Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Menghormati Leluhur

19 November 2012   00:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:06 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan batasan kebudayaan sebagai“ekspressi dinamika kreatip dalam kerangka struktur multidimensional manusia atau suatu bangsa”, mari segalanya kita bahas dengan hati mengendap. Sebab pasti setiap buah budaya mengandung konflik dan keterbatasan dari sisi kebesarannya daya kreasi. Perlu digali semangat, jiwa, Spritualitas yang terkandung didalam kebudayaan itu.

Dewasa ini Sadranan yaitu tradisi menghormati para Leluhur atau Nenekmoyang suatu keluarga sudah semakin ditinggalkan sejalan dengan kecenderungan materialistic dan modernisasi. Padahal dapat menjadi peluang reuni dan pertemuan besar kerabat.

Sadranan sebenarnya berasal dari kata Sadra yang berarti mengakui Tuhan yang hidup dan Tuhannya orang hidup yang telah meninggal dunia. Konon sekali peristiwa Raja Agung Hayam Wuruk di Mojopahit memerintahkan mengadakan upacara besar dan meriah dengan sesaji besar-besaran untuk menghormati para arwah leluhur danpara pahlawan Negara yang sudah ikut membangun kejayaan Mojopahit. Menghormati arwah dengan sesaji kepada Tuhan dan mengakui Tuhan dari orang-orang hidup.

Peristiwa itu memberi pelajaran : (a) Kehidupan setelah hidup didunia ini. Terkait dengan itu Orang Jawa sering bilang: “Mereka yang sudah tiada itu lebih bisa melihat”,(“Sing wis kondur luwih pirso”) dan (b) Pengakuan akan Tuhan, Tuhan yang Hidup dari orang yang tetap hidup. (c) Sadranan ternyata menjadi upacara resmi di Mojopahit saat itu. Dan lebih jauh bisa ditarik banyak pelajaran untuk kita dewasa ini.

Di Gereja Ganjuran terletak 17KM sebelah selatan Yogyakarta, sudah menjadi kebiasaan diselenggarakan Missa Agung untuk mendoakan para arwah leluhur pada tanggal 9 Nopember setiap tahunnya. Pilihan tanggal itu atas pertimbangan : (a) Bulan Nopember merupakan bulan arwah (ruwah) dalam tradisi Gereja Katholik sebagai tutup tahun peribadatan sebelum Lingkaran Ibadat Natal. Dan (b) hari berikutnya tanggal 10 Nopember Indonesia memperingati dan menghormati Para Pahlawan Bangsa.

Keistimewaan upacara dan Misa Agung itu antara lain: Diseputar altar dipasang photo-photo para pahlawan dan tokoh-tokoh pengembang Gereja Ganjuran. Misa diselenggarakan meriah/solemn, diikuti pemberkatan bunga tabuh untuk kubur, dan pemberkatan makanan kurban persembahan yang setelah itu disantap bersama. Makanan kurban persembahan itu bentuk dan macamnya disesuaikan dengan tradisi Jawa: nasi gurih dll. Selanjutnya setelah upacara ituumat setempat dan para peserta dari luar daerah menabur bunga di makam gereja atau kerkhof (kerkop) yang terletak 10 meter disebelah gereja. Makam itu bernama Makam Suci Tobias.

Makam Tobias adalah makam terkait dengan gereja, kerkop. Kerkop berasal dari kata kerk-hof artinya halaman depan gedung gereja. Posisi kerkop yang satu ini berada disamping gereja, karena gereja yang sekarang ini bangunan baru (th.2010) menghadap keselatan sedangkan yang lama menghadap kebarat runtuh oleh gempa bumi besar DIY th.2006.

Makam ini ada bersama gedung gereja (Lama) yang didirikan tanggal 16 April 1924. Makam ini dengan sendirinya diisi oleh keluarga karyawan Pabrik Gula Gondang Lipuro dan keluarga kristiani pendatang yang bekerja dilingkunganpabrik itu seperti, sekolah, panti asuhan, rumah sakit yang bukan orang setempat. Pada saat itu Bp.Schmutzer pemilik pabrik gula itu juga mendirikan panti asuhun putri, sekalah, rumah sakit, gereja. Tenaga tehnisi, staf, guru, perawat dsb tentu tak cukup dari orang setempat. Tenaga yang semula bujangan, pada waktunya berkeluarga dan akan meninggal dan dimakamkan ditempat itu. Hal itu menunjukkan keberhasilan pengembangan keluarga pemilik usaha pabrik gula Gondang Lipuro dan semua karya social ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pengembangan masyarakat sekitar hingga sekarang.

Yang dimakamkan dimakam Tobias dari nisan yang bisa dibaca antara lain Bapak dan Ibu J. Oemar Adi Suwignjo, dari staf PG.Gondanglipuro, Bapak Ibu M.Soemoatmodjo, dari tokoh pendidikan, Bapak Ibu Padmoyatiworo, bp.guru dan ibu tenaga medis, Dr. FX Soebroto, Dr.P.Wiyono, Rohaniwan : RP.A.Sontoboedoyo SJ, RP.Hardoparmoko SJ., RD.G.Astonoatmojo pr. Pastor yang putera Bp.Ib.Soemoatmodjo tsb diatas. Bapak Ibu Hardjosoewarno dari lingkungan tehnisi PG. dan yang meninggal dari anak-anak panti asuhan atau pasien rumah sakit yang tidak dapat dikembalikan keasal-usulnya.

Warga atau kerabat keluarga para tokoh lama tersebut diatas sambil menabur bunga pada tanggal 9 November yang lalu pun pada bertemu berreuni dan nostalgia. Mereka diundang dikumpulkan oleh Tuhan dan Nenek Moyang mereka.

Semoga para Pembaca Yth maklum kendati kita bicara tentang Tuhan disini kita tidak membahas agama . Salam Kompasiana.

(Tulisan ini intinya sudah penulis bagikan untuk grup/komunitas Keluarga trah Mikael Soemadi Soematmadja di Fb. Ada seorang teman mengusulkan pemuatan di Kompasiana dengan penyesuaian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun