Kalau semua orang mau bicara damai, damai dan damai, mestinya berani tegas bilang hidup itu harus penuh cinta. Cinta kasih itu hidup yang indah. Maka dinamika hidup yang indah itu dinamika cinta kasih. Mungkin beda dengan Demo Damai, demo(dengan huruf kecil saja) -cinta kasih dampak dan ekornya berbeda dari DEMO Damai. Sebab Perempuanlah guruku bercinta, hidup bercinta. Siapakah perempuan itu?.
Penulis besar kuno berkisah tentang perempuan yang diberikan kepada lelaki pertama sebagai teman rekan pendamping hidup bagi Adam, manusia pertama. Adam menjadi lelaki nyata berdampingan dengan rekan teman kawannya yang perempuan. Perempuan nyata nyata ada karena ada lelaki, lelaki baru nyata ketika ada perempuan. Keduanya saling membutuhkan untuk benar benar nyata menjadi dirinya. Lelaki dan Perempuan hidup bersama secara nyata dengan sepenuhnya dalam bercinta. Maka berlakulah hukum “hidup yang penuh” itu hidup bercinta. Cinta adalah relasi antara manusia didalam relasi itu yang satu memberi respon positip terhadap kondisi nyata (obyektip) yang ditampilkan oleh yang lain.
Tubuh perempuan seutuhnya memanggil hasrat lelaki yang memang mengundang minat perempuan. Lelaki datang dalam pelukan perempuan bersama seluruh kemanusiaannya yang tampak dan yang tidak tampak, yang hanya mereka masing masing memahaminya. Mereka bersama menjadi satu tubuh dalam kasih dan cinta, saling memberi dan menerima mencapai kebahagiaan mereka. Perempuan sadar sepenuhnya bahwa dia perempuan karena hadirnya lelaki, dan sebaliknya lelaki “menjadi” dirinya lelaki karena hadirnya perempuan yang direspon.
Pada saatnya terlahir putera manusia dari Rahim Perempuan. Pada waktunya anak manusia setelah 9 bulan bertumbuh dalam rahim perempuan memperoleh nafas baru di dunia nyata dan dalam pelukan dada dan susu perempuan ibunya, anak manusia merasakan “hidup”nya dari perempuan ibunya itu. Hidup menusia baru merasa aman dan nyaman didekapan perempuan. Anak manusia bertambah energy kehidupan dari air susu yang mengalir dari buah dada perempuan, ibunya. Anak manusia belajar artinya membuat berulang ulang respon positip terhadap perlakuan perempuan itu pada dirinya. Ada kehangatan ada kelembutan ada sentuhan, ada belaian dengan gairah dan kesenangan anak manusia meresponnya. Respon positip itu bentuknya : menerima, menerima dan menikmati, dan pada saatnya memintanya. Ketika perempuan terlambat memberi, anak itu menangis, itulah kekecewaan dan penantian yang dirasa tidak nyaman. Kasih dan memberi, peduli dan merespon itulah kehidupan awal, itulah Cinta.
Pembaca yang budiman, Demikian pulalah pada diri penulis. Ibu, mama, simbok, ibunda ku itulah guru pertamaku tentang cinta dan bercinta.
Cinta dan kehidupan berproses dan berkembang. Refleksi dan pengamatan terhadap cinta dan kehidupan dengan mudah pembaca runut dari ingatan akan peristiwa yang ditandai oleh memori memori kehidupan kita yang mengesan. Penulis masih mengingat segar bagaimana penulis berrebut dengan adik untuk bergelayut dileher ibunda. Penulis teringat perilaku anak-anak yang mulai bisa membedakan lelaki dan perempuan. Ada kecenderungan seksual awal yang masih bersifat gender, sebagaimana orang dewasa juga mengarahkan dengan perbedaan pakaian. Tetapi hasrat lelaki perempuan kadang tersirat kuat dalam permainan anak-anak. Penulis teringat bagaimana seorang teman dari kota memperkenalkan teman yang perempuan dengan nama “itu pacarmu”, karena perempuan itu begitu perhatian membuatkan penulis catatan pelajaran waktu penulis sakit. Kanak kanak itu dijodohkan menjadi berpacaran yang bahasa dewasanya bercintaan. Ada istilah cinta monyet, belum didasarkan pada rasio.
Perkembangan dan pertumbuhan kehidupan dan cinta sangat berdekatan dengan perkembangan pertumbuhan badan, kemampuan genetalis atau hasrat seksual. Tetapi salah besar bila melihat semua hal itu menjadi sama dan satu saja, yang tepat bersamaan dalam satu manusia. Sebab kesalahan itu fatal bisa mengakibatkan kesimpulan salah bahwa Cinta adalah Seks, atau Seks itulah Cinta.
Pembaca yang budiman, adalah suatu anugerah yang tak ada taranya bahwasanya Ortu saya penulis ini membiarkan diri saya memasuki dunia pendidikan yang istimewa. Mutu intelektual mental budaya dan badan disemboyankan dilembaga dalam adagium S.S.S. kepanjangan dari Sanctitas / Kesucian, Sciencia / Pengetahuan, dan Sanitas / Kesehatan. Lembaga pendidikan 24 jam sehari karena di asrama. Suatu arah pembangunan mental secara integral dari sikap belajar, sikap berteman, dan seluruhnya bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup. Selanjutnya memang lepas dari orientasi dan perhatian terhadap perempuan, dimana ibunda penulis meninggal dunia saat penulis berumur 19 th. Ketika itu cinta kasih penulis terarah kepada nilai nilai yang lebih bersifat falsafat dan teologia selama 4 tahun. Cinta bagi penulis mendapat bentuk lebih social kemasyarakatan, persahabatan, solidaristik, kebersamaan terbuka, sedikit platonic bukan erotic, dengan media kerjasama, berbagi pendapat, berbagi pengalaman, baik itu dengan dan bersama antar pria dan wanita tetapi tidak erotic.
Justru dewasa ini penulis memperoleh banyak illistrasi, kesaksian dan pengamatan betapa memprihatinkan banyak remaja dalam mengarungi kegalauan keremajaan. Hal itu terjadi sampai sebelum menemukan solusi pernikahan. Ada banyak yang kesana kemari mencari jalan keluar informative maupun ilustratif secara/ dari sumber yang kurang bisa dipertanggung jawabkan. Dan semua itu penulis cenderung “menyalahkan” peran ortu dalam mendewasakan anak anak mereka. Penulis mendapatkan betapa jauh konsepsi cinta bagi mereka dari martabat yang harus mereka pertanggung jawabkan. Bila kebijakan ayahanda mentok dengan problem ekonomi bagi anak-anak meraka masih penulis harapkan kasih ibu menjadi garis pertahanan terakhir untuk terbentuknya kedewasaan yang utuh. Kehidupan dan cinta kasih yang membawa mereka dikemudiannya menjadi ayah dan ibu yang bermartabat dan bahagia yang mampu juga menjadi guru cinta bagi anak mereka.
Berbagi pengalaman selanjutnya penulis harus paparkan cinta yang penulis pelajari dari Perempuan yang memilih diriku dan yang dipilih olehku sebagai pendamping seumur umur hidup ini.
- Cinta itu terbuka dan cerdas. menerima dan belajar bersama, saling menjadi murid. Ini lebih baik dari saling menjadi guru. Cinta itu rendah hati dan merengkuh, cenderung ambil keputusan bersama daripada mendekte. Cinta juga menghargai prestasi dan boleh mengharapkan penuh percaya kelebihan yang dicintai. Sekali waktu ada beda pendapat, sekali waktu berdebat, tetapi sekali waktu salah satu harus diam dan menunggu perkembangan. Suatu ketika tercetur ucapan penulis kepada isteri : Kau sekarang pinter membantah. Jawabnya siapa dulu gurunya, hidup bersama sekian tahunkan tentu bertambah pinter dong…..
- Cinta itu komitment proaktip, tanpa pamrih, mengorbankan diri. Ini membuahkan kesetiaan. Kesetiaan itu didukung oleh saling percaya dan menghargai. Pada waktu pengantin baru, dan awal hidup bersama serumah penulis merasa terkesima atas pelayanan yang diterima dari isteri karena penulis terbiasa sejak remaja belajar hidup mandiri.
- Cinta itu berdoa bersama, saling mendoakan, juga saat kami tidak bersama dalam waktu lama. Mendoakan harus serasa memeluknya dari jauh. Cinta pernikahan adalah cinta segitiga. Segitiga pertema adalah Tuhan Suami Isteri, Segitiga kedua adalah Ayah Bunda dan Anak-anak.
Ketiga sendi Cinta ini mengukuhkan konsepsi Cinta : Relasi dimana yang satu memberi respon positip kepada yang lain dalam kondisi obyektif. Dengan pemahaman dasar ini intensitas hati akan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi obektif disesuaikan dengan tuntunan hukum kepatutan.