Penyelesaian pelaksanaan sebuah niatan adalah suatu Pelunasan. Rasa syukur dan kelegaan melihat dampak positip adalah berkah. Niatan itu ialah niatan untuk menulis yang saya mulai pada tanggal 1 Desember 2012. Sebuah buku tentang ayah saya diluncurkan minggu lalu tanggal 28 Juni 2014.
“Awalnya sederhana. Dua anak saya meminta kesaksian tentang riwayat hidup kakek mereka. Mereka meminta dengan sangat. Mumpung saya masih hidup”. Selanjutnya seorang tokoh yang saya hormati, yang sedianya saya menghadap untuk minta izin menulis riwayat hidup beliau, tetapi justru beliau mendesak saya menulis tentang ayah saya. Tokoh itu istimewa karena beliau adalah penggali sejarah Gereja di Ganjuran.*) Dan beliau melihat peran ayah saya disana. Ayah saya hidup dari tahun 1900 – dan meninggal tahun 1976. Dia adalah seorang pelaku perintis pendidikan (guru sejak 1919) dan salah satu perintis terkemuka dari sebuah komunitas umat, Sudah merupakan fakta sejarah. Sejarah Gereja Ganjuran sebagai komunitas umat yang sekarang berjumlah kira-kira 8000 orang di Bantul, DIY bagian selatan. Sementara Dr.Greg.Utomo pr., seorang pastor tua berusia lebih 85 tahun. (kemarin ini diperingati genap 51 tahun ditahbiskan imam) tokoh yang menggali sejarah Ganjuran yang terakhir memotivasi diri saya membuat tulisan tentang ayah saya. (*)tentang Ganjuran dan Dr.G.Utomo pr, periksa Google).
Pada tahun 2013 selama 4 bulan saya berburu cerita kenangan dari kalangan keluarga sendiri yang mengalami minimal melihat kehidupan ayahanda. Enam bulan setelahnya saya berburu cerita kenangan dari masyarakat dan umat seiman yang pernah bekerja sama dalam bidang apapun dengan beliau.Enam bulan berikutnya saya baru membuat draft kerangka dan mereka-reka yasa judul serta sub judul pada bab didalamnya. Saya merancang tulisan itu dengan thema-thema kehidupan dan kronologi akan saya sisipkan saja. Baru seluruhnya draft selesai pada bulan April 2014, dan saya menyerahkan kepada editor.
Pada tanggal 28 Juni yang lalu keluarga besar kami bersaudara dengan anak cucu berkumpul dan mengundang : beberapa keluarga rekan guru ayahanda, Ketua Yayasan Kanisius yang mengurus sekolah dimana terakhir ayah bekerja, para contributor pada buku karya tulis kami, Pengurus Gereja Ganjuran, untuk menyaksikan peluncuran buku itu. Dalam pertemuan itu selain acara protokoler sederhana, saya menyampaikan : Latar belakang penerbitan, penampilan buku sederhana, yang sepantasnya disebut saja Memoir, Kenangan dan kumpulan opini daripada fakta sejarahnya. Disamping itu saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada contributor yang hamper mencapai 50 orang yang mendukung kenangan dan kesan pesan tentang tokoh yang dikemukakan. (Seorang teman Kompasianer penulis puisi satu2nya yang sempat kami undang : Ibu Selsa). Tentulah tak lupa permintaan maaf atas kesalahan teknis maupun persepsi untuk penyampaian kembali dalam buku itu. Selanjutnya secara simbolis kami menyerahkan buku kepada Ibu Kades sebagai wakil masyarakat kepada siapa ayah dahulu melayani, Kepada Ketua Yayasan Kanisius mewakili dunia pendidikan, kepada Ketua Panitia 90 th Gereja Ganjuran, sebagai wakil umat yang dahulu juga ayahanda melayani.
Sebuah refleksi dapat di sharekan. Menyusun “sejarah”, meski ini saya sebut momoir atau kenangan saja tetapi sungguh merupakan pengalaman tersendiri. Menemui demikian banyak orang, kebanyakan lansia, dari pelbagai latar belakang sungguh memberi banyak hal. Pada kesempatan yang ini saya menulis di Penutup buku itu : “menelusuri jejak dalam pertemuan dan wawancara bersama para saksi kehidupan Bapak Mikael Sumadi Sumoatmojo, saya lalu seperti kembali hidup bersama beliau.” Dan pekerjaan menulis hal kehidupan seseorang dimasa lalu sepertinya tidak pernah selesai karena kenangan bisa timbul lagi dan lagi dalam bentuknya yang hidup.Mengenang dan menulis sepertinya seperti mengulang kembali pengalaman akan kebahagiaan bersama orang yang dicintai.
Diatas saya tulis : “Penyelesaian pelaksanaan sebuah niatan adalah suatu Pelunasan” Disini saya merasa melunasi pula kewajiban “menceritakan kehidupan ayah kepada anak cucu” seperti ayah dahulu menceritakan ayahandanya. Sebuah pesan tak tertulis dari nenek moyang supaya kita “Mikul duwur mendhem jero”. Titik itulah dasar dari peletakan dasar falsafah nasionalisme yang terdalam. (Ganjuran, 3 Juli 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H