pertemuan lain terjadi ketika ada pernikahan atau pemakaman salah seorang kerabat. Dari pertemuan itulah saya menyadari mengapa orang Indonesia selalu memaksakan diri untuk mudik setip lebaran tiba. Pada dasarnya orang Indonesia bagian dari masyarakat komuna, sehingga walaupun berusaha menjadi atau bahkan telah menjadi manusia modern yang lebih individualistis, sisi tradisional itu masih melekat kuat. Hidup di kota besar yang kering sentuhan kemanusiaan, membuat manusia Indonesia tersiksa dan kehilangan jati dirinya, maka mudik menjadi sarana untuk dapat kembali menemukan jejak-jejak dirinya dengan melihat darimana sesungguhnya dirinya berasal, lingkungan seperti apa yang telah membentuk dirinya dan terkadang untuk mengingatkan kembali untuk apa dan bagaimana dirinya menjalani kehidupan saat ini. Bila dikaitkan dengan kondisi kekinian Indonesia, generasi muda saat ini bisa dikatakan sebagai [caption id="attachment_247251" align="alignright" width="300" caption="Pemuda dan Obor diambil dari rumahmimpi.net"][/caption] generasi "Pareum Obor", generasi yang kehilangan jejaknya sehingga tidak mengetahui jati dirinya sebagai orang Indonesia. Kondisi ini terjadi karena negeri ini mulai melupakan sejarahnya. Sejarah bukanlah sesuatu yang dihafalkan, melainkan dimengerti, sementara di negeri ini Sejarah sepertinya sengaja dikaburkan, sehingga generasi muda menjadi semakin bingung dan tersesat. Kebingungan itu terlihat jelas dalam pertanyaan yang diajukan mahasiswa saya di kelas "Sebenarnya pemerintah membuat aturan dan kebijakan itu untuk siapa?" "Mengapa pemerintah selalu merugikan rakyatnya?" atau yang lebih ekstrim lagi "Apa fungsi negara?". Mahasiswa saya di kelas adalah generasi muda yang besar di era reformasi, dan sepanjang dia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, yang dilihat, didengar dan dibacanya adalah hiruk pikuk politik  dan sejarah yang diputarbalikin berkali-kali di era reformasi ini. Akibatnya mereka menjadi orang yang apatis, skeptis sebagian berubah menjadi radikal. Untuk menemukan kembali jati dirinya, manusia Indonesia harus kembali membaca sejarah bangsanya, menapaktilasi jati dirinya melalui lembaran perjuangan orang-orang penting dan dianggap tidak penting untuk negeri ini. Sejarah bukan lagi untuk dihafal tapi dibaca dan ditafsirkan ulang, sudah saatnya bangsa ini mengadopsi cara-cara negara maju mengajarkan sejarah. Tidak perlu ada pengkultusan sebagian orang dan penghujatan sebagian yang lain, biarlah generasi muda ini membongkar sejarah dan menafsirkan kembali sejarah negeri ini sesuai pemahamannya tanpa didikte oleh orang-orang yang menganggap mengerti sejarah, sehingga mereka dapat memahami karutmarutnya negeri ini, jaya dan terpuruknya negri ini, termasuk berbagai pemikiran yang ada di negeri ini. Saya pikir, dengan memahami itu semua, manusia Indonesia dapat melihat kembali dirinya kebaikan dan kekurangan yang dimiliki dan pada akhirnya kembali ke jatidirinya sebagai bangsa yang toleran tapi memiliki harga diri yang tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun