Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompetensi Kompasianer?

27 November 2013   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:37 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pengamat social.

Pada saatnya rupanya memang mengasyikkan : ‘membicarakan tetangga’. Omong tentang tetangga, dengan tetangga, apa itu gossip, apa itu pembahasan fakta, sangat menarik apalagi menyangkut hubungan suami isteri. Setiap pagi PRT kami yang datang pergi setiap hari kerumah kami dari rumahnya yang dekat dekat saja selalu membawa berita actual dari seantero dusun, sekurang-kurangya lingkungan RT kami sendiri. Ada kabar isteri yang sakit lumpuh, paru=paru, usus buntu, suami yang dulu suka pengangguran menjadi suami yang penuh kerja ketika sang isteri jatuh sakit lumpuh, ada beritanya lansia dst, dll. Saya dan isteri menjadi konsumen awal dari pewartaannya. Antara pembatu rt dan isteri saya kerap terjadi dialog yang termasuk kategori gossip atau kabar-kabari soal selebriti dusun, simbok-simbok, suami-isteri tetangga, bahkan itu termasuk masalah keluarganya sendiri. Pokoknya ada issue ada topic ada berita.

Pada setiap Sabtu atau Malam Minggu tertentu, ada pertemuan warga RT. Saya salah satu penasehat pengurus RT. Berdasarkan pendengaran, pengamatan dan dari akumul;asi berita dan gossip dusun, saya sering memberi masukan. Saat-saat ini sedang saya pertimbangkan untuk memberi usulan meningkatkan cara dan jumlah sumbangan social untuk warga yang sakit/meninggal. Kelompok warga RT kami selama ini dari pelbagai usaha bersama baik simpan pinjam persewaan peralatan pesta dlsb. Memang se dusun kami Rt kami paling sukses menghimpun kekayaan bersama. Saya sedang menyiapkan usulan membuat tabungan Dana Hari Tua dan meningkatkan Dana Sehat. Untuk itu banyak hal harus dipertimbangkan untuk keberhasilan program dan kenyamanan (psikologis)warga.

Kompetensi Pengamat social dan tenaga social.

Apabila saya refleksi peran saya seperti terlukis diatas tak ubahnya sebagai Pengamat Sosial dari peran seorang pekerja atau relawan social. Apa yang dihadapi adalah fakta-fakta social, problema social, kesehatan social, kelompok social, social ekonomi dusun, Selanjutnya saya “diperankan” sebagai penesehat pengurus RT, jabatan tanpa SK, tanpa hr, tanpa kantor, dan saya melakukan analisa, penyampaian saran, dan konsep kerja.

Pernah terjadi dialog seru yang memperbincangkan “Kompetensi”. Melongok sebuah Kompetensi Record tertera ada diantaranya :data pendidikan formal, jurusan, pengalaman kerja, jabatan-jabatan, (jenjang, tahun, sertifikasi) pengembangan dengan pelatihan-pelatihan, dst semua diukur kaitannya dengan tugas yang diemban : diatas cukup, sesuai, atau kurang dari kebutuhan. Diperdebatkan bagi pekerja social yang sering melampaui batas batas kewenangan memasuki wilayah peran lain seperti :kewenangan seorang dokter masyarakat, kewenangan perbankan, kewenangan penasehat hokum, dll. Dalam hal tanggungjawab professional pekerja social sangat sering tanpa kritik untuk mal-praktek. Siapa menilai bahwa perilaku suka hutang, atau jatuh miskin akibat proses panjang yang terjadi dikelompok social akibat saran pekerja social tak teramati.

Kompasianer ‘dosen’ - Kompasianer ‘mahasiswa’.

Belum lama ini Kompasiana dikabarkan menjadi media social yang semakin diperhitungkan. Disana digambarkan Kompasiana banyak dibaca ”ISI” nya :berita opini dan fiksi,yang membawa makna jauh. Itu berarti mempunyai “Pengaruh” terhadap pembentukan Opini Publik. Yang sangat istimewa adalah adanya para penulis yang “pembelajar”, pengamat segar, hingga para pemberi opini yang inspiratif, mempengaruhi pembaca, dari kalangan akademisi dan ahli. Apabila diamati ada dialog atau interaksi antar mereka maka Kompasiana tak ubahnya sebagai Universitas yang hidup.

Maka tidak sulit dibayangkan bahwa Pengelola dan Pengendali Kompasiana semakin dituntut “Kompetensi” yang memadai. Besar peran admin bagi berkembangnya para penulis. Bagaimana perlu dibina penulis-penulis dosen, dan bagaimana penulis-penulis mahasiswa masing-masing dapat memperoleh perhatian yang dibutuhkan. Banyak tulisan-tulisan “pembelajar” yang justru memberi masukan untuk rekan kompasianer lain secara intensif justru kurang diperhatikan. Sehingga “skripsi” mereka tidak terbaca. Sangat sering posting-posting inspiratif, komentar, dan sebagainya kurang mendapat perhatian karena tak terbantu oleh peran Admin dalam meletakkan pada kolom yang di”saran”kan untuk menunjang jumlah pembaca.

Barang kali kompetensi Kompasianer sekarang diukur oleh Admin dengan pencantuman tulissan di HL, dan para “TER”. Maka kiranya perlu ada kolom untuk tulisan-tulisan “mahasisswa” yang diklaskan “disarankan” sebagai tulisan skrisi pembelajar. Dengan demikian makin terpacu adanya kompetensi Kompasianer yang pembelajar menyongsong kejayaan Kompasiana. Sebab dasar dari semua pembelajaran itu barulah pada azas kepatutan dan kejujuran yang memang sangat utama. Seperti apa Kompetensi Kompasianer ? Semoga tulisan ini menjadi opini inspiratif saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun