Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Penulis pun Berproses: Diperlakukan Tumbuh dan Menjadi

4 September 2014   19:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:37 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dari kasus Rekan Sdri Florence S, yang belakangan “dihebohkan”, dan tulisan berturutan dari Rekan Pak Katedrarajawen yang mengajak berfilsafat (baca : berrefleksi), memang saya sebagai warga Kompasiana terdorong berbagi disini. Bagaimana tidak, Mike Reyssant pun menulis dengan penutup :

Dalam tulisan ini, saya mengajak semua pihak, untuk dapat mengkoreksi diri masing masing sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti ini, karena pada dasarnya semua tergantung dari diri kita sendiri.( http://edukasi.kompasiana.com/2014/09/01/kasus-florence-siapa-yang-salah-684652.html) Dalam berrefleksi dan retrospeksi saya temukan bahwa penulis itupun selalu berproses, dibentuk dan tumbuh menjadi. Kembali pada permenungan lama: http://media.kompasiana.com/ new-media/2014/04/11/mengapa-saya-menulis-karena-iman--646266.html, dimana prinsipnya bagi saya Menulis itu adalah : karena Tanggap Lingkungan, Berbagi, Bermoral : bertanggungjawab dan Beriman.

1.Penulis Menulis

Menarik bila direnungkan pemikiran Rekan Rahab Ganendra mengomentari tulisan saya terkutip diatas : “menulis untuk kultivasi”. Saya tanggapi : “ kultivasi pribadi seperti pohon yang harus dipelihara berkelanjutan”. Rekan Rahab menjawab lagi : “Pohon yang harus kokoh kebaikannya meski diterpa berbagai medan bail/buruk. Menulis untuk menebar kebaikan dan belajar menyerap kebaikan. (dialog dikomentar tulisan terkutip)

Dikaitkan dengan peduli lingkungan Penulis perlu menyadari bahwa posisi kita harus tetap pada bumi dimana kita berpijak. Menulis dengan menggunakan teknologi modern hendaknya jangan membuat kita tercabut dan terlempar didunia fiktif, maya. Dunia bayangan yang maya itu sebenarnya dunia ciptaan hiperbolis dan kebanggaan teknokrat yang mampu memberi sarana berkomunikasi secara canggih. Kita menulis memang bisa sekedar menyimpan tetapi banyak kali kita mengisi khasanah buah karya yang akhirnya dipetik oleh sasama kita, partner komunikan ditempat dan waktu yang tidak tertentu. Tetapi mereka tetap juga manusia dibumi kita yang masih merasakan makanan minuman udara yang kita nikmati setiap hari. Artinya mereka dapat suka tidak suka, senang atau sakit membaca tulisan kita.

Penulis dengan teknologi modern itu pula juga menerima lewat cara yang sama kesan pesan manfaat dan aspirasi. Penulis juga dengan demikian sebenarnya diperlakukan, diasah asih dan asuh, sehingga bisa berproses tumbuh dan menjadi seperti diri sendiri saat saat berkelanjutan.

2.Perigi harus dipelihara agar tidak kering airnya.

Anda mungkin tidak pernah melihat mendengar bagaimana sumur dipedesaan daerah kami dipelihara. Pada musim kemarau setelah lama tidak hujan justru orang desa memompa sumur untuk sebentar dikeringkan. Lumpur atau endapan yang kotor dikuras, diangkat, dibersihkan. Setelah itu sering kemudian ditaburkan batu kapur yang masih hangat dari pembakaran didasar sumur itu. Didesa kami biasanya tidak sampai 2 jam sumur sudah normal kembali. Bahkan airnya nampak jernih dan sehat karena dinetralkan dari kuman-kuman oleh kapur panas yang ditaburkan tadi.

Pada kesempatan itu mungkin pula ada alat-alat timba/pompa yang perlu diperbaiki atau diperbarui.

Penulis saya ibaratkan sebagai sumur yang airnya akan terus ditimba oleh pembaca. Dalam Berbagi pun terdapat banyak proses perkembangan dan perubahancara sasaran target dst. Tentunya ada lumpur dan endapan kotoran yang perlu dibersihkan. Mungkin ada nafsu amarah karena membaca komentar pahit, mungkin ada sikap sombong dan terlalu nyinyir, atau terlalu narsis semua yang perlu disehatkan kembali. Baik Motivasi maupun kesan yang kurang sehat yang diterima, perlu mendapat tinjauan ulang.

3.Melihat kebelakang untuk maju kedepan.

Ada proses perubahan yang tentunya mudah mungkin dirasakan di Kompasiana. Saya ajak melihat dewasa ini berapa artikel masuk ke Kompasiana. Periksa artikel dengan jam tayang yang bersamaan. Di dashboard saya saat ini ada 20 artikel yang dikirim dalam satu jam, dimulai dari 3 menit yg lalu hingga 53 menit yang lalu. Itu berarti bagaimana banyaknya teman penulis Kompasiana. Seingat saya pada tahun 2010 dalam 20 tulisan di dasbord, itu ada yang ditulis sekian jam sekian jam yang lalu, berarti jarangnya tulisan yang masuk. Banyaknya penulis itu mengubah banyak dalam hal dinamika dan kehangatan komunikasi. Mungkin karena adanya juga pergeseran frekwensi membaca artikel seorang penulis tertentu oleh teman kompasianer pembaca. Mungkin hal itu berarti berkurangnya keakraban antar kompasianer. Pada tahun 2012 dengan cukup pd sayamenulis ini : “Selalu kusenyumkan nilai nilai kebersamaan. Kalian balas dengan hikmah hikmah persaudaraan. Selalu kukirim signal signal kearifan. Kalian balas dengan buah buah keimanan.. Semua terkemas indah dalam puisi maupun prosa. Metaphora dan analogia keseharian.” Dan saya tambahkan: “(Untuk Sahabatku: ragile, zulkifar, mommy, selsa, yayok, hamma, priatna, hans, thamrin, aridha, arimbi, ramli, omjay, erri, edi, ade dan odi/isteri, yusep dan aciek, ibay, bang lala, jingga, uleng dan dewa, meysha, langit, jeng praba, dear mimin, nyimas herda, kang inin, kang nugie, bang kate.wuih… maaf pasti ada yang kelewatan dari 350 nama lebih.) (http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/04/07/ada-itu-yang-aku-tak-dapat-%E2%80 % 98berbagi%E2%80%98-denganmu-453140.html) Orang yang saya sebut diatas sekarang beberapa sudah tidak tampak lewat artikelnya di dashboard saya. Pada tahun itu pula saya masih berani menulis tentang komunikasi cinta di Kompasiana ini : http://filsafat.kompasiana. com/2012/11/04/komunikasi-cinta-belajar-di-kompasiana-506396.htmlOmong –omong dalam suasana saling cinta itu mau anda sebut apa ? Boleh disebut Dialog Cinta.? Seperti kakek nenek berumur 85 tahun, yang cintanya semurni emas 24 karat dan terbebas dari nafsu syahwat yang liar.? Seperti komunikasi antar pastur pinter, pendeta bijak bersama Gus Dur yang arif bijaksana bercengkerma dengan humor tingkat tinggi ? Dalam keyakinan bagaimana masing-masing beriman secara dewasa dan matang, kelakar mereka tetap kelakar sehat tanpa menjerumuskan mereka pada ketersinggungan wawasan yang sempit. Kekakuan organisasi social yang akan membangun disiplin dan kerukunan warga dapat jatuh pada konflik-konflik tertutup maupun terbuka yang justru akan semakin menjauhkan warga dari rasa persaudaraan. Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi bila dapat terjadi “Omong-omong dalam suasana santai penuh cinta antar warga”.

Keakraban itu bisa tampak juga dari artikel seperti ini : Kecanduan Kompasiana atau Kompasianer ? oleh Sdri Indri Hapsari. Disini : http://lifestyle.kompasiana. com/catatan 2012/11 /02/ kecanduan-kompasiana-atau-kompasianer-506140.html. Dan lagi seperti ini : http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/11/03/kamu-itu-sesuatu-banget-buatku-506201.html. Dibawah tulisan ini saya memberi komentar tentang para komentatornya : “Apa yang tertulis diatas tulisan ini, sungguh sangat indah bagiku, suatu dialog antar pribadi yang unik dan menarik.Tentu dari mbak Arimbi, mbak Indri, Mas Erri S.. Mas Herry Fk…. sesuatu banget. Terima kasih buat semua terutama yang punya halaman… Bunda Arimbi,..”

Keakraban juga terbukti dari peristiwa Kopdar dari para penulis yang membuat grup melalui Facebook. Baik Fb atau web Kompasiana merupakan sarana efektif untuk berkomunikasi. Kecuali sarana dan buahnya dari sarana itu berkembang berubah dan berproses juga dapat menunjukkan cara berproses dan cara menyikapinya.Satu cara positif dan dampak positif bila membuahkan keakraban yang menyejukkan dan menjadi nyata dalam peristiwa nyata yang positif seperti kopdar dan pembelajaran bersama dalam kegiatan nyata.(menulis dll). Tetapi juga bisa ada yang negative seperti kemudahan untuk memaki menghojat fitnah mem bully dsb.

Seluruh situasi Kompasiana dengan segala arahan Adminnya, merupakan suasana yang berproses berpengaruh membuat dan menjadikan penulis seperti diri kira saat ini. Menyadari itu semua selayaknya kita lebih sadar untuk menjadi diri kita sendiri dengan tujuan menulis, tanggap situasi, berbagi, bermoral dan beriman (bukan bicara iman).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun