Mengalirnya angin sepoi sungguh menjalarkan sesirat kesejukan disiang yang gerah. Dibelakang gardu ronda dusun Kaliasat Desa Rangkat tumbuh rindang pohon durian yang megah besar, disampingnya kiri kanan pohon kelengkeng yang bermahkota rendah, menambah sejuknya udara dibawah naungannya. Bila musim berbuah baik durian maupun buah kelenngkeng menjadi perhatian warga desa. Apalagi demi keamanan Kakek suruhan orang memasang jala agar tidak ada bencana “durian runtuh” diatas kepala warga.
Dibawah naungan pepohonan itu Kakek Rangkat terlibat percakapan dengan beberapa tamunya. Kurang jelas ada tamu –tamu itu dari mana, tetapi mendengar logat bahasanya sepertinya Mas Budi yang priyayi Jawi itulah dia dengan dua orang temannya. Yang sempat terdengar Mas Budi bertanya pada Kakek :
Budi : “ Kek apa si artinya kok dikaitkan dengan : “mencari saudara” katanya itu tadi pemeo orang dagang ”….
Kakekpun mulai tanggapannya dengan sangat perlahan. Gaya khotbahnya dukun klenik hampir berbisik mentranfer ilmunya. Tapi bagi Kakek cuma gayanya saja karena sedang flu. Kakek ngomongnya lepas bebas tak tertahan tahan.
“ Saya pernah melihat lukisan. Lalu saya tulis puisi berjudul : “Berburu Kemanusiaan”. Lukisan itu pada saat itu saya pandang ada banyak wajah-wajah bruk, ada gambaran sebuah kota industrl, dengan pipa-cerobong pabrik dan gedung gedung serta tiang listrik. Saya terkesan sepertinya saya mencari bahkan berburu karena tak diketemukan wajah manis dengan suka cita. Yang ada wajah buruk.Buruknya kemanusiaan.”
“Tetapi berbeda dengan pengalaman ketika kami berembuk banyak hal dan masalah hidup di pedesaan. Dengan mencari pemecahan masalah secara bersama, selain solusi, didapatkan pula ilmu dan saudara. Degan kata lain : apabila solusinya pun tidak segera diperoleh, tetapi bisa dipetik Ilmu dan pembelajaran serta persaudaraan dari kebersamaan. Dari teman diperoleh teman, dari saudara bertemu saudara.”
Mas Budi tidak telaten mendengar melulu omongan Kakek yang membuat mengantuk para pendengar, maka katanya : “ Jadi apa artinya Tuno Sathak bathi Sanak itu Kek, aku maaf, belum jelas.?”
Kakek diam sejenak. Sepertinya menunggu gejolak segera ingin tahunya Mas Budi mereda. Itulah caranya orang tua menanggapi gejolak jiwa muda yag kurang sabaran.
“Sebenarnya,( katanya Kakek melanjutkan,) itulah sebenarnya focus pembicaraan kita”. Tetapi sebelum saya jelaskan lebih jauh, ingin aku bilang ini Mas Budi, jangan bilang nanti semua kata-kataku itu kata kekak tua dan itu pandangan jadul. Seperti memandang lukisan yang selesai terlukis, tak berubah lagi, dan nanti akan datang orang memandang lagi dengan beda caranya. Pada saatnya nanti Mas Budi akan menulis puisi yang berbeda dengan puisi saya. Tetapi dari lukisan itu ada yng abadi – yaaah lukisan itu --- juga tersirat kemanusiaan yang sama tapi tak serupa. Wajah buruk itu siapa tahu nanti akan sedikit menggambarkan keberanian ketegasan atau tetap saja wajah keburukan dan kemiskinan…”
“Jadi Kakek lalu mau bilang apa?” tanggapan Mas Budi.
Langsung spontan juga Kakek Rangkat lanjut angkat bicara :
“Kita bersama, aku, kamu, tetap harus memandang sendiri dan mencoba paham. Itu saja, setelah itu kita coba menangkap kata orang. Dan harapannya permasalahanmu akan terjawab dengan kita berdialog ini.”