Segar dan actual dalam ingatan saya dialog antara anak dan bapak yang saya tulis ini:
Anak : Pa, apakah saya bisa jadi pahlawan ?
Bapak: Nak, “Bisa Jadi !” Itu Cuma soal waktu !
Anak : Pa, tetapi bagaimana saya jadi bisa sebagai pahlawan ?
Bapak: Nah kalau pertanyaan ini jawabannya tidak mudah! Jadilah “orang” lebih dahulu.
Maka Bapak itu mulai bicara soal :
1. Pahlawan Nasional
2. Pahlawan Perintis Kemerdekaan
3. Pahlawan Tanpa tanda Jasa, tetapi sungguh berjasa.
4. Pahlawan Olah Raga,
5. Pahlawan kesiangan.
Kesimpulan Bapak itu diberikan kepada anaknya, saya tidak ingat semuanya. Yang saya ingat : Sekarang semua orang harus bisa jadi Pahlawan, biar sekedar local atau nasional. Kau jadilah orang, pahlawan keluarga, buat bapak, ibu dan adik-adik Selesailah kisah Bapak dan Anak tentang Pahlawan.
Mencoba menganalisa sendiri sambil sedikit sedikit menggali memori berturut turut mari kita runut jalan pikiran Bapak untuk anaknya itu. Mungkin menjadi postingan yang actual menyongsong Hari Pahlawan 10 Nopember 2015 mendatang ini.
Dengan menyebut pahlawan Nasional dan perintis kemerdekaan, bapak itu mau mengatakan kepahlawanan itu bersifat resmi dan berkaitan dengan masalah resmi, hal yang besar dan untuk orang banyak. Dan memang benar Pahlawan Nasoinal adalah gelar penghargaan resmi dari Pemerintah Indonesia diatur oleh Undang-undang : UU. No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Gelar itu diberikan kepada : Orang yang punya perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga lainnya. Seperti para perintis kemerdekaan, yang karya dan sikapnya mulus serta nyata membuat orang banyak, bangsa kita siap untuk merdeka. Ini gelar anumerta, atau gelar yang diberikan bagi orang yang telah meninggal dunia. Tetapi bisa juga gelar yang diberikan untuk orang yang masih hidup, yaitu orang yang “sangat luar biasa berjasa bagi kepentingan bangsa dan Negara”. Sering pula disebut Tanda Penghargaan. Kesemuanya ada kriteria, jenis perbuatan/jasanya, persyaratan dan aturan pemberiannya, diatur oleh UU no 20. Th 2009, pasal 25, dan 26.
Dengan menyebut Pahlawan tanpa tanda jasa, bapak itu justru mau mengatakan perihal jasa buah karya kepahlawanan bagi orang banyak atau bangsa dan Negara. Maka bapak itu menyebut tanda penghargaan bagi para guru dan bagi olah ragawan yang luar biasa membawa keharuman nama bangsa dan Negara, para pakar innovator, ilmuwan yang istimewa.
Dengan menyebut Pahlawan kesiangan bapak itu bergurau dan mengatakan relevansi jasa yang tidak untuk pencitraan dan sungguh dirasakan oleh sesamanya siapa saja.
Selanjutnya memang benar penulis atas jasa Google menemukan bahwa Kementerian Sosial Indonesia memberikan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang individu, yang akan ditetapkan sebagai pahlawan :
• Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya:
o Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/ perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/ mempertahankan /mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
o Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
o Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
• Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.
• Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
• Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.
• Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.
• Tidak menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangannya.
• Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya. (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Pahlawan_Nasional_Indonesia)
Kepahlawanan pada dasarnya adalah Pengabdian dan Perjuangan yang menuntut pengorbanan. Hal itu bisa dirintis dan diupayakan sejak awal, sejak muda, sejak sekarang. Dan itu disebut diakhir wejangan bapak kepada anak tersebut dimuka. Dan itulah penjelasan tentang meneladani dan keteladanan dari Pengabdian tanpa pamrih meneladani para Pejuang Kemerdekaan Hidup atau mati untuk merdeka.
Semangat kepahlawanan menurut penulis ini adalah kebahagiaan yang altruis. Setiap orang tentu mau bahagia, itu sifat dasar manusiawi. Sifat ingin bahagia milik kita semua, tetapi tidak semua berfikir tentang bahagia dalam kebersamaan dengan semua sesama ciptaan Tuhan. Kebahagiaan aktruis ini diteguhkan oleh keimanan tentang kebahagiaan dan Cinta Kasih Murni Tanpa pamrih.
Hari ini setiap tanggal 1 Nopember, Gereja Katholik beribadat dengan khusus thema Penghormatan kepada (baca: Penghargaan anumerta kepada para orang kudus (pahlawan) dan para orang bahagia disorga. Ada penetapan resmi dan deklarasi kanonik (hokum gereja) bagi mereka dengan criteria :
a. Martir, shuhada, bagi mereka yang demi iman mati shahid.
b. Saksi Iman, bagi mereka yang dalam hidupnya menunjukkan kehidupan saleh dengan ibadah dan karya kasihnya yang nyata dan pantas diteladani.
c. Saksi Iman dalam kepemimpinan, kepakaran, dan keteladanan.
d. Untuk semua criteria itu dituntut adanya “pembenaran” oleh pengakuan umat beriman dan Tuhan sendiri oleh adanya “mukzisat”.
Dengan melihat kepahlawanan, kebahagiaan yang altruis, sebagai label kehidupan, atau sifat yang melekat pada individu itu secara anumerta, kita harus terbuka hati melihat kepahlawanan dan kebahagiaan altruis itu kini sebagai semangat dan jiwa kepahlawanan yang diupayakan menghidupi diri dan masyarakat kita sekarang. Amin.
Ganjuran 1 Nopember 2015
Salam hormatku, Em.Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H