Saya lahir akhir zaman penjajahan Belanda, saat masih kecil sempat saya melihat buku bacaan yang memuat gambar gambar perempuan dan lelaki yang dinilai penulis sebagai orang Jawa yang malas.Â
Lelaki duduk dipinggir jalan, perempuan pada mencari kutu rambutnya (petan). Dan semua diberi judul "Luie Javaans". Dilain halaman orang memelihara burung perkutut, dan orang Bali membawa ayam aduan ....Menyakitkan hati saya.Â
Tetapi sebelum mereaksi itu sekarang dan membuat pernyataan serta pertanyaan balik, kita bertanya dulu pada diri kita pernahkah anda merefleksi sebenarnya kemalasan kita sendiri masing-masing ?Â
Dengan refleksi kita bisa lebih paham, bagaimana kemalasan itu, kapan kita malas, mengapa malas, sehingga kita juga melihat kadar dan ukuran kemalasan kita. Bahkan saya ingin bertanya: adakah hubungan malas dengan kebebasan dan kemerdekaan. Juga sebelumnya sebaiknya dipahami bedanya: Sikap Malas dan Tanpa Kegiatan yg berarti.
 Lebih berhati hati bila kita membedakan antara Tenaga Pocokan dan Orang penganggur/ jobless. Mungkin ada pernah bergurau dengan ungkapan ini "Pengacara" yang lanjutkan "Penganggur banyak acara". Semua itu sebenarnya permainan bahasa yang mengisyaratkan ketajaman melihat makna sekitar pekerjaan.
Mari bayangkan, Sikap malas, malas, bermalas-malas sehingga tampak tanpa kegiatan yang berarti. Disana orang bisa santai, relaks. Dan itu ada beberapa sebab baik yang bisa dimaafkan atau tidak. Kapan itu:
1.Menunggu, menanti (bisa terpaksa, bisa terrencana)
2.Istirahat, Rehat.(bisa terpaksa, kelelahan, bisa terrencana)
3.Jeda (time out)
4.Liburan
5.Baper, Jenuh, Kebosanan (jemu menghadapi rutinitas)