Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasionalisme, Tradisi dan Keluarga

20 Mei 2015   11:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia selalu memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tujuan peringatan ini adalah untuk terus memelihara dan menguatkan semangat nasionalisme kebangsaan kita dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk memajukan bangsa dan negara, tentunya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hari kebangkitan Nasional dimaknai sebagai kebangkitan nasionalisme bangsa di masa lalu dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia untuk melawan berbagai bentuk penindasan/penjajahan negara lain. http://sejarah.kompasiana.com/2015/05/19/ada-apa-dengan-hari-kebangkitan-nasional--746067.htmlTulisan di Kompasiana yang pagi ini pertama kali saya baca dari Rekan Riana Dewie.

……………………………………..

“Foto Kakek saya seperti fotonya Ki Ajar Dewantara” tulis anak saya termuda yang belum pernah melihat kakeknya. Tahun yang lalu di bulan Juni keluarga besar Trah (anak cucu cicit) dari almahum ayah saya berkumpul untuk reuni sambil launcing buku biografi almahum Ayah, tokoh guru perintis dari Ganjuran Yogya Selatan, tahun 1900 – 1976. Salah satu kesaksian tertulis dibuku itu dari anak saya sendiri tersebut diatas.

Pada tanggal 16 Mei 2015 yang baru lalu kami mengadakan lagi pertemuan Trah (keluarga besar anak cucu ayah saya). Lebih dari 50% anggota keluarga yang diharapkan, bisa datang. Dari Lima bersaudara saya datang tiga kelompok keluarga. Bahkan ada satu keluarga dari keturunan kakek saya, berarti tautan lebih luas.

Dalam pertemuan itu saya diberi waktu berbicara, atas nama eselon pertama dalam komunitas trah tersebut. Beberapa hal yang saya sebutkan antara lain: Pertama kali terkumpul warga Trah ini secara sengaja, yaitu pada tahun 2001, sambil memperingati 25 tahun wafatnya ayah kami. Ditekankan makna pertemuan ini adalah mendukung pelaksanaan pangamalan Perintah keempat (dari 10 Perintah Allah) “Hormatilah Orang Tuamu”. Ayah bunda menceritakan dan mengkisahkan kakek nenek dari para anak-anak, itu artinya memberi tauladan kepada anak-anak bagaimana menghargai dan menghormati orangtua. (“Mikul dhuwur Mendhem Jero”). Diharapkan anak-anak itu nanti juga memberitahukan kepada keturunannya bagaimana mereka menghargai ortu mereka. Disamping itu dapat diciptakan pelbagai cara untuk memperolehmanfaat dan kepentingan silaturahmi antar warga keturunan. Salah satu capaian dari Keluarga Besar kami ini diterbitkannya buku biografi : “Mc.Sumadi Soemaatmadja, guru missi ganjuran”, dengan beaya kolektif intern keluarga dipersembahkan kepada Komunitas Gereja setempat yang merayakan hari jadi yang ke 90.

Capaian sebelum penerbitan buku adalah dicapainya kesepakatan bahwa rumah peninggalan Kakek Guru itu tidak akan dijual, tetapi harus dilestarikan sebagai symbol persatuan yang bisa dikunjungi semua cucu-cicit manakala mereka perlu istirahat saat datang menabur bunga bagi para almarhum di pemakaman setempat. Maka semakin tampak perlunya dan pentingnya keakraban persaudaraan, dan semakin sering pertemuan entah kelompok kecil entah kelompok besar, kemanfaatan akan semakin bisa diciptakan dan dirasakan.

Ada pertanyaan: sampai kapan kebiasaan pertemuan ini bisa dilaksanakan? Saja disana menjawab: sampai semua orang lupa dan atau merasa tidak perlu menghormati orang tua dengan mengadakan “peringatan” kepada mereka. “Mengingat” adalah salah satu indicator “mencintai”. Memoir, Peringatan, Memori adalah pendukung terjadinya perilaku kebiasaan dan tradisi.

Tradisi sebagai perilaku kebiasaan, kebiasaan yang dilakukan turun temurun, akan menjadi dukungan bagi rasa persatuan seketurunan, bagi kebiasaan berkumpul, bagi terbentuknya cirri khas kelompok itu. Kelompok besar dapat disebut trah, suku, dan bangsa yang mementingkan silaturahmi kekeluargaan. Bangsa memiliki cirri khas yang terangkum dalam “Nasionalisme”.

Saingan besar dari kelompok nasionalis ini, adalah para pendukung kepentingan pribadi eklusif. Juga kepentingan paham funamentalis yang eksklusif, dibidang social, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan.

Penentu yang sangat awal dan mendasar adalah visi misi paham dan praksis budaya dalam keluarga, system pendidikan dan kebijakan Negara.

Merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun