Semakin kita mau yang sederhana semakin kita harus masuk di kedalaman hakiki.
Awalnya memang sederhana. Sepulang dari beribadat bersama masih saja terngiang di telinga hatiku doa dan lagu terakhir. Kemarin sore beribadat dan lagu terakhir dengan nada tenang bersanjak ini : Pujilah Tuhan, Pujilah NamaNya, Pujilah Tuhan, Sumber kehidupan, …. Penuh kasih sayang. Dan ketika frase itu saya tulis pada status saya di Fb mendapat tanggapan banyak, diantaranya dengan pertanyaan dari seorang agamis : “Siapa Tuhanmu dan siapa namanya”. Sertamerta jawaban saya : Pertanyaan anda sudah basi. Bagi penghayat Pancasila Tuhan orang yang hidup di Indonesia adalah Tuhan Hyang Maha Esa, titik. Esa itu satu dan sama. Yang berbeda itu manusia2 yang mencoba mengenalNya, dan membuat cerita seperti orang-orang buta (baca: terbatas penglihatannya) meraba gajah dan mengatakan kepada temannya bahwa gajah itu seperti pohon bambu besar karena dia memegang kaki gajah itu. Untuk yang Satu ini, batasan pengertian jangan memberi batas KemahaanNya.
Semalaman kurenungkan mengapa apa bagiku kata2: “Sumber Kehidupan”.
Banyak peristiwa seakan akan sekedar menjadi kutipan dari pikiran orang lain, tetapi setiap manusia berakal budi membaca menyerap dan meresap meme dari peristiwa dan pendapat orang lain sebelumnya dan memaknai untuk dirinya..
Kehidupan: saya membaca merenung membaca : keluh kesah, curhat dan lontaran kebimbangan di status-status dari teman-teman di halaman facebook saya. Kehidupan bahkan dapat saya dengar pula di celoteh seorang PRT yang setiap pagi datang kerumah saya membawa warta berita tetangga. Kehidupan itu mengalir, proses memproses dan berproses, dan banyak teman teman itu menyatakan gamang mengalami kehidupan mereka. Padahal kegamangan, keprihatinan, kesedihan kadang melebihi daripada kegirangan, kegembiraan dalam membekas disanubari manusia.
Teringat bacaan saya tulisan almarhum Tom Jacobs SY. Disana dia mengutip gagasan Gottfried Wilhelm Leibniz yang menjelaskan bahwa dasar “kemalangan” itu adalah keterbatasan dunia dan kebebasan manusia. Dan saya melihat kegamangan teman teman karena melihat sisi kehidupannya yang bernuansa “kemalangan”. Dan saya cenderung melihat memang semua peristiwa kemalangan, kejahatan, kecelakaan dst, adalah bersumber pada “Keterbatasan” – (dunia dan manusia) dan “Kebebasan manusia”. Tetapi yang lebih penting dengan “pengetahuan” itu hatiku menjadi lebih tenang dan bisa megambil focus perhatian apa yang perlu dilakukan. (bandingkan Tom Jacobs SJ. Paham Allah,Pnb Kanisius,Ygkt, cet 5, 2002; halaman 47).
Sekali lagi ditegaskan bahwa Peristiwa kehidupan dari teman dari orang lain yang kita hadapi setiap hari bisa menjadi pengalaman kita sendiri “apabila” “ketika” kita bisa mengambil makna dan nilai nilai yang tersirat dan tersurat disana. Sekurangnya kita bisa mencatat unsur-unsurnya dan pesan pesan yang bisa baik direnungkan dan diambil hikmahnya.
Dalam dunia terbuka tulis menulis menjadi makin berragam permasalahannya Misalnya kini ada kasus “Kesalah pahaman akan hak cipta”, yang merenggangkan kehidupan-pertemanan, tetapi akhirnya “terpaksa” dimaafkan karena permintaan maaf.
Perbedaan paham politik, kepentingan yang sama beda cara, menjadikan adanya rasa permusuhan dalam kehidupan ini….. memisahkan kesatuan kesatuan masyarakat yang sebelumnya dalam kedamaian.
Seseorang Pebesbuker mengajarkan kepada saya bahwa hidup itu tidak seindah cerita fiktif, seindah cerita Si UPIN IPIN yang tak kan ada pertikaian. Tetapi juga Hidup itu jangan dilihat hanya gelap saja seperti cerita ANANDHI yang tak habis-habis masalahnya. Dan masih aja ada lagi tokoh PAK.OGAH di serial.SI UNYIL yang menjual kesedihan demi recehan. (Sari Sari)
Hidup pertemanan atau kehidupan social pasti tidak lepas dari masalah Cinta. Ada ungkapan tentang cinta yang sagat sering menghadapi keharusan untuk memilih alternatip sikap penghargaan terhadap nilai nilai atau yang satu orang lebih dari yang lain. Misalnya “kalaupun kita harus selesai saat ini bukan krn cinta ini telah terkikis, tetapi aku tak ingin hati lain terluka oleh ku” (Selsa). Sepertinya mengatakan Cinta itu ada yang harus dipertahankan dan dipelihara, tetapi membuat suatu kegalauan menghadapi realita obyektif yang lain..