Awalnya adalah percakapan WA, seorang sahabat memberi peringatan agar saya tidak usah menulis perihal politik. Cukup untuk tahu dan mengikuti perkembangannya. Saya merespon di sana: Memang saya capek, dan saya menulis tentang edukasi, pewarisan nilai dan perkembangan budaya. Tetapi saya masih menyambung: apalah saya, menulis hanya sebagai pembelajar, dan hidup bersama di masyarakat lingkup desa. Saya tahu sadar diri siapa saya sekedar hadir partisipatip dalam lingkup itu.
Mengapa saya diberi peringatan demikian itu.? Saya bercerita baru selesai mengikuti sedikit ketegangan di dusun saya. Sebuah keluarga sahabat mengalami peristiwa musibah kematian, sementera kehidupan keagamaannya tidak ada kesamaan. Mereka menghayati kebersamaan dalam perbedaan dengan tanpa masalah, tetapi masyarakat sekitar menghadapi peristiwa kematian itu hampir saja terpicu masuk ke dalam semacam keributan. Saya saya datang berucap marilah kita mengacu pada pendirian keluarga itu saja, dan sebagai masyarakat tertata biarlah Kadus ikut mengaturnya. Selesai sudah.
Memang kesadaran diri dan kepedulian sosial atau lingkungan sekitar setiap orang berbeda. Kepedulian kepada lingkungan bagi seorang ekstrovert mungkin lebih dahulu muncul, tetapi kesadaran diri akhirnya sebaiknya yang akan mengendalikannya. Disamping itu peranan dan posisi pribadi itu yang mau tidak mau menentukan macam apa kepedulian-sosialnya dalam lingkup lingkungannya.
Beberapa hari yang lalu diberitakan oleh Republik.co.id Jakarta bahwa Ketua Umum Forum Satu Bangsa, Hery Haryanto  merasa prihatin dengan terjadinya berbagai dinamika sosial politik pasca kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab (HRS) dari Arab Saudi.Â
Terjadi kerumunan luar biasa dan bersambut dengan polemik kontroversial khususnya terkait hubungan kelompok HRS yang selalu mengatasnamakan agama dengan pemerintah Jokowi. Dan sementara itu hubungan Presiden Joko Widodo dengan dua pimpinan ormas Islam terbesar yang moderat, NU dan Muhammadiyah, terus mengalami dinamika pasang-surut. Dan jika ketegangan sosial tetap dipertahankan, akan mengakibatkan social distrust yang serius dan dapat mengancam keutuhan Bangsa dan Negara. Ternyata pula sampai saat ini TNI dan Kepolisian sudah merespon situasi ini. TNI dan Polri pasti memiliki informasi akurat tentang kemungkinan kekisruhan situasi ini bisa ditunggangi kepentingan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab.Â
Oleh karena itu Hery merasa perlu untuk mengusulkan dialog nasional di kalangan ormas-ormas yang memiliki komitmen terhadap NKRI dan keberagaman, apapun latar belakang agama dan kelompoknya. Dan TNI dan Polri harus membuka kepada publik tentang dimensi-dimensi ancaman tersebut dengan cara-cara yang sesuai.(Forum Satu Bangsa: Setop Hujat Rizieq, Segera Gelar Dialog (msn.com))
Seperti juga halnya Pangdam V Jaya Majen Dudung Abdulrachman dalam rangka merespon situasi tersebut diatas memerintahkan penurunan baliho dan berucapan tentang pembubaran FPI. Maka tiba-tiba saja dia menjadi tokoh yang sedemikian rupa sehingga orang menggali jauh latarbelakang hidupnya sampai SMA masih tidak sungkan membantu ibunya berjualan klepon. Tidak perlu dipapar ulang cerita ini.
Tetapi nyata benar ada kesadaran diri tinggi setinggi bisa berani mencuat merespon situasi. Sama seperti demikian Hery Haryanto menyampaikan usul dengan argumennya diadakannya dialog nasional.
Bicara tentang kesadaran diri dan kepedulian sosial sekalipun, saya teringat omongan Diana Ackerman (+1948) pujangga penulis Amerika: panjatlah sampai ke mana, terbanglah setinggi apa, ruang angkasa udara kita adalah sama dengan apa yang kita hirup sambil duduk minum kopi di bumi ini. Saya memaknai bahwasanya tidak harus menjadi orang penting untuk berkepentingan mempunyai kesadaran diri dan kepedulian sosial yang tinggi. Justru orang sederhana kadang memiliki kesadaran diri dan kepedulian sosial yang memadai.
Dalam budaya Jawa ada terdengar ucapan : Â Tepo Sliro. Nasehat pergaulan sosial untuk bersikap kepada orang lain menghargai sebagaimana dia ingin dihargai oleh orang lain. "Tepakna marang awakmu dewe !" "Sikapi lah orang lain seturut (tepak) kepada dirimu sendiri". Untuk tu harus mempunyai kesadaran atau pemahaman tentang diri sendiri.
Pernah saya baca bahwa Pustaka Hindu sangat menjunjung tinggi kemampuan orang seorang dalam Kesadaran Diri, memahami diri sendiri. Diajarkan agar orang berlatih dengan sabar, sedikit demi sedikit, melalui berulang kali keberhasilan dan kegagalan, kesadaran diri akan menjadi kepribadiannya.