Tiga tahun yang lalu saya menulis diStatus Fb saya tentang pengalaman disapa dalam pergaulan keseharian. Saya tulis demikian : “Kebahagiaan tersendiri saya rasakan bahwa saya disapa dengan baik sekali oleh orang-teman kawan yang tidak seiman dengan saya. Orang-orang baik itu dikirim untuk memberi kekuatan Tuhan bagi saya... Terima kasih Tuhan, Deo Gratias.” Sapaan adalah awal dari penghargaan. Penghargaan terhadap pendapat berlanjut dengan penghargaan terhadap pribadi. Seperti pengalaman dibawah ini :
Belum lama ini seorang saudara hampir seusia saya, minta saran dan nasehat agar hidup lebih damai. Dilain waktu remaja mahasiswa minta saya menjadi penasehatnya. Saya sendiri sering menyatakan kepada teman di dunia maya ini : Anda adik saya dalam usia tetapi kakak saya dalam kebijaksanaan, kehidupan, prestasi dst,dst. Sebenarnya saya merasa bahwa sebagai pemberi aspirasi itu tak layak untuk berbangga, karena Tuhan memberi pencerahan kepada salah satu yang dikehendakiNya. Penyalur”kurnia-pencerahan”, yang “inspiratif” itu hanya alat Tuhan saja. Penyalur jangan ditempatkan pada strata yang tinggi kecuali Nabi. (Wah ini “kata” yang sedang sensitip)
Salah satu tanda kalau kita bisa menghargai pendapat orang lain itu kalau kita bisa dan berani memaparkan pendapat orang lain itu dengan benar. Pendapat orang adalah bisa dipahami sebagai representasi orangnya. Kesalahan menangkap pendapat itu bisa merugikan si empunya pendapat. Dan memaparkan pendapat orang lain bisa karena setuju bisa sekedar mau menghadirkan pendapat itu atau yang berpendapat. Masing masing bisa saja terjadi. Seperti contoh dibawah ini :
Pada tanggal 24 – 25 Nopember seorang teman Lilik Saptowati Widyarini menulis di kronologi Fb-nya, dalam rangka mencari kehidupan yang cerdas menyimpulkan bahwa perlu orang itu Berfikir yang Positif, menjalankan yang positif, dan abaikan yang meragukan dan (berfikir) negative. Dilanjutkan sebuah pernyataan bahwa “Berprinsip itu Berresiko”. Disana saya benarkan dan saya lanjutkan dalam rangka mencari kehidupan yang cerdas tadi : “Itu benar, konsekwensi jadi orang yang berprinsip (seperti Ahok) itu harus berani berbeda, berani menjadi dirinya sendiri”. Ini tanggapan. Komentar itu pendapat saya merespon pendapat orang lain. Ada dua keuntungan didalam pemaparan pendapat itu. Pertama terpapar pendapat orang lain, kedua ada peluang dalam memberi komentar menunjukkan penghargaan kepada sesama dan menyatakan pula perdapat sendiri melanjutkan pendapat orang lain.
Dalam media terbuka perihal menghargai menanggapi pendapat orang lain merupakan kebiasaan atau kejadian yang lumrah, maka sangat baik sering dikritisi. Ungkapan pendapat, ungkapan perasaan, ungkapan harapan, bahkan presentasi dari buah karya imaginasinyapun dapat dan perlu diterima sebagai kehadiran si empunya ungkapan itu. Penulis berpengalaman bertemu dengan orang orang yang sangat peka, mudah tersinggung ketika pendapat dan ungkapannya direspon kurang bersahabat atau justru perlu dikritisi. Orang seperti ini bisa marah. Sebaliknya kita yang harus merespon harus memiliki bekal juga untuk bagaimana bisa memberi respon yang bakal diterima tetapi obyektif dan kritis. Demikian adalah kewajaran dalam hidup ini berrelasi, berkomunikasi, saling memberi respon.
Kesalahan merespon sangat merugikan atau merusak komunikasi. Miskomunikasi bisa merusak relasi. Karena itu kapan saja dimana saja perlu ada sikap hatihati membuat respon guna memelihara baik mutu komunikasi untuk membangun relasi.
Karena perihal “menghargai pendapat” ini semakin jelas disini menyangkut cara cara hidup “kapan saja dimana saja” juga dalam kehidupan sehari harinya, maka harus tertanam cara pola berfikir kita sendiri sehari hari dalam menghadapi kehidupan ini. Dari segi kebutuhan berrelasi, kebutuhan berkomunikasi, pola piker kita harus semakin cerdas, dan berpola selalu positip. Maka pola piker dalam menanggapi banyak masalah kehidupan yang harus cerdas harus dibangun yang selalu siap melihat positip segalanya. Pola piker itu menjadi pedoman tetap bahkan menjadi “watak” yang pelihara setiap kali harus mengambil keputusan. Atau juga sekali peristiwa saja orang bisa berpikiran positif, merespon positif, menerima baik, setuju, atau suka, atau senang. Pilihan lain bisa juga menerima negative : tidak suka, tidak mau paham, benci sampai menolaknya. Pola piker negative yang selalu siap tidak suka itu dan siap merespon nagatip dapat menjadi pula yang disebut Negative thinking. (Menyedihkan manakala pikiran negatip dilandaskan pada, iri hati, cemburu buka, anti perbedaan, sentiment sara, politis, dsb)
Pak Darmo tinggal ditengah kota Yogyakarta tahun 1997. Rumahnya biar ditengah kota tetapi tetap saja bisa dikatakan rumah di kawasan kumuh. Rumah itu tidak bertembok batu bata dari bawah sampai atas. Di Yogya disebut rumah kotangan, dibawah sampai 1 meter batu bata diatasnya dinding bamboo yang dilapis atau hanya dicat semen. Tetapi rumah Pak Darmo itu mengesan bagi saya sampai tua. Karena ditembok kamar depan tertulis dengan huruf besar: Kehidupan kita tergantung pada : Pola Makan, Pola Gerak dan Pola Pikir.
Pak Dharmo seoang pemijat refleksi yang banyak dikenal dan sering memijat sambil memberi nasehat bukan saja soal kesehatan badan tetapi juga kesehatan mental dan kebijaksanaan. Orangnya sudah lama meninggal rumahnya sudah berubah wajah. Tidak tahu apakah tulisan itu sekarang masih ada disana. Tatapi jelas masih tertulis disanubariku terolah menjadi thema milik dan kesukaan saya. Dan dengan menulis atau bercakap saya setiap ada peluang saya bagikan pemikiran saya gaya Pak Darmo itu.
Bagaimana seseorang menemukan niat untuk berfikir positip dan meninggalkan sikap negative. Pengalaman panulis terjadi sekitar delapan bulan dari sekarang. Pengalaman setiap orang pasti berbeda. Akhir tahun yang lalu ada peringatan bagi saya harus membayar hutang. Januari, Februari, Maret tabunganku belum mencukupi untuk melunasinya. Pada bulan April ada pertanyaan dari anak saya Bapak mau di”caosi” (diberi) hadiah ulang tahun apa.
Saya jawab, nanti setelah gajian saja beri Bapak uang yang banyak untuk membayar hutang. Dst dst dst. Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa bisa jadi usaha kita sekali waktu mungkin karena salah hitung dst, tertimpa tangga dan jatuh sulit bangkit. Tetapi akan datang waktunya datang pertolongan. Ada muncul kesadaran terhadap ketidak adanya kegunaan bersedih hati. Ada kesadaran bagaimana kita sering membuang energy dan mau kerja sendiri tanpa ada orang lain, Kesadaran bahwa sia sia berfikir seakan akan kita sendiri yang sengsara.