Menyongsong tg 21 April dimana biasa kita rayakan peringatan hari Kartini : mungkin anda telah memilih gaun dan busana style tertentu, atau merancang acara istimewa.
Bahasa Jawa mempunyai salah satu istilah tata bahasa : Dwilingga salin swara. Terjemahannya : Kata diulang berganti konsonannya, seperti judul diatas : Kartina Kartini.Seperti itu itu juga kata “Bola-bali”, Asli katanya Bali = kembali, bola bali = kembali berulang-ulang kali. Istilah itu mengungkapkan rasa kurang senang, jemu, karena perulangan yang dirasa kurang berarti.Pertanyaannya singkat kata : Masihkah Peringatan Hari Kartini memberi arti dan makna bagi anda.? Berulang Kartina Kartini ada buah apa ?
Peringatan selalu baik diadakan untuk “mengingatkan” kembali, secara rutin, atau setiap tahunan dsb Selain pemikiran tentang waktu juga perlu pertimbangan pada lingkup, yang berdampak pada orang yang dilibatkan maupun ditargetkan.
Peringatan sebaiknya ada thema, yang akan memberi warna dan demikian juga menjadi acuhan dari semua unsur-2 yang dikaitkan. Thema itu entah tersurat entah tersirat ditandai oleh tujuan dan target-target peringatan.
Peringatan juga meliputi selain acara yang berbentuk upacara, sebaiknya ada pula acara kegiatan dengan target-target praksis yang bermanfaat selaras dengan thema. Itu berarti bahwa ideal lagi bila ada tindak lanjut yang berkesinambungan.
Thema dasar yang klasik Perayaan Hari Kartini kurang lebih :
a.Memperingati Hari Lahir Ibu Kartini, sebagai Perintis Perjuangan Kesetaraan Gender, melawan dominasi lelaki dalam budaya Jawa.
b.Membangun kesadaran kesetaraan gender tersebut di masyarakat
c.Memotivasi peningkatan peran perempuan di forum sosial
Melongok sejarah: “lingkungan” social RA.Kartini, yang kental bernuansa aristokratis itu nyata mulai ada keterbukaan social budayanya dipengaruhi budaya Belanda. Bicara soaldominasi lelaki budaya Belanda justru ditandai oleh budaya c l a n kelelakian, seperti disini pada suku Batak misalnya. Sementara dari lain sisi budaya Jawa sebenarnya menganut system parental yang cenderung matrilokal (bukan matriakhal, seperti suku Minangkabau).Sistem Parental itu adanya kesamaan kedekatan persaudaraan antar jalur ayah dan jalur ibu.*) Tetapi pada saat perkawinan ada kecenderungan “matrilokal” sepertinya puncak acara perkawinan ditempat perempuan, baru ada upacara boyong kerumah lelaki. Tetapi dari pengamatan keluarga Jawa ada kecenderungan menghormati “rumah perempuan”. Kondisi seperti ini mungkin karena motivasi ekonomi.
Namun jelas bahwa budaya Indonesia dalam perkembangannya sebenarnya tidak terlalu sulit untuk perjuangan kesetaraan gender seperti semakin jelas diera ordo baru, dimana istilah mencuat ini : “peningkatan peran perempuan” dan di era reformasi sampai kini era globalisasi saat ini perjuangan emansipasi itu melahirkan banyak perempuan yang mampu berprestasi dan mampu mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan prestasi mereka. Saat ini tidak jarang kita temukan kedudukan wanita yang justru lebih tinggi daripada kedudukan pria. Semakin lama semakin pudar kesenjangan kedudukan yang ada antara pria dan wanita dan perlakuan berbeda terhadap pria dan wanita sudah jarang dilakukan.
Dari pengamatan sepintas pada beberapa artikel Kompasiana bulan April dari tahun 2010 – 2014 tentang Emansipasi Perempuan saya merasa bahwa Emansipasi itu telah membawa banyak perubahan. Namun ada catatan saya bahwa ada kecenderungan penyalahgunaan dalam praksis sengaja atau tidak sengaja. Emansipasi Perempuan bukan diartikan sebagai perjuangan kesetaraan, tetapi untuk memiliki pola hidup lepas dari tanggung jawab keluarga, dan lebih tinggi posisinya dari lelaki.
Keprihatinan tentang penggeseran nilai emansipasi perempuan ini berdampak pada warna perhatian orang tua terhadap anak-anak mereka. Anak terpaksa dipercayakan kepada “Asisten Penglolaan Rumah Tangga, Bidang Pengasuhan Anak”. Kerawanan bertambah bila koordinasi suami isteri terganggu, akan semakin meningkatkan peran sang asisten, dan semakin jauh orang tua dari anak-anak.
Atas dasar pemikiran tersebut diatas Thema dan Target Capaian Peringatan agar diarahkan untuk Synkronisasi dan harmonisasi peran perempuan dan lelaki, didalam keluarga dan keluarga besar masyarakat bangsa. Secara konkrit memperhatikan hal-hal sbb:
1.Broken Home dicarikan jalan keluar.
2.Perempuan Karir yang lepas landas supaya didaratkan lagi kedalam keluarga.
3.Disharmoni keluarga akibat Tekanan ekonomi, dicarikan jalan keluar.
4.Pengiriman anak sekolah kelain kota, supaya diapat dipertimbangkan.
5.Keterlepasan pengamatan edukasi bagi anak oleh sebab lain.
6.Hilangnya peran edukatif bagi anak-anak oleh ortu dengan sebab lain-lain.
Panitia Peringatan Hari Kartini hendaknya menciptakan bentuk kegiatan kearah itu, seperti sarasehan atau seminar, atau forum suami isteri dan anak-anak dewasa untuk berdiskusi, tukar pendapat.dst, dst, dst. Saya yakin para Pembina masyarakat banyak lebih akan meemukan bentuk-bentuk yang lebih edukatif efektif.
Salamku hormatku, Em.Astokodatu.
*). Sehubungan dengan sistem kekerabatan jawa, saya belajar dari praktek antara lain ayah saya memberikan sorosilah keluarga dari mbah putri maupun mbah kakung sendiri. Disamping itu ada tradisi yang diistilahkan dengan kekayaan gono gini yaitu pendapatan suami istri setelah menikah yang pantas dibagi sebagai warisan ayahbunda meskipun ada pengaruh budaya dominasi lelaki dengan kebiasaan : segendhong sepikulan. Untuk mencari sumber lain, saya coba cari saja dari Google bisa ketemu link antara lain :
1. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Puji%20Wulandari% 20Kuncorowati,%20SH.,M.Kn./DIKTAT%20HUKUM%20ADAT.pdf
2. http://jawaku.site88.net/kebudayaan_jawa.html
3. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1093/kekerabatan-dan-tradisi-kerja-sama-suku-jawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H