Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Geliat Sosial Ekonomi Desa

11 Oktober 2015   12:05 Diperbarui: 11 Oktober 2015   12:58 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Warta berita desa setiap pagi selalu saya dengar dari Asisten Rumah Tangga sepulang dari pasar. Berita hangat selalu tentang siapa yang meninggal. Tetapi beberapa kali belakangan ini berita selalu berkisar tentang pesta pernikahan.

Berita yang lagi ngetren selalu actual adalah berita ekonomi keluarga. Kebanyakan keluh kesah dari warga adalah demikian banyaknya undangan pernikahan berdatangan. Ibu itu seminggu ini menerima 7-8, ibu itu menerima 11-13 kartu undangan. Elok lagi bukan kartu undangan yang dikirim tetapi sekemas nasi dengan lauk pauk tradisional, yang sudah berbicara : “anda adalah orang yang saya hormati”, atau bersuara : “tolong nanti datang mohon doa restu…” Dan itu berarti menunjukkan angka rupiah diatas 50 ribu harus disiapkan bahkan harus diantar. Kalau surat kartu tercetak rapi kita bisa datang ke resepsi atau ada istilah liar diluaran “beli makanan mahal”. Sementara yang menerima kemasan nasi tradisional harus datang dirumah atau di gereja, atau diresepsi, dan nanti dikirim lagi kerumah kita roti, atau telor, atau apalah.

Tradisi sosial yang mau tidak mau juga menjadi omongan umum sebagai gerak hati ekonomi rumah tangga desa. Bayangkan ada 10 relasi dan persiapan minimal/rata2 Rp.50.000,- kali 10, sudah Setengah juta. Jangan bilang hidup di desa itu enak dan murah. Pajak sosial juga ada dan tidak terduga. Mana mungkin kita mengantisipasi sepuluh keluarga tetangga yang kapannya mau punya hajat. Bayangkan juga bila itu ditambah dengan peristiwa kematian yang tidak bisa kita abaikan karena menimpa orang yang masih kerabat sendiri atau tetangga dekat. Semua itu mungkin bisa kita sebut pajak relasi sosial bagi keluarga. Cuma kalau pajak untuk negara ada tarip dan pasti saatnya, pajak social kemasyarakatan yang terkait kegotong royongan itu sifatnya bisa mendadak dan tidak terantisipasi dengan baik.

Di kawasan kami pernah ada semacam gerakan yang mengajak berupaya membuat kesepakatan untuk mengurangi event-event yang kadang kadang bisa mencekik pernafasan bagaikan asap dari kebakaran hutan, yang tak mampu kita hindarkan. Gerakan itu menyarankan seperti event tertentu tidak menerima sumbangan. Itu berarti tidak perlu juga pemangku hajat mengirim bingkisan balasan. Namun upaya itu biasanya semakin lama semakin dilupakan lagi dan kembali kepada tradisi. Tradisi dan budaya selalu cenderung mau meningkat kearah lebih meriah, lebih besar lebih bergengsi.
Dalam peristiwa pernikahan baik saudara yang moslem atau agama yang lainpun beberapa kali saya hadiri baik disaat upacara pernikahan maupun persiapan malam sebelumnya hari H, diadakan pengajian dan atau doa dan khotbah dari ustadt/ pemuka agama. Belum pernah saya mendengar pengarahan tentang hidup sederhana atau keugaharian. Sangat sering yang terdengar sanjungan kepada tuan rumah yang murah hati dan bergengsi penuh kemerihan dan kemuraha-hatian, keramahan, dan mengutuk ketidak ramahan dan kekikiran orang, semua untuk mengdongkrak kebesaran tuan rumah yang ramah dan murah hati dst.

Memang tidak mungkin kita tidak ikut bersyukur atas kebesaran dan kemewah meriahnya pesta pernikahan, tetapi adalah kenyataan pula bahwa disana ada beban berat dipihak masyarakat yang kita saksikan. Hukum sosial dan sangsi sosial di hidup pedesaan biasanya memang lebih ditakuti daripada digebugi atau dipanggil polisi.

Setiap situasi dituntut kecerdasan tersendiri. Hukum kesantunan tersendiri, strategi kebutuhan tersendiri, tetapi tetaplah santai yang rasional, dan ugahari serta tertata. Salamku dari desa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun