Guru.
Sekarang ini dan hari-hari kedepan akan ada banyak persoalan besar berkenaan dengan NILAI. Guru menjadi penentu nasib siswa dengan pemberian nilai ujian, nilai raport. Ketika terjadi masalah kritis bisa melibatkan dan mengundang campur tangan orang tua murid.
Ketika orang berfikir jernih dengan aturan-aturan pemberian nilai meluncur dengan mulus. Setiap nilai mata pelajaran memberi andil dalam jumlah dan persyaratan naik klas atau tidaknya siswa.
Kita sering dengar ada guru garis keras atau di perguruan tinggi istilah dosen killer. Sering pula terdengar dibelakang atau diluar tembok sekolah semacam kebijasanaan katrol atau “sedikit” nilai yang ditambahkan agar siswa terselamatkan. Dari pihak guru sendiri sering ada penjelasan bahwa itu justru demi dan dengan niat memberi “pendidikan” dan saat-saat test anak ada yang sakit padahal prestasi hariannya sangat baik…..dll.
Nilai adalah angka penghargaan yang diberikan guru kepada siswanya karena prestasi belajarnya yang diukur dengan test hasil belajar. Nilai Raport Siswa menjadi harga, penghargaan, atau tafsiran kapasitas siswa. Itu berarti harga atau penghargaan yang melekat pada sebuah objek yang namanya hasil belajar siswa yang dilekatkan pada siswa itu sendiri. Sebab “Objek” yang dimaksud dapat berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, atau perilaku.
Maka sedemikian pentingnya nilai yang diberikan oleh GURU itu kepada siswa. Sebab dengan nilai itu nasib siswa pada periode selanjutnya ditentukan. Saya ingat ada pesan kuno :Non Scolae sed vitae discimus. = Kami belajar tidak untuk nilai tetapi untuk hidup.
Yuri Lomba dan Pertandingan.
Sekarang ini berlomba lomba orang menyelenggarakan pelbagai event lomba, dengan etiket yang berbeda beda. Ada Indonesian Idle, ada lomba dangdut, tidak boleh pula semua bentuk olah raga mempunyai acara lomba.
Kita sering dengar seruan, baca tulisan “Keputusan Yuri tidak dapat diganggu gugat.”Tetapi diera keterbukaan ini kita dapat ikuti di Kompasiana pun ada artikel tentang Indonesian Idle : “Lomba bakat atau Lomba SMS”, ada lagi “ Indonesian Idle tahun depan jangan ikut sertakan Anang sebagai yuri” ….
Pada tahun 1980 bagaimana awal-awal kedatangan televisi semua gencar dan gempar mengikuti tinju professional kelas berat, dan pertandingan bulu tangkis. Sementara saat-saat sekarang masyarakat di demam kan oleh “Euro 2012”.
Baik dibidang seni suara, ketrampilan dan olah raga diselimuti yang namanya pertandingan atau permainan. Selain ada norma dan peraturan, permainan mempunyai nilai-nilai kehidupan yang hakiki, tetapi juga tercipta nilai-nilai fiktif. “Nilaifiktif itu berlaku hanya selagi dalam permainan itu saja. Dengan demikian setelah selesai permainan nilai itu boleh dikatakan tidak berarti apa-apa lagi. Nilai itu tidak mengikat lagi setelah permainan selesai”. ( dari tulisan penulis sendiri http://filsafat.kompasiana.com /2011/10/07/insan-bersayap-puluhan-warna/ )
Permainan justru dapat memberi semangat baru, kesegaran baru. Sebab disana ada dua energi kuat yaitu Eros dan Agon. Keduanya tak terpisahkan.
Eros adalah Rasa Cinta. Rasa positip, suka, gemar, mau lekat, terlibat dalam permainan. Lihat saja orang sering lupa segalanya karena gemar, lekat dengan kebahagiaan permainan.
Agon adalah Api perjuangan. Rasa keperwiraan, semangat kesatriaan, hasrat mengalahkan perlawanan. Bila mendampingi Eros maka dalam permainan orang akan berusaha menang menjadi juara. (Opcit.)
Yuri atau pimpinan dalam lomba, pertandingan, permainan adalah pemegang kuasa dalam jalannya event itu termasuk nilai-nilai yang digunakan.
Nilai dan Admin di Kompasiana.
Nilai di Kompasiana itu mestinya bukan nilai permaian, hanya sering dipermainkan dan atau dibuat main-main. Bagaimana tidak ? Saat-saat sebelumnya tak ada orang terang-terangan menilai tulisan sendiri, tetapi setelah ada kolom nama pemberi nilai justru ada yang kendati sebelumnya tidak pernah menjadi penilai tulisan sendiri. Nampaknya itu disengaja justru sebagai kritik terhadap kolom tersebut. Kolom konon dibuat oleh admin dengan tujuan keterbukaan dan sebagai kemudahan melihat sisi-sisi dari sebuah artikel. Tetapi ada pihak yang merasa itu sebagai kritik terhadap akun kloningan, yang mungkin dituduh menilai tulisan penulis sendiri dengan akun kloningan nya tersebut.
Nilai tulisan di Kompasiana jelas bukan nilai permainan. Nilai atau penghargaan itu dilekatkan dan melekat pada suatu obyek yang namanya artikel, tulisan, produk penulis. Nilai dapat diberikan secara bebas oleh komentator, seperti mantap, asyiik, menyenangkan, aku suka, indah, bagus, apik, dll, tetapi Admin Kompasiana memberi kategori penilaian : Aktual, Inspiratif, Bermanfaat, Menarik.
Bukan kerja yang mudah menemukan topic yang sekaligus actual, pembahasan yang benar-benar memberi inspirasi pembaca, memberi masukan yang bermanfaat, dan dikemas keseluruhannya menarik.
Admin masih memberikan penilaian lain lagi : dengan penempatan sebagai HL. Terrekomendasi, dan tercantum sebagai “ter….” yang lain. Terus terang untuk penilaian ini Kompasianer pada umumnya banyak yang menerka-nerka norma penilaian oleh Admin. Padahal penilaian ini langsung berdampak pada jumlah banyaknya pembaca. Nampaknya obyektivitas penilaian Admin sering mendapat kritik terbuka tersurat ataupun tersirat.
Ada Guru yang bijak, ada Yuri yang bijak, apakah Admin Kompasiana tak boleh memakai kebijaksanaannya ? Kritik diera keterbukaan sah-sah saja. Tetapi Keputusan guru, yuri, admin tak dapat ……………………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H