Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepada Rekan2 Penulis Fiksi Kompasiana: "Mengerti Nilai"

24 Februari 2012   04:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca situasi dan kondisi politik negeri kita seperti disudutkan untuk frustrasi. Seperti tak ada peluang untuk kebaikan : apa artinya jujur, apa artinya adil, apa artinya pengabdian, kalau lalu sama saja mendukung ketamakan dan kerakusan kekuasaan.???

Pada kesempatan sesudah ibadat berjamaah pagi tadi seorang teman bercerita: sewaktu di SD klas empat dia mendapat piala penghargaan “kegemaran membaca”. Salah satu bacaan yang memberi kesan efektip sampai sekarang adalah buku dongeng.

Sebuah dongeng tentang orang kaya yang jatuh miskin. Ketika orang itu masih kaya dan makmur, segala sesuatu yang dia suka, tentu tersedia. Dia makan tak pernah habis, hidangan tumpah ruah selalu tersisa, tak habis dimakan. Sisanya selalu dibuang di slokan samping rumahnya. Alkisah menceritakan bahwa si kaya raya itu jatuh miskin dan harus minta makan kepada tetangga.

Konon suatu pagi dia mengetok pintu seorang tetangga yang telah lanjut usia untuk minta makan. Katanya: ‘Teman tolong aku diberi makan, karena aku telah tidak mempunyai apa-apa.” Tetapi jawab Tetangga tua itu : “Silahkan kawan, masuklah. Engkau masih kaya raya, lihatlah dibelakang rumah saya ini. Sisa-sisa makanan anda telah saya awetkan dan masih segudang besar……”.Tidak dikisahkan tehnologi pengawetannya…(?)

Kesan pembelajaran bagi teman saya yang menyampaikan cerita ini adalah :

“Sampai sekarang saya memastikan diri: tidak pernah tidak-menghabiskan makanan yang sudah saya ambil di piring saya”.

“Membaca saya diwaktu kecil itu membuat saya ‘mengerti nilai’ makanan rejeki pada hari ini.”

Untuk “mengerti nilai” kita sangat dipengaruhi dan tergantung dari pengaruh orang lain. Sering kali pengaruh dari sangat banyak orang. Seringkali merupakan kesan berkepanjangan hingga hari tua.

Itu berarti sangat banyak peluang untuk ikut serta membangun nilai untuk orang lain. Sangat banyak cara membangun nilai untuk hari depan. Sangat banyak cara untuk memberi kesadaran tentang nilai bagi bangsa ini. Dan pengaruh itu dapat dimulai dari semasa anak-anak untuk pembangunan masa depan bangsa.

Sangat banyak kekayaan para penulis fiksi untuk pembangunan bangsa. Pembangunan nilai-nilai dimulai dari anak-anak yang menyukai dongeng dan cerita. Untuk kesadaran terhadap Nilai-nilai dasar kemanusiaan itu seperti latihan ‘menahan diri’ terhadap makanan, ‘suka berbagi’ dengan saudara, agar tidak rakus dan serakah dikemudian hari. Rasa keadilan dan ketakwaan bahkan keseimbangan seksual membutuhkan pembinaan dini melalui banyak cara termasuk membaca dongeng.

Bolehkah tulisan ini menjadi surat pesan kasih saya untuk para penulis fiksi diKompasiana..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun