Menarik , dinilai orang, Dinilai karena menarik. Menilai karena tertarik, Tertarik, terus menilai.  Naaah  pusing bukan, maka hati-hatilah.  Joni menilai Ani , Ani menilai Joni, itu saling menilai. Joni menarik bagi Ani dan dinilai, Ani menarik bagi Joni, dan dinilai, terjadilah saling tarik menarik dan saling nilai menilai. Di negeri kita ada juga yang menarik karena menilai sembarangan menilai. Nah jadi dinilai orang pula.!
Kalau membaca yang ini pasti tidak pusing,
"Jokowi-Luhut menarik, maka dinilai oleh Amin Rais, yang Menilai karena tertarik. Â Kapitra Ampera tertarik oleh Amin Rais, yang menilai Jokowi-Luhut, maka Kapitra menilai Amin Rais, bahwa Amin Rais yang perlu tes kejiwaan.. Lengkapnya silahkan periksa. Politikus PDI Perjuangan Kapitra Ampera menanggapi Amien Rais yang sebaiknya segera diperiksa kejiwaannya ke psikolog. "Kayaknya Pak Amien Rais, tuh, yang perlu tes kejiwaan, ada power syndrome complex yang lagi saya lihat, ya," kata Kapitra kepada JPNN.com pada Senin (4/4).
Amien Rais memang selalu memandang buruk kebijakan pemerintahan Jokowi. "Diduga dia mengalami power syndrome complex, tidak ada satupun kebijakan pemerintahan Jokowi yang baik di mata dia," ujar Kapitra. "Cara memandangnya, kalau kita sudah benci dengan seseorang, apa yang dibuat seseorang itu pasti salah. Sama juga kalau kita suka sama seseorang, apa yang dibuat orang itu pasti benar," sambung Kapitra.
Dalam kutipan ini terungkap adanya hal-hal yang dalam menilai menjadi lebih tajam dan munukik pada kepribadian yaitu: tes kejiwaan, psikolog, cara memandang baik/ buruk (positive/negative thinking), power syndrome complex.
Belajar tentang 'menilai' sangat mengesan: dikala belajar berdiskusi, disepakati kita harus setia pada pembahasan topik bukan pribadi pembicara, katanya : "Argumen ad hominem, No." Jadi sebenarnya ada aturan yang memberi kisi-kisi tentang 'menilai'. Tetapi silahkan periksa catatan berita yang lebih baru menurut rekaman saya ini :
Biodata Mayjen TNI Untung Budiharto, Mutasi Jabatannya Jadi Penyebab Jenderal Andika Perkasa Digugat  tulis Putra Dewangga Candra Seta,(SURYA.co.id.) Â
Digugat, dilaporkan setelah dinilai, diminta Pengadilan memberi keputusan penilaian sesuai kesesuaian perilaku tergugat dengan aturan, yang tuntutkan dalam gugatan.
Berikut lebih rumit lagi dalam nilai menilai, dalam berita ini :
Alasan Tito Tak Larang Apdesi Menyatakan Sikap Dukung Presiden 3 Periode. Â Anggi Tondi Martaon menulis :Salah satunya, status anggota Apdesi yang bukan aparatur sipil negara (ASN). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjawab kritik yang dilancarkan terhadap dirinya terkait dukungan presiden tiga periode yang disampaikan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Dia mengaku tak bisa melarang sikap tersebut.(msn.com/id-id/berita/other).
Anggi Tondi Martaon tertarik pada Mendagri, menilai lalu menulis bahwa Mendagri menjawab kritik. Yaitu kritik terhadap kebijakan Mendagri yang tidak melarang Apdesi yang menilai dan mendukung presiden tiga periode, tentu setelah Apdesi membuat perbuatan 'menilai' terhadap Jokowi.
Dalam kutipan ini ada penilaian jurnalis terhadap peristiwa kritik mengkritik. Pelontar kritik menilai Mendagri abai dan Mendagri menjawab dengan mempertanyakan dasar hukum dan kebebasan Apdesi yang bukan ASN. Tidak terkutip, pengkritik masih menyalahan Mendagri sebagai pembina semua organisasi masyarakat.
Demikian itu seperti bisa kita belajar juga dari jurnalis yang tertarik dan menilai lalu menulis ini,
"Kita terus belajar. Dalam manajemen itu banyak hal yang tidak kita duga dan harus hadapi. Semua orang yang beribadah tentu diajarkan soal adil. Kita tidak memihak siapapun berdasarkan meritokrasi, ada 'reward and punishment' sesuai meritokrasi itu," kata Ahok yang juga Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) secara daring Jumat (25/3) sebagaimana dilansir dari situs bmkg.go,id. "Semua orang yang masuk lingkup kita, supaya setiap orang tidak tercecer ditinggal, dizalimi. Kita pakai sistem transparan buka komunikasi. Jangan ketika kita di atas, tidak mau terima komunikasi dari bawah, kita dapat dibutakan orang di sekitar kita (jika tidak mau mendengar suara akar rumput atau bawahan)," katanya.
Mari kita renungkan secara sederhana dan akal sehat saja semua sebagai peristiwa keseharian di negeri ini..
Merunut cerita dan kutipan diatas ada batasan 'menilai' dengan 'jangan menilai' kita perlu membedakan kehidupan sosial dan pribadi, dan dua bidang pun dapat di buat relatif. Ada lingkup luas : negara, masyarakat (lingkup) umum, ada lingkup khusus hingga yang sungguh pribadi. Katakan ada forumnya masing-masing. Ada forum kenegaraan, kemasyarakatan/adat, keluarga, hingga pribadi yang berintrospeksi. Dan jangan dilupakan disini kita bicara tentang tindakan atau perbuatan seseorang diukur dikaji dengan baik atau buruk menurut aturan
Dalam kehidupan bersama sehari hari penilaian baik buruk itu selalu terdapat perspektif, terkait dengan : (1)kekuasaan/kewenangan,(2) prestasi dan tanggung jawab, (3)hak/ kewajiban dan keadilan.
Dari tiga perspektif diatas itu ada benang merah yang memang mudah tampak yaitu pembinaan dan pendisiplinan melalui reward and punishment, atau peradilan sesuai aturan yang berlaku. Kaidah ini berlaku pada semua jenjang kehidupan
Maka setelah kita telusuri dari pemberitaan dan peristiwa termasuk tindakan kritik, penilaian, dsb tadi  saya merangkum dalam pengertian "Menilai" disini sebagai berikut, "Menilai adalah tindakan atau perbuatan seseorang membuat gambaran yang obyektif atas sisi kebenaran yang dirasakan baik atau buruk dalam lingkungannya. Oleh karena itu gambaran dilengkapi dengan tinjauan atas aturan atau prinsip dan keyakinan tentang benar atau salahnya."
Ada banyak saran penilaian dari pelbagai cara pandang atau visi, agama maupun filosofi tentang nilai menilai dengan segala dampak yang dibuahkan. Pertanyaan praksis berikutnya adalah apakah kita juga boleh, harus, sebaiknya selalu, 'membuat penilaian'.?
Penilaian yang semena-mena kita bayangkan dalam percakapan ghibah, merumpi, rasanan, pergunjingan hingga lontaran terjun bebas di medsos. Tentu harus disikapi dengan kebijakan bulan Puasa Ramadan. Jadi menilai selalu boleh tetapi mempercakapkan, melontarkan penilaian itu harus ada pengendalian diri, jangan sampai mencemarkan nama baik tanpa dasar kebenaran.
Kesalahan terbesar oleh para penilai yaitu bila didasarkan pada sadar tidak sadar merasa diri paling baik atau diri lebih baik dari yang mau dinilai. Biasanya karena kurangnya transpasansi dan komunikasi.
Penilai yang paling valid hukumnya adalah bagi para penanggung jawab terhadap anak-anak buah atau bawahannya, orang tua terhadap anak-anaknya. Itupun ada tujuan yang ditargetkan dan ada kebijakan bimbingan pendampingan asuhan.
Penilaian yang wajib menurut layaknya adalah introspeksi pribadi. Sementara Penulis, Pembaca, Pengamat tentu mempunyai alogaritmenya masing-masing. Dan sikap kritis serta kewaspadaan. Orang Jawa bilang : Mulat salira hangrasa wani, Hamemayu hayuning Bawana. Penuh kesadaran dan mawasdiri, Semua demi kedamaian bersama.
Pembaca yang budiman, merespon pertanyaan pada judul Menilai orang dimana baiknya? Ya disitulah, menilailah saudara dimana salah saudara kita, dan peringatkan demi dan dengan jiwa persaudaraan, untuk kebaikan bersama. Bukan dengan dan demi semata kebesaran citra diri untuk perebutan posisi yang menguntungkan.
Saya menulis dalam suasana hati refleksi Aksi Puasa Pembangunan, masa puasa kristiani saya, semoga juga dengan rendah hati berharap ada kemanfaatan bagi para pembaca yang oleh ridlo Allah sampai di tulisan ini. Â Dan kepada semua juga kepada Yth Admin Kompasiana, disampaikan permohonan maaf bila tidak berkenan dan salam hormat saya.
Ganjuran, April 06, 2022. Emmanuel Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H