Pengertian saya tentang Wong Cilik saya ambil dari ingatan akan pengalaman aktif dikancah politik tahun 1993. Tahun itu tergabung diantaranya lima partai politik dalam fusinya dengan bendera Partai Demokrasi Indonesia.Â
Dari saat itu saya mengenal apa artinya wong cilik. Wong cilik bukan orang besar. Dalam setiap komunitas,jenis-jenis kelompok masyarakat, ada orang besar dan ada orang yang pantas disebut wong cilik. Wong cilik adalah mereka yang jauh dari kesempatan dan kewenangan mengambil keputusan dalam dan bagi komunitasnya..
Maka setiap partai politik memperebutkan wong cilik, sebab dalam Pemilu setiap warga negara dari yang bodoh, yang jahat, yang cacat, yang pelacur, yang pikun,yang penakut pun berkempatan mengambil keputusan untuk memilih.
Dalam komunitas Rukun Tetangga (RT) saya, ada seorang warga, pak Sur,berizasah SMP, profesi tukang becak, orangnya peramah, terbuka suka menolong, banyak teman. Dan ada seorang warga, pak Kar, berizasah SMA, profesi karyawan pabrik kerupuk diluar desa kami, berangkat kerja jam enam pagi, pulang jam lima sore. Pak Kar orangnya agak sombong, kurang bergaul, malas bergotong royong. Â
Pak Kar jarang terdengar suaranya dalam komunitas RT kami, lain dengan Pak Sur, dia sering memperdengarkan dan didengarkan suaranya dalam Rembug Warga. Pak Sur menjadi dekat dengan Bpk.Ketua dan pengurus RT, dan ikut menjadi Wong Gede RT, sementara pak Kar adalah golongan Wong Cilik.
Dalam lingkup RT kami masih ada beberapa orang terpandang dimata para tetangga yaitu : seorang mantan guru SMA, dua orang guru SMA, dan seorang PNS yang hanya seminggu sekali pulang kerumahnya di RT itu. Mereka ini tidak pernah dilibatkan dalam rembug RT, hanya diberi undangan bila ada acara yang penting. Mereka itu memang tidak layak disebut wong cilik tetapi mereka sendiri sepertinya tidak cukup peduli pada masalah masalah kehidupan RT.Â
Dikarenakan mungkin oleh kesibukan mereka atau memang oleh kondisi kejiwaan orangnya. Mereka ini sudah merasa besar dalam komunitasnya sendiri dilain tempat,sehingga tidak peduli dianggap golongan wong cilik yang tidak selalu diperhitungkan di kampungnya.
Maka dapat dipertanyakannya sebenarnya haruskah wong cilik itu selalu dinilai rendah.(?) Dan kapan waktunya golongan wong cilik itu dihapus saja dalam tata kemasyarakatan kita.(?)
Dari wong terpandang yang direndahkan dan tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan rembug desa di RT kami itu sebenarnya tersimpul suatu sikap rendah hati juga. Mereka sanggup merendah hati. Dalam pandangan mereka nilai dan kebesaran seseorang tidak hanya terletak ketika orang itu diminta pendapatnya, diminta persetujuannya, tetapi dalam berkomitmen sesuai dengan kapasitasnya untuk baiknya hidup bersama.
Jadi sebenarnya menjadi wong cilik atau wong gede selain ada unsur situasi lingkungan sosial tetapi juga ada unsur kemauan hasrat seseorang yang berpangkal pada martabat kemanusiaan yang bisa disadari setiap orang.
Didesa saya ada seorang yang mendapat "gelar" dibelakang namanya sebutan SEWU, artinya seribu, pak Pawiro Sewu. Karena kesombongannya dimanapun dia selalu memberi penawaran harga tertinggi Aku berani Seribu! Sejenis orang itu ada lagi seorang warga yang dalam percakapannya ujung-ujungnya bercerita tentang anaknya, adiknya, keluarganya adalah orang besar, pejabat ini pejabat itu. Itupun sejenis saja dengan adik kecil saya yang tidak mau diantar kesekolah sampai depan pintu sekolah. Dia bilang malu didepan teman-teman masih dianggap anak kecil. Kakak saya bilang "Cah kemlinthi" artinya "lagaknya besar",biar kecil tapi sombong.