Dengan mengalami, melihat mendengar dan membaca setiap kali ada gerakan masyarakat menuntut dilaksanakan tindakan sesuai dengan RASA Keadilan Masyarakat, maka Rasa Keadilan perlu mendapat pemikiran secara lebih kritis dan mendalam.
Rasa Keadilan (masyarakat) adalah satu aspek dari rasa social. Apa salahnya kita tinjau arena lebih luas sebelum focus pada Rasa Keadilan. Rasa Sosial saya lihat sebagai pencairan Rasa Keadilan, maksudnya bilaa rasa keadilan sudah jauh menyentuh batas hak seseorang terhadap yang lain, maka rasa social merupakan area dan latar yang lebih luas dalam kebersamaan. Bicara dari fenomena nyata kita lihat adanya kepedulian orang terhadap kemiskinan dengan berbagi nafkah dst. Kita melihat disana sini ada pengemis, dan yang lewat memberikan sedekah atau uang. Itu salah satu bentuk Rasa Sosial.
Pada suatu waktu disimpang jalan terpasang tulisan : Salurkan uang receh anda melalui lembaga social. Dan kami penumpang kendaraan umum sepulang dari pasar sudah menyediapan uang receh, tetapi tak ada lagi pengamen di bus. Konon katanya Dinas Sosial Kota/Kabupaten membuat “Aturan”, penataan penyantunan fakir miskin, justru dengan mengubah aktualisasi atau penyaluran Rasa Sosial itu dengan “Aturan”. Di sadarkan kepada masyarakat adanya dampak social negatip di jalan dan kehadiran pengamen, pengemis lebih2 yang kanak kanak, yang “kurang mendidik” serta adanya pemanfaatan penggunaan anak2 sebagai pekerja pengemis oleh orang dewasa yang kurang bertanggung jawab. Jadi Rasa social yang tumbuh sudah lama sebelum itu pada sementara warga masyarakat ditemukan dengan kebijaksanaan dan kemudian “Aturan”. Aturan sebaiknya diikuti oleh ketaatan dan disiplin atas dasar kesadaran social seturut yang dianut Pengambil kebijakan. Sadar Aturan kalau dipertegas dan dipertanjam adalah Sadar Hukum.
Ada pula rasa social yang bisa menjadi pilihan yang dilematis. Atau perilaku social itu ada disisi sukarela tanpa tekanan, atau menjadi kewajiban social yang bisa bisa berakibat kena sangsi social berupa good will dan keramahan kebersamaan. Bahkan dengan merk “gotong royong” pun ada yang benar benar atas dasar kerelaan ada yang jelas jelas kewajiban. Sebagai contoh, dalam tradisi pedesaan (di Jawa begitulah), ada kebiasaan sumbang menyumbang untuk saudara / tetangga yang punya hajat, atau ada yang meninggal, ada pula upacara kelahiram lalu inisiasi anak menuju kedewasaan. Bahkan belakangan kerukunan hidup pedesaan lenih marak dengan kebiasaan menjenguk bersama dirumah/RS warga yang sedang sakit. Rasa wajib menyumbang tampak ada pergeseran dalam hal cara dan jumlah. Dilema untuk rasa social sumbang menyumbang menjadi “hokum social warga” yang ditaati dengan rela. Dilema ada pada pelaksanaan besar kkecilnya sumbangan (biasanya tertutup) disadari sebagai perbuatan kerelaan dan ketulusan.
Rasa keadilan dalam kebersamaan menjadi berbeda karena ada pada keberadaan atau kehadiran (eksistensial) seseorang atau kelompok terhadap kelompok yang lain. Rasa keadilan ditampilkan dan mencuat kalau suatu pihak merasa disentuh dan diabaikan dirinya (kehadiran, kehormatan kepentingan yang menjadi haknya). Rasa keadilan pada prinsipnya adalah kesadaran akan nilai buah dari keselarasan dan keseimbangan diantara semua pihak untuk menikmati kesempatan berperan atau fasilitas yang menjadi haknya. Rasa keadilan pada umumnya muncul dari sanubari kita apabila justru dirasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Ketika keadilan itu terlaksana dan semua pihak telah menerima hak atas peluang berperan dan fasilitas yang ada biasanya rasa kedamaian dan kebahagiaan lah yang dirasakan. Rasa Keadilan itu selanjutnya kita tuntut seturut hukum. Rasa keadilan yang terolah lebih jauh menjadi kesadaran hukum. Rasa keadilan menurut hukum atau kesadaran hukum dapat mengacu pada hukum atau peraturan hukum –alam, -agama, -adat, -lokal, - Negara atau antar Negara. Pemikiran ini pernah saya tulis di Kompasiana : http://www.kompasiana.com/astokodatu/ketika-opini-publik-dan-nilai-semu-membelenggu-kita_55c6fd2a3097734d05b963ff ketika ada gejolak Rasa keadilan menyikapi kasus koruptor besar yang diadili th 2015 y.l.
Mengapa Rasa keadilan bisa berbeda dari pihak lain. Sebab : itulah Rasa, Raos. Dan konon Rasa tidak dapat diperdebatkan karena pasti berbeda bagi setiap pribadi. . Perasaan dipengaruhi oleh rangsangan inderawi sepanjang saya pahami dari cara berfikir Aristotelis dst. Psikologi Pendidikan selanjutnya melihat lebih luas. Orang Jawa melihat “Raos” atau Rasa memperoleh konotasi lebih luas, bahkan sekilas menjadi seperti Super Ego yang merespon segenap fenomena Kehidupan. (phenomena dan noumena, realitas social yang kasatmata/terlihat, yang dapat dijelaskan secara rasional dan yang tidak dapat dijelaskan secara rasional, demikian menurut Prof.Drs.Koentjoro Soeparno, MBSc.PhD, dalam,KA Suryomentaram Guru Psikologi Eksistensialis Nusantara.2015)
Pandangan yang lebih luas kiranya menambah wawasan lebih dalam dengan kata “Rasa (keadilan)- Masyarakat”. Saya berharap tinjauan seorang Ryan Sugiharto, sarjana S1-2 dari UGM Yogyakarta, yang berupaya scientifikasi Ilmu Pengetahuan Jiwa dari KA.Suryamentaram,yang dikatakan sebagai Guru Psikologi Eksistensialis Nusantara bisa membuka lebih luas topic ini. Dipaparkan bahwa Suryamentaram mengajarkan fenomena kehidupan itu direspon manusia dengan menyadari bahwa manusia itu mempunyai :
- Rasa Hidup, daya kekuatan untuk hidup,mendorong bergerak, dan hidup terus.
- Rasa Takut, respon negatip terhadap kematian, dan kehilangan.
- Rasa Bebas, tidak ada konflik batin, tidak mengalami hambatan,
- Rasa Merdeka, dapat memilih dan menentukan secara benar.
Dengan melihat dimensi kedalaman manusia menurut cara berfikir ketimuran ini, saya merasa lebih mudah memahami perilaku bangsa ini. Kita melihat dimana emosi dan spontanitas lebih kedepan nampaknya daripada ratio dan perencanaan. Menyimpan dendam lebih kuat daripada berfikir pragmatis rasional dengan move-on dari kondisi terkini. Dengan RAOS (rasa) yang sepertinya lebih sebagai kata ganti “kepribadian” melahirkan cara pandang yang “liat” dan holistic, kurang tranparans dan kurang analitis tetapi mantap dihayati dan siap dilaksanakan.
Selain itu realita kehidupan yang ditangkap oleh RAOS selalu ada pasangan pasangan yang bisa dipilih. Seperti terang - gelap, benar – salah, gembira – sedih, sakit – sehat, hitam – putih, kiri – kanan. Inilah medan pilihan. Nasehat Jiwa Kejawen ada yang mengatakan : Ngono ya ojo ngono, nanging ojo ngono. Nasehat yang mengajak mengarah ke harmoni keselerasan atau keseimbangan. Rasa bebas dan merdeka menjadi dasar nafas harmonisasi kehidupan dan kedamaian.
Maka setelah melihat kejiwaan masyarakat kita kita lebih mudah memahami pula perilaku bangsa ini. Semua itu pasti sesuai pemahaman banyak psikolog, terbentuk dari latar belakang, pembawaan bakat, pengaruh lingkungan dan proses serta dinamika dalam waktu ke waktu.
Sesuatu yang dikemukakan menjadi semacam “larangan” maksud saya SARA,(suku, agama, ras, aliran) justru dewasa ini tampak menjadi semakin melatar belakangi peristiwa tanpa dikatakan. Sebab yang mengatakan justru akan dikatakan dituduh menggunakannya. Nah hal semacam ini pula sering terjadi dan menyambut nasehat Psikolog Kejawen lagi : “Sing bisa (duwe rasa) rumangsa, aja (mung) rumangsa bisa.” Sebisa bisa peka rasa dan tahu diri, jangan cepat cepat merasa bisa mau bertindak.