Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Janji Benar Bisa Merubah Gaya Hidup

14 Oktober 2015   10:47 Diperbarui: 14 Oktober 2015   11:29 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada hari Sabtu-Minggu yang baru lalu, tg.10-11 Oktober ini, saya dipertemukan dan bertemu wicara dengan 13 pasang muda mudi yang berniat membangun keluarga. Mereka diundang dalam pertemuan oleh sebuah Tim Pembina Keluarga muda pada sebuah komunitas gereja local. Dan saya bersama isteri diundang untuk memberi kesaksian dalam membangun iman dalam keluarga.

Dalam kesadaran saya masuklah adegan puncak upacara dalam perkawinan kristiani yang berfokus pada Pengikraran kesepakatan atau janji perkawinan suami isteri. Tetapi dalam pertemuan dengan pasangan remaja ini saya mulai dengan cerita ini:
“….Sudah terjadi pada suatu zaman, seorang bocah yang konon amat nakal. Selalu ada ide baru dalam kenakalannya. Bisa pagi-pagi berangkat sekolah telah mengganggu teman perempuannya. Pernah pagi pagi juga bergegas masuk klas dan menyembunyikan kapur alat tulis guru dipapan tulis. Pernah dia menyembunyikan lonceng sekolah yang digunakan untuk memberi tanda setiap masuk keluar klas atau ganti mata pelajaran…”.

“…Pada suatu sore ketika dia pergi bermain kerumah teman, entah bagaimana posisinya tetapi anak ini mendengar temannya disembur kemurkaan sang ayah, karena pulang terlalu sore seusai sekolah. …dan jangan suka bermain dengan temanmu itu, itulah yang membuat kamu sulit diatur…… sudah cari teman yang lain saja…….”

“…..Si bocah mendengar ayah temannya memarahinya, menangkap kesan bahwa dialah yang dianggap bersalah. Anak ini berfikir bahwa dirinyalah si penyebab temannya diberi peringatan keras. Dialah penyebab temannya dimarahi oleh ayahnya, tetapi lebih dari itu, dia dinilai sebagai “anak nakal” yang bisa membuat temannya ikut nakal…”

“ Kesan itu menjadi pesan mendalam terkesan di lubuk hatinya. Sedikit demi sedikit hatinya tergigit dan timbul niatnya untuk mengambil langkah yang mau menunjukkan dirinya sebagai anak nakal yang baik. Dipikir, dipikir, diolah, diasah, maka setelah dia tamat sekolahnya dari Sekolah Rakyat (SD) maka dia memilih masuk ke sekolah yang bergengsi dan bisa cepat menunjukkan sebagai siswa disana, dan otomatis menjadi anak baik…. Biar tahu siapa saya…..”

“…..Sekolah tersebut adalah sekolah untuk pendidikan calon pastur, terletak di Mertoyudan, Magelang, dan harus di asrama. Itu Seminari Menengah St.Petrus Canisius, yang pada zaman itu bisa menerima siswa dari SR/SD. Masuk asrama adalah hal yang merupakan tantangan berat bagi setiap anak, yang berumur 12-13 tahun, dan tidak jarang anak siswa disana keluar karena tidak tahan hidup bersama lepas dari ayah bunda. Tetapi bocah teman kita ini justru dinilai dapat dijadikan ketua klas, ditantang menjadi pemimpin dan “penuntun” untuk teman teman sebayanya. Proses pendidikan hingga jenjang SMA dituntut 7 tahun. Eloknya bocah nakal itu kuat mengikuti proses pendidikan, yang keras, disiplin dan berisi pelbahai latihan olag raga dan rohani berjenjang sesuai umur dan kemampuannya.

Bocah kita tidak mau kalah terhadap setiap tantangan. Sebab semua itu adalah konsekwensi kemauan akan membuktikan dirinya sebagai anak nakal yang baik. Rupanya “membuktikan dirinya sebagai anak nakal yang baik merupakan janji pada diri sendiri yang setia dilaksanakan sampai pada tahap pendidikan tingkat tinggi. Janji itu janji pada diri sendiri yang diletakkan pada upaya peningkatan kemampuan dan keberanian memupuk prestasi diri…….”

“…..Sampai pada tahap ini selanjutnya dituntut suatu gaya hidup formal, ada aturan lebih ketat aturan disiplin dan janji formil untuk selama hidup dihadapan forum formal. Janji itu bernama kaul dihadapan dan kepada Tuhan dan Atasan dalam hidup sederhana ugahari dalam komunitas gerejani. Menjadi tuntutan minimal sebagai orang baik disini adalah: penyerahan diri total, hidup wadat tanpa isteri selain untuk Tuhan dan pengabdian kepada sesama, taat kepada atasan, hidup uahari dan sederhana tidak melekat kepada kepemilikan akan harta.. Disinilah si bocah kita yang sudah berumur 23 tahun, kena sebuah ketakutan yang eksistensial untuk berjanji menjadi orang baik, semumur hidup (kaul kekal) dihadapan Gereja dan Tuhan…… Maka, Pilihan menjadi alternatip minimalis: atau sekurang krangnya tidak dalam target tertinggi. ……”

………………………………………………………………………

Demikian kembali kopdar dengan peserta temu wicara bersama pasangan 13 anak muda. Saya membacakan janji perkawinan kristani, yang melalui proses panjang sejak sebelum upacara, seperti kursus persiapan nikah, pembinaan kanonik, dsb. Bunyi perjanjian itu pokok isinya sbb:
“Saya (sebut nama sendiri) memilih engkau, (sebut nama pasangan) sebagai isteri/suami. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang dalam sehat dan sakit. Saya mengasihi dan meghormati engkau sepanjang hidup saya”.

Apa yang dipersatukan Allah jangan manusia memisahkannya.
Janji itu dinyatakan dimuka pejabat publik, dihadapan para saksi, dan hadirin terbuka. Tetapi yang terutama dihadapan Tuhan. Dengan memegang Alkitab berarti didasarkan pada Sabda Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun