Jadi sebenarnya seperti sikap beberapa gelintir orang terpandang di RT saya yang memilih menjadi wong cilik, mereka mereka itu berkesempatan menunjukkan sikap yang tidak sombong tetapi rendah hati.
Rendah hati itu bukan rendah diri, yang dalam bahasa asing terdengar disebut : minderheid. Rendah diri adalah rasa kurang mampu, kurang cukup percaya diri untuk berdiri menghadapi sesuatu yang menantang.
Sebaliknya rendah hati itu sikap tidak sombong, tetapi tahu diri, siap dihandalkan ketika harus menghadapi setiap tantangan. Dan menghadapi sesama manusia bersikap cenderung menghormati dan menghargai.
Ayah saya menceritakan tentang dua orang guru dizamannya. Guru yang seorang disegani orang tua murid dengan rasa hormat karena sikapnya yang santun ramah dan menghargai ortu murid semua saja. Guru yang seorang sama santunnya tetapi berkesan memandang rendah ortu murid yang miskin. Apalagi guru ini ketahuan oleh para ortu murid dia mengaku diri sebagai kepala sekolah.
Diceritakan pula oleh ayah tokoh-tokoh yang pantas dihormati pada zamannya. Salah satu diantaranya tokoh yang rendah hati karena dia menyadari statusnya sebagai hamba raja di kerajaan Mataram yang bertugas dibidang kejaksaan. Punya Rasa tahu-diri sebagai hamba raja, tetapi harus sadar dia hamba dibidang hukum. Kebenaran harus ditegakkan. Meskipun disaat itu (kata ayah saya) kebenaran dan hukum adalah Sabda Raja, tetapi sikap dasar itu harus menjadi kesadarannya..
Berfikir akan situasi Kerajaan dizamannya, membuat saya teringat akan khotbah Bapak Ignatius Kardinal Suharyo beberapa minggu y.l. Dia mengatakan Kedatangan Kerajaan Allah yang didoakan harapkan dalam doa itu ditandai apabila harkat martabat manusia dihargai, ciptaan Tuhan dipelihara lestari. Dihadapan Jaksa Agung diakhir zaman harkat dan martabat manusia sama, hanya nilai yang kita tuai tentu sesuai apa yang kita tanam. Tuhanpun akan memperhitungkan martabat manusia yang harus menanam kebaikan.
Setelah berbicara tentang Martabat manusia dihadapan Tuhan dan Sesama tidak ada lagi argumen motivasi lainnya, selain kita mengharap saja akan adanya penghayatan nilai nilai hakiki itu melalui edukasi sosial dan edukasi diri.Â
Tidak menjadi penting menjadi orang golongan wong cilik atau wong gede, ketika setiap manusia dihargai dan diperhitungkan dikarenakan martabat hakikinya dan iktikat baiknya. Bukan kekuasaan tetapi nilai nilai kebaikan hidup bersama harus diedukasikan
Demikian sekedar permenungan saya ketika nyaman-nyaman saja dirumahkan. Mohon dimaafkan bila ada kesalahan yg mengganggu. Tolong terima salam hormat saya. .
Ganjuran, Juni,25, 2020. Emmanuel Astokodatu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H