Bebarapa kali sudah ditulis mengenai kebohongan public dimedia kita ini. Nampaknya kebohongan public dapat saja semakin menjamur di Negara kita. Tetapi pasti ada juga upaya dibangun untuk mencegah kecenderungan itu, seperti “Rumah anti Kebohongan”.
Kecenderungan kebohongan itu proses yang menyangkut manusia, dan “alami”, tidak dibuat-buat tidak direkayasa. Maka pasti juga tidak berdiri sendiri melainkan sudah ada prakondisi sejak sebelumnya.
Untuk menyebut yang sederhana saja kiranya mudah disebut: pertama: orang, pelakunya, latarbelakang keluarga, pendidikan, dan segala macam kompetensinya. Tentu kebohongannya juga mempunyai ciri, kwalitas, dan intensitasnya sendiri-sendiri. Kedua: lingkungan saat ini, baik lingkup sempit, local, maupun global. Secara local dinegara sendiri sudah sangat sering dikatakan disayangkan tidak ada lagi disekolah kita mata pelajaran budipekerti. Pengaruh global:dengan terbukanya komunikasi dengan masyarakat global maka budaya dan perilaku juga berubah. Konsumerisme, hedonisme, tuntutan kemudahan, serba instant, kesukaan yang glamour mengubah pola piker, pola makan, pola gerak.
Sementara itu kemampuan financial tidak mendukung untuk memenuhi kebutuhan itu. Maka kecenderungan tidak menghormati nilai kebenaran, nilai kejujuran pasti menjadi solusi yang termudah.: Bohong, menipu,mencuri.
Belum lama ini di Fb. seorang teman dalam grup MertoAlumni melontar pertanyaan mengenai Pengakuan dosa. Pengakuan dosa yang dimaksud oleh teman tersebut adalah perilaku “pertobatan berkelanjutan” atas dasar iman dan ajaran agama. Pertobatan dipahami sebagai sikap manusia yang berbalik dari dosa kembali kepada Sang Pencipta. Untuk pertobatan berkelanjutan didahului oleh pengakuan atas dosanya. Pengakuan dosa bisa dilakukan secara formal diforum resmi bisa secara informal secara pribadi. Untuk pengakuan dosa yang baik didahului oleh Penelitian Batin. Konsekwensinya perlu adanya penelitian batin berkelanjutan, yaitu evaluasi perilaku pribadi secara rutin.
Proses tersebut dimuka selain merupakan perilaku keagamaan, juga suatu proses pendidikan dan pembangunan kepribadian serta kerohanian yang dilaksanakan bagi siswa Mertoyudan darimana grup MertoAlumni pernah menerima tempaan.
Penelitian batin yang rutin bukan suatu teori, tetapi praktek yang ratusan bahkan ribuan kaum muda pernah mengalami. Pada dasarnya praktek itu adalah upaya membangun kesadaran moral dan sikap rohani yang menunjang kehidupan keseluruhan. Disadari atau tidak oleh mereka sampai saat-saat selanjutnya, namun itu benar terjadi bahwa mereka menerima pendidikan mendengar SUARA HATI.
Nah, apabila mata pelajaran “budi-pekerti” seminggu sekali di sekolah untuk menggugah suara hati yang bersih, jujur dan niat berbuat baik, itu dihilangkan, sekarang ada gantinya yaitu sinetron-sinetron dengan adegan fitnah dan intrik. Maka jangan heran kalau budaya kebohongan public bisa lolos dari sensor budaya bangsa.
Pemikiran ini sedemikian dangkal. Pemikiran ini tidak meneropong liku-liku praksisnya. Tetapi jangan pula tergesa mengira bahwa anda tidak memahami maksud saya : kebohongan public ada latar belakangnya yang jelas tetapi enggan orang memperhatikannya : DIABAIKANNYA Pendidikan Suara Hati secara dini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H