Rekan Arke pernah menulis tentang filsafat keseimbangan,( http://filsafat. kompasiana.com/2013/01/01/keseimbangan-521143.html) Tulisan bersanjak bagus. Saya hanya ingin berbagi pengalaman batin apa yang sudah saya gagas dan coba laksanakan dalam menjaga keseimbangan.
Baru saja juga ada artikel ini tulisan rekan Ninoy N. Karundeng. Tulisan yang mengolah beberapa alternative yang dialami. Tanggapan pokok saya adalah “menghormati pilihan dan keputusan tentang niatnya”. Rekan lain banyak memberi tanggapan, antara lain Pak Tjiptadinata menulis: Hidup adalah sebuah pilihan, dst.
Saya pernah berfikir seperti rekan Ninoy dengan pertimbangan tersendiri. Tetapi saya memilih jalan lain daripada “mengundurkan diri”. Sebab kalau saya mundur dari satu tempat pun saya masih harus maju dilain tempat. Saya memilih jalan peningkatan pembelajaran dan mencoba lebih tahu situasi sekitar.
Ada pengalaman lain yaitu saya mengurangi arah langkah. Saya menolak menanggapi banyak ajakan, dari ajakan permainan di Fb. Ajakan bergabung pada grup, ajakan memberi tanggapan lewat twitter, ajakan/undangan untuk ikut lomba dsb.
Pertimbangan-pertimbangan saya diantaranya yang mendasar :
1.Mengukur keterbatasan : kemampuan, otak dan tenaga,
2.Tantangan yang nyata diluar dunia maya masih sangat “ada”.
3.Pengendalian diri sesuai dengan tujuan dan target yang sudah lebih dahulu ditata.
Pertimbangan temporer tetapi mendesak, seperti :
1.Undangan dunia nyata yang urgen berebut waktu
2.Kekecewaan karena membuat janji bila tidak bisa memenuhi
3.Kondisi kesehatan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca dsb.
Pertimbangan yang positip:
1.Menjaga keseimbangan dalam Pola gerak, Pola Makan, dan Pola Pikir.
2.Semakin mendekat diambang batas usia, perlu semakin membuat hidup ini sederhana, simple, atau focus pada yang positif.
3.Apa susahnya menghargai orang lain dan belajar terus berdoa untuk kedamaian diri dan lingkungan sekitar.
Kesimpulan : Saya minta maaf bila sering saya kurang tanggap terhadap ajakan-ajakan untuk kegiatan baru. Sebab masih saja “ada” komunitas-komunitas lama yang harus dilayani dan tenaga yang semakin menuntut pembatasan gerak menambah frekwensi istirahat.
Semoga pengalaman ini bermanfaat dan justru mendorong anda bersyukur bila masih memperoleh daya kekuatan tenaga jiwa dan raga yang masih segar. Kembangkan semua itu sebagai bukti syukur kepada Sang Pemberi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H