Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Diperlakukan-Dikerjain-Anda Bagaimana?

24 September 2014   13:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam Tulisan saya beberapa lama sebelum ini. Saya pakai kata “diperlakukan” yang dapat banyak arti. Tetapi ternyata tidak satupun komentar mempermasalahkan istilah “diperlakukan” itu. Perkataan itu bisa berarti : diposisikan, ditempatkan (terhormat atau tidak), dibuat atau bahkan dikerjain. Dalam hal itu subyek pelaku adalah bisa orang lain, peristiwa, situasi ataupun kondisi. Lalu apa yang bisa kita lakukan ? Bagaimana solusinya.? Bagaimana kita tidak sampai diperlalukan dan dikerjain oleh siapapun dan apapun kondisi manapun.“Dikerjain”dibuat diperlakukan ditempatkan oleh/dalam/pada pertiwa ada banyak cara dan intansitas dalam hal :

1.Ke-terlibat-an.

2.Ke-Terkait=an

3.Korban

4.Dampak.

Bagaimana cara melihat. Bagaimana mengambil sikap, kita bisa banyak belajar dari membaca, misalnya kita melongok panulis Kompasianer kita @Mohammad Armand disini :

1.Kisah Getir AKSI dehumanisasi itu, kembali dipertontonkan. Peristiwa pembinatangan manusia ini, menjadi agenda langganan di bilangan perguruan tinggi. Universitas Lampung, melambung, berkat video amatir, tertayang akan barbarnya para ‘monsters’ bernama panitia plus senior. Segala itu kusebut gempa kemanusiaan, pembusukan sejarah manusia dan aksi super lebay, di zona perguruan tinggi. Di sini.

Selanjutnya kita boleh membaca semua artikel tentang para pasangan Capres-Cawapres, sebagai manusia yang ditokohkan di orbitkan dan di-citrakan. Bagaimana yang bersangkutan mengambil sikap dan bagaimana para penulis/komentator menyikapinya.?

3.Kisah Prabowo Mida Naning, di sini dan Kompas.

Dari dua tulisan diatas pertanyaannya adalah keterlibatan seseorang itu “dibuat” atau “bisa berbuat” ? Dan bagaimana pandangan penulis.?

4.Kisah Ahok dan Gerindra. Gubernyur NTT berkilah: kita tak boleh Campuri dst. Bagaimana pula pandangan penulis ?

5.Kisah Pak Tjiptadinata Effendi dan dokter telinga menunjukkan suatu pemikiran tajam, pragmatis, dan ternyata tepat sesuai dengan kebutuhannya yang pas.. Sepertinya belum lama terhadap peristiwa serupa/sama ada pesan lebih sederhana : Jangan tergesa mengambil keputusan, terkait dengan saran operasi itu sebab kemudian ternyata dokter di Australia mendiagnosa lain dan tidak perlu oprasi.

Seseorang didalam atau diluar peristiwa bisa mengambil sikap terhadap peristiwa itu. Dan peristiwa itu akan menunjukkan banyak atau sedikitjati diri orang yang dalam peristiwa itu: sikap arifbijaksana,cerdas, atau pengawuran saja. Atau menjawab pertanyaan pokoknya : Oleh suatu Peristiwa seseorang itu diperlakukan, dibuat, atau memperlakukan dan membuat, tidak dibuat.? Peristiwa dan “Aku”. Masih bisakah “Aku” mengambil keputusan sendiri secara bebas. Itu bisa dilihat mulai dari cara orang melihat peristiwanya :

1.Melihat dengan Pemikiran Observatip , semacam kepekaan disertai pemolaan terhadap situasi lingkungan. Dengan Pemikiran Volume,semacam melihat tembus pada target-target alternatip. Yang lebih penting dengan Pemikiran Analitis, yaitu dengan logika yang tajam, serta mampu berfikir systematis

2.Melihat dan menyikapi dengan Pemikiran holistik, mampu melihat keseluruhan dan tidak partial saja atau sepotong sepotong saja. Cara berfikir juga perlu original, inivatif, tidak klise-klise dan latah.Katakan Pemikiran kreatip, mampu gunakan hypothesa-hypothesa. Mungkin dekat dengan itu adalah Pemikiran ganda, mampu menggabung pola / tata pemikiran, seperti: tata ruang dan tata suara, mampu melihat paradoks-paradoks .

3.Melihat dan mempertajam serta berkelanjutan, yaitu baik bila bisa berfikirPragmatis , maksudnya operasional tidak berhenti pada teori.Sampai nantinya mampu mengkomunikasikan dan mampu memberikan gambaran-gambaran mempermudah penangkapan buah pikirnya. Demikian pasti terkesan suatu Pemikiran yang mantab, tanpa keraguan……….

Untuk sedapat mungkin kita terlepas dari keterpaksaan mendesak memang kita harus membiasakan diri selalu hati-hati dan waspada. Keterpaksaan yang tak terelakkan harus hanya yang namanya musibah, kemalangan, kesialan karena tekanan pemaksaan atau peristiwa alam yang tak terelakkan.

Maka kita harus bisa menempatkan diri dalam posisi dan situasi yang aman terkendali. Kita perlu mempunyai sikap yang “enjoy”, bahagia, karena kita tidak perlu sombong, mengagungkan diri, sebaliknya harus rendah hati, sabar dan bersikap belajar. Sangat pas, orang yang suka bersikap belajar akan mendapatkan adanya keterbatasan baik pada alam maupun insan hidup lainnya. Keterbatasan itu terramu dengan kebebasan dan keberadaan sesama yang harus di”hormati”. Maka pula disana perlu ada dialog atau komunikasi transaksional dalam kesetaraan. Akan merupakan keuntungan tersendiri apabila kita lebih cerdasdan innovatif serta berbuat sesuatu lebih dahulu.

Tulisan berikutnya :“Kemalangan dan pelbagai respon.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun