Akung itu nama diri. Tidak penting, sebab siapapun dia ini ceritanya tentang pembaca peristiwa dan penulis tua seusia Dian Kelana, Wahyu, Adi Priatna, Astokodatu, kompasianers tua-tua Desa Rangkat.
Akung itu nama pemberian cucunya yang bermaksud mengundangnya Eyang Kakung. (Kakek)
Dalam renung merenung sendirian Akung teringat saat dia harus secara nyata terdukung memimpin sebuah perusahaan, selanjutnya di periode berikutnya terpilih menjadi ketua cabang sebuah parpol, dan secepat itu pula dipilih menjadi wakil rakyat. Semua "jabatan", funksi atau peran itu dihadapi, diterima, disandang dan laksanakan bukan dengan semata kemahiran keilmuan yang pernah diupayakan secara formal. Tetapi segala yang Akung miliki dan mampu lakukan diuji di asah di asuh dan dikasihkan untuk menghadapi kehidupan didepannya.
Akung belajar berusaha, berpolitik, bertani, berternak, berrelasi dengan semua kawan, dan belajar dengan berkomunikasi, bergaul dengan mereka yang pinter cerdas dalam kehidupannya. Itu berarti bergaul dengan pengusaha, penguasa, rakyat arif jelata. Bergaul itu melayani, berbagi dan belajar dari mereka.
Katanya belajar, tetapi tidak berarti bersedeku, mata melotot dan membuat catatan. Belajar dewasa belajar cerdas itu sambil berbuat, jatuh bangun, tekun dengan hati yang tetap berbunga.
Bunga hati pertama : Learning by Doing dan do always the best.
Bunga hati kedua : Sadar dan coba tahu betul tugas dan peran yang disandang.
Bunga hati ketiga: Rendah hati, tahan direndahkan, mampu dihandalkan.
Bunga hati keempat : Tabah tegar pasti selalu sabar mencari tahu
Bunga hati kelima : Punya impian dan terus bermimpi... (gila!)
Akung saat ini merenung-renung, direnungi dirinya seperti mau menjadi wartawan dan penulis di ujung umur diambang lanjut usia. Mimpi apa Akung Tua itu.?