Dahulu langit adalah milik kita, tempat kita terbang bebas, tempat kita bermimpi tanpa batas. Namun di negeri para binatang ini, dia terpenjara dalam kotak-kotak beton yang rapi. Konon katanya ini demi kemajuan, tetapi spesies manakah yang hendak dimajukan? Bahkan setan pun juga tak tahu jawabannya. Langit yang dulunya luas tanpa batas, kini hanyalah ilusi semata. Semuanya hanya soal uang, asalkan ada uang para anjing pun ikut senang. Di negeri penuh candaan ini, hukum saja bisa diobral apalagi langit yang sejak zaman dahulu kala gratis untuk semua binatang di bumi. Jika bukan karena mereka takut pada Tuhan, mungkin sejak dahulu langit sudah disulap menjadi apartemen mewah oleh anjing-anjing tamak itu.
"Jangan tanyakan apa yang telah negeri ini korbankan untuk kalian, tetapi tanyakan pada lubuk hati kalian yang terdalam. Berapa banyak yang telah kalian korbankan demi negeri tercinta kita ini?"
Terdengar suara penuh omong kosong dari sebuah mobil box besar dengan wajah seekor anjing botak berdasi terpampang di setiap sisinya. Gambar yang terlihat sangat berwibawa tersebut seolah memamerkan perjuangannya di masa lalu sebagai anggota pertahanan negeri ini. Sayangnya setiap binatang yang tinggal di jalanan telah sangat hafal dengan kelakuan sinting dari anjing botak itu. Selain sibuk tidur dengan betina dan mencari mangsa, keluar masuk hotel juga merupakan tradisi wajib bagi anjing menjijikkan itu.
Aku hanya bisa tersenyum sinis melihat baju mewahnya yang berbanding terbalik dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Para oknum anjing berdasi terus saja menggonggong dengan kata "pengorbanan", tetapi satu-satunya yang mereka korbankan hanyalah uang upeti yang masuk ke perut mereka sendiri. Banyak binatang kecil tak berdosa harus menahan lapar dan dahaga, menggelandang di pinggir jalan, mengais setiap selokan berharap menemukan sedikit sampah makanan yang bisa mengganjal perut mereka. Banyak kepala keluarga lari ke sana kemari mencari lowongan pekerjaan yang seolah binasa, lenyap seketika. Sementara itu, para betina mau tak mau harus keluar rumah untuk berburu apapun yang bisa dimasak agar dapur rumah mereka tetap mengepul. Mata anjing-anjing berdasi itu telah dibutakan oleh kekayaan, bahkan perilaku mereka lebih kotor dari selokan got sekalipun. Mungkin setelah ini setan pun terpaksa harus pensiun dini karena kehilangan pekerjaan mereka.
Termenung melihat pemandangan mengenaskan itu, seekor kucing lain menabrak tubuhku. Kucing putih itu jatuh tersungkur di trotoar jalan. Namun bukannya bangkit berdiri, kucing lusuh tersebut justru terkulai ke tanah dan menunduk dalam diam. Aku yang hendak membantunya berdiri, terhenti saat melihatnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Saat melongok ke sekeliling, aku melihat para kucing, tikus, bahkan musang pun teronggok di sepanjang jalanan ini. Semuanya terdiam lesu layaknya dedaunan kering yang menghiasi pinggir trotoar. Aku menatap danau di seberang jalan yang kering kerontang. Dulunya danau besar itu penuh dengan ikan, dan menjadi satu-satunya sumber makanan kami selama beberapa dekade. Tetapi sejak si anjing-anjing berdasi menempati kursi kekuasaan, mereka menguras habis satu-satunya danau yang ada di negeri ini dan menjualnya ke luar negeri. Mereka bilang kami akan diberi makanan gratis sebagai pengganti dari "pengorbanan" mulia tersebut. Bodohnya, kami tidak pernah menyangka bahwa para anjing berdasi adalah makhluk dengan banyak tipu daya. Selama seminggu pertama kami mendapatkan berkantung-kantung makanan aneh yang mereka sebut sereal kering buatan pabrik. Seminggu berikutnya jumlah kiriman makanan semakin berkurang dan selalu datang terlambat. Tepat hari ini, sudah tiga hari kami belum mendapat kiriman jatah makanan dari pusat. Kami para binatang yang tinggal di wilayah ini pun tak bisa berbuat apapun karena tidak ada lagi yang bisa diburu.
Mereka bilang ini adalah negeri yang maju, maju ke depan tetapi rakyatnya merangkak mundur di tanah yang berduri. Para binatang miskin dipasung dengan pajak tinggi, sementara untuk makan kenyang saja masih menjadi sebuah angan-angan bagi kami. Tubuh-tubuh kurus itu layaknya kerangka berbalut kulit yang dengan melihatnya saja sudah cukup membuat siapapun bergidik ngeri. Tuhan memang tidak pernah tidur, tetapi para oknum anjing penguasa lah yang selalu ketiduran. Mereka memiliki sepasang mata, tetapi memilih untuk tidak melihat kesengsaraan kami. Mereka memiliki sepasang telinga, tetapi memilih untuk tidak mendengarkan jeritan para binatang yang terimpit di bawah kaki mereka.
Aku menghela napas, sepertinya malam ini bukannya memeluk guling ataupun bantal, aku harus memeluk perut keroncongan dan obat asam lambung. Tanpa ada pilihan lain, aku hanya bisa membawa tubuhku kembali ke akarnya, sebuah kos kecil di perempatan jalan. Sayup-sayup terdengar suara siaran mobil si anjing botak penguasa itu. Aku meringkuk di pojok gelap kos kecilku dan membiarkan suara-suara tersebut berdengung di telingaku, aku tidak peduli. Tiba-tiba suara tabrakan keras terdengar, menggetarkan jendela kaca di sekelilingku. Seluruh pandangan mata tertuju pada asal muasal suara itu. Nampaknya mobil itu menabrak seekor musang kecil yang berusaha menyeberang jalan. Seketika itu juga para binatang berbondong-bondong berkerumun di sekitar area kecelakaan itu.
Setiap pasang mata yang ada di sana dapat dengan jelas melihat bahwa hewan kecil itu sedang meregang nyawa. Namun tidak ada satupun binatang yang berusaha mengulurkan tangan kepada makhluk malang itu. Si pengendara mobil itu turun dari mobil, tetapi bukannya menolong ia justru menyempatkan diri untuk memamerkan bahasa anjingnya yang luar biasa fasih. Tanpa pikir panjang aku berlari keluar dan berusaha keras untuk membelah kerumunan untuk mendekati tubuh kecil yang berdarah-darah itu. Dengan sigap aku mencoba membopong musang kecil itu sambil berlari ke klinik terdekat. Tetapi, takdir berkata lain. Waktu tidak bisa diulang ataupun dimundurkan. Dokter bilang jika saja dia dibawa lebih awal, mungkin dia bisa diselamatkan, namun aku terlambat. Aku sangat terlambat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain terdiam tak berdaya dan menunduk dalam-dalam di hadapan orang tua bocah itu. Entah sumpah serapah macam apa yang mereka lemparkan kepadaku, apa yang kurasakan hanyalah rasa bersalah.
***
Bak kapal karam yang dihantam badai yang bertubi-tubi, hidupku hancur seketika. Hakim menutup mata, bahkan para saksi pun ikut melolong terpingkal-pingkal menertawakan kesengsaraanku. Aku hanya bisa meratapi nasibku yang remuk tak bersisa. Siapa sangka, tindakanku yang sok pahlawan bisa mengantarku langsung ke jeruji besi. Sementara itu, para penonton drama tersebut melenggak-lenggok di atas panggung maut. Mereka dengan bangga memamerkan taringnya sambil menari-nari di atas kematian bocah malang yang layu sebelum waktunya. Sedangkan otak dari tragedi ini hanya tersenyum, senyum dingin yang mampu mengiris tulang, penuh percaya diri atas kemenangan palsu. Dia berpesta semalam suntuk dengan anjing-anjing lainnya, menghabiskan malam dengan ratusan gelas vodka dan martini, seolah besok dia tidak akan pernah mati.
Kematian bocah itu tak lagi penuh dengan ratapan, tetapi dirayakan dengan lolongan yang menggema, mengoyak langit dan kebajikan hati yang bergetar hebat. Yang tertinggal hanya nama di tepi-tepi kecil koran lama, sementara orang tua yang ditinggalkan justru ikut tersenyum lebar karena dompet mereka yang sebelumnya kurus kekurangan gizi kini gemuk bak konglomerat. Keadilan telah bertumpang tindih dengan kenyataan, mereka semua menjadi saksi bahwa hati nurani sudah tewas seketika karena dimakan manusia. Para binatang biadab di negeri ini tak lebih dan tak kurang layaknya manusia tamak yang berbulu binatang. Aku hanya bisa menggeram penuh kepedihan dan keputusasaan, memeluk belenggu sunyi di balik rantai-rantai besi. Mencoba menengok langit melalui jendela yang dipagari benci, berharap bahwa dunia akan baik-baik saja suatu saat nanti.