Barangkali tujuh point pemikiran ini mengundang diskusi para pengamat social dan budaya, pengamat masalah kemanusiaan, politik, pendidikan, gaya hidup, dosen, mahasiswa dan pemikir peminatbaca. Atas kesediaannya dihaturkan terima kasih.
1.Kerjanya si jelata, sikecil.
Pada Zaman Hukum Rimba berjaya, berlaku ketentuan siapa kuat siapa menang. Menang perang pulang membawa rampasan perang entah barang entah apa termasuk orang, anak, perempuan lelaki menjadi milik pemenang. Mereka menjadi budak, orang suruhan yang harus mengerjakan apa saja sesuai perintah tuan-tuan yang empunya. Mereka harus melayani.
Pada dasarnya “awal mulanya” : “Melayani” itu dikerjakan oleh budak, orang suruhan, orang upahan bukan boss, bukan tuan, bukan raja. Sasaran kerjanya adalah “isi perintah”, isi suruhan, isi tugas, sesuai kemauan tuan, boss, raja. Isi pekerjaan yang diperintahkan oleh atau atas nama pemberi perintah pada umumnya pekerjaan kasar, pekerjaan berat, secara apapun kotor, pekerjaan yang dianggap hanya layak buat orang bawahan, tenaga kasar, orang kecil, orang bodoh, orang yang tidak penting atau serba bisa diabaikan.
Maka lebih tajam lagi “melayani” menjadi berarti “berbuat sesuatu untuk memberi kemudahan tertentu” bagi orang lain atau bagi yang memberi perintah/amanat, sesuai isi perintah/amanatnya itu.
2. Ajaran paradoksal:Kebesaran Sejati.
Ada sebuah cerita yang sungguh tidak bisa dipercaya demikian saja. Judul cerita dari buku yang bisa saya kutip :“Kebesaran Sejati”. Konon kata siempunya cerita hiduplah 2 ribu tahun yang lalu seorang Guru Besar dengan murid-muridnyadan beberapa perempuan termasuk ibu serta saudara sepupu dsb. Singkatnya, kutipan yang saya perlukan berbunyi : “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian diantara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu…..”
Maka diantara mereka ini ada budaya kepemimpinan berdampingan dengan Pelayanan. Kepemimpinan menyangkut pada pembinaan perguruan dan pelayanan mengkait dengan penataan kesejahteraan. Dan dari sini masuk pemikiran hal kepedulian terhadap yang perlu dan membutuhkan pelayanan. Pelayanan kesejahteraan warga disebut sebagai pelayanan social kepada orang miskin, lansia, penyandang tuna, cacad dsb. Juga disebut pelayanan cinta kasih atau DIAKONEA.
Itu bisa terjadi karena kuatnya wawasan cinta kasih dan wawasan tentang orang kecil, sebagaimana pernah saya sebut ditulisan terdahulu. Yang saya kutip :“Konsep “orang kecil” “orang miskin”, yang bernuansa dengan nilai iman dan nilai social pada jamannya itu dikembangkan oleh para pemikir falsafah perilaku atau falsafah moral menjadi nilai-nilai yang indah. Menjelang abad pertengahan di Eropa semakin berkembang pemikiran-pemikiran moral theologis , dengan justru ada gerakan2 atau aliran “kepercayaan” dan gerakan hidup bermoral theologies. (http://bahasa .kompasiana.com/2011/12/28/kritik-inspiratip-dari-aridha-prassetyo/) Juga lihat dari : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/25/ nabi-besar-ditampilkan-sebagai-si-kecil/
3. Pelayanan modern.
Kesetaraan, kerjasama, transaksi jasa merupakan inti dasar pemikiran modern tentang “Melayani”. Melayani adalah melaksanakan sesuatu untuk kemudahan bagi yang mau dilayani sesuai perintah/ amanat/ harapannya. Hubungan ideal antara yang melayani dan yang dilayani adalah Kesetaraan martabat. Pelayanan itu terjadi karena ada kesepakatan kerjasama dan menjadikan sejenis interaksi imbal jasa.
4. Pelayanan bisnis.
Dengan kalkulasi dan kemitraan kepentingan itu cirri utama dalam pelayanan di dunia bisnis. Istilah yang sudah sangat biasa kita dengar disana : “MELAYANI”, seperti ada pelayan toko, jasa pelayanan perbankan dst. Benarlah interaksi yang terjadi adalah saling melayani. Dengan target ideal pelayanan yang ramah, mudah, benar dan lancar. Meskipun diantara mereka ada kepentingan yaitu “Profit” tetapi konsep “Pelayanan” kiranya tetap sah dan benar, yaitu memberi jasa/ pengadaan barang dan kemudahan. Diantara pelaku bisnis juga sering kali menggunakan pengertian kemitraan. Tetapi agar kemitraan mereka dapat berkelanjutan mereka menggunakan “KALKULASI”, YAITU HITUNG MENGHITUNG SISI KEUANGAN.
5. Pelayanan Umum , pelayanan masyarakat.
Kita ambil saja istilah yang dimasa lalu hamper tiap hari kita dengar : Abdi Masyarakat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia “Abdi masyarakat” adalah “pegawai pemerintah yang pada dasarnya mempunyai kewajiban melayani masyarakat”.Akhmad Zaenudin pernah membuat pembahasan tentang makna kata yang disebut ”Abdi masyarakat”di : http://birokrasi.kompasiana.com/2012/01/20/mencari-makna-%E2%80%9Cabdi-masyarakat%E2%80%9D-yang-hilang/
Kalau mau ditelusuri apa yang menyangkut pemerintah dan fungsinya perlu dipertanyakan sampai pada falsafah Negara yang dianut. Tentunya tidak juga harus terlalu jauh dipahami bahwa Negara adalah “Pengurus kepentingan umum warga Negara”. Dipakai disini kata “Pengurus” karena disana ada peran ganda antar “mengatur”-“memerintah dengan khuasa sah”dengan“melayani dan mengabdi”.
Hilangnya makna “Pengabdian” para Abdi Masyarakat karena tidak lagi bisa membedakan antara “Pengabdian” dan “Penguasaan mengatur”. Hanya ada beda tipis yang memerlukan kacamata ukuran tebal bagi yang rabun dibidang ini. Untuk itu perlu ditelusuri kembali “Sejarah” terjadinya istilah “Melayani” tersebut diatas sub 1.Banyak orang lupa bahwa di Negara kita, yang demokratis itu, pegawai negeri itu digaji dengan uang Rakyat, tuan, minimal mitra kerjanya. Gaji yang sudah secara otomatis diterima dilupakan bahwa itu harga jasa pelayanan, bukan imbuhan wewenang dari tugas mengatur. Tugas mengatur di kisruhkan dengan kekuasaan sendiri. Legitimasi menata dimaknai sebaga kewenangan absolute terhadap pembantu dan yang harus dilayani.
6. Pelayanan relawan: professional & sosial.
Belajar tentang soal penggajian dan dampaknya perlu melihat pada honorarium (uang kehormatan) seorang relawan professional. Sifat professional mengkait dengan tanggung jawab kompetensi, keahlian dan sumpah profesi. Sifat relawan yang mungkin diiket oleh perjanjian kerjasama/kontrak kerja masih sedikit mencerminkan kerelaan dan kebebasan memilih yang menuntut tanggungjawab pula. Lebih khusus yang merambah pada pelayanan social sesungguhnya dituntut pula profesionalitas dan tanggung jawab kompetensi pada bidangnya.
7. Semangat Jiwa “melayani”.
Ada lagi cerita heboh dari seorang sakti atau mempunyai suatu kelebihan dari rata-rata kita. Orang ini bisa saja kalau disebut dukun. Dia dapat mengobati segala macam penyakit, bahkan kononmengusir setan pun bisa. Suatu ketika serombongan orang terdiri dari pak RT, pak Kadus dan tokoh masyarakat mendatangi si dukun sakti ini dan bertanya : “Dengan kuasa siapa kau menyembuhkan orang, mengusir setan segala. Jangan jangan kau itu justru kepala setan…?”
Pertanyaan Pak Kadus dkk itu memang telak. “Dengan kuasa siapa?” Siapa yang berkuasa dalam diri seseorang itu layak memberi cirri terhadap perbuatan dan sikapnya. Fenomena si dukun penyembuh dan pengusir setan itu yang dituduh justru sebagai kepala setan sering saja sekarang muncul.
Trend sekarang bisa ditandai oleh trend kebingungan, Karena situasi menjadi kalut. Tak jelas sikap dan perbuatan orang itu atas dasar dan atau digerakkan oleh siapa dan kekuasaan apa. Hilang pula konsep “kepedulian social” dan lebih jauh tak terpikirkan itu “Keadilan Sosial”.
Kita harus bedakan :Semangat budak tanpa martabat; semangat preman; semangat mengejar profit; semangat main kuasa; atau semangat pelayanan.Semangat pelayanan itu semangat kerja kemitraan, semangat kebersamaan, semangat profesionalisme, dansemangat kerja bertanggung jawab. Semangat yang menggerakkan para negarawan sejati, ilmuwan sejati, para relawan tulus yang bukan saja didasarkan pada suatu aliran iman/kepercayaan tetapi atas dasar ajaran moral, kemanusiaan dan keadilan sosial, yang seharusnya kita patut amalkan.
Salam hormat saya kepada anda semua yang berkenan membaca: Tujuh pemikiran tentang “melayani” ini sebagai upaya pengamalan nilai luhur bangsa, Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H