Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benang Benang Merah Kehidupan

12 April 2015   11:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnyalah pagi ini saya tertarik dan mencatat dari tulisan yang sempat saya buka dan baca setelah membuka internet :

1.“ada kritik keras”; “pidato kayak bicara didepan kaca”…..dari sini :“"Dari pidato Megawati, ada kritik keras kepada parpol pendukung, terutama PDI-P, karena pidato itu kayak bicara di depan kaca," kata Nico dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Smart FM di Jakarta, Sabtu (11/4/2015). Dari Kompasdisini : http://nasional.kompas.com/read/2015/04/11/13131921/. Pidato.Megawati.kayak.Bicara.di.Depan.Kaca.?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news

2.“mentalitas instant”, “menghindar dari kesulitan, hanya ingin kemudahan” itu saya petik dari kutipan pidato Megawati juga saya ambil dasi sini : “Saya sependapat dengan opini Rokhmin Dahuri, bahwasannya, banyak orang yang ingin jadi pejabat tanpa mau membesarkan partai. Rokhmin mengkritik mentalitas instan banyak orang dalam memandang karir dalam partai. Rasa capek, kesal, kecewa, sedih, pahit adalah bagian dari dinamika partai. Dus rasa bahagia, bangga, syukur, penuh asa, sukacita termasuk di situ. Tapi sebagaimana sifat dasar manusia, banyak orang menghindari kesulitan, hanya menginginkan kemudahan, kesenangan. Di situ saya merasa sedih. ( Astro Doni di : http://politik.kompasiana.com/2015/04/11/katabelece-megawati-waskita-joko-widodo-711797.html )

3.Potret situasi kongres partai yang juga membuat evaluasi terhadap fenomena masyarakat luas serta intern partai itu berkesan jauh berbeda dari sebuah kesaksian yang manis, penuh syukur dan kerendahan hati bukan arogansi, dari Bp. Tjiptadinata Effendi ini :

“Serasa bagaikan mimpi. Ketika kami berada di aula California State University. Putra kami yang dulu ketika berusia 6 tahun,hanya bisa merayakan Ulang tahunnya dengan kue tart terbuat dari gabus, saat ini tepat di usianya yang ke 21 tahun. Dinyatakan :” Lulus Master of Science dengan predicate Magna Cumlaude” …Ditempa oleh kepahitan hidup dan penderitaan demi penderitaan, menjadi pelajaran paling berharga bagi kami sekeluarga, agar senantiasa jauh dari kesombongan. Karena sudah merasakan bagaimana getirnya menjalan hidup sebagai orang miskin dan melarat. Iluka, 11 April, 2015. Tjiptadinata Effendi disini http://lifestyle.kompasiana.com/ catatan/2015/04/12/ 7-tahun-hidup-merangkak-melawan-badai-kehidupan-717668.html

Saya mengingat sebagai warga PDI saat itu saat Ibu Megawati diorbitkan oleh Pak Soerjadi, oleh Pak Sutarjo Suryoguritno, di dukung rekan-rekan muda dari Yogyakarta dan Timor Timur, bagaimana kongres di Surabaya, dst. Saya sangat memahami dan belajar bagaimana para petinggi partai banteng khususnya dari eks unsur PNI menghayati kepemimpinan itu. Saya melihat ada benang merah tebal dengan apa yang konon terjadi saat ini. Saya melihat mereka belum kreatif dan masih mau nostalgis dan bertahan, kurang menyadari dewasa ini tentunya sudah tercipta reformasi sebenarnya. Perubahan dari partai diluar pemerintahan menjadi didalam (mestinya) pemerintahan saja tidak segera nyaman, menunjukkan ada sedikit “kemapanan” yang belum dinyamankan. Tetapi sudahlah saya peduli dan berterima kasih saja kepada Pak Tjiptadinata yang member bahan renungan untuk keluarga saya.

Terus terang tidak jarang saya dan isteri bertengkar, atau berdiskusi, perihal penanganan anak-anak yang menjadi tanggungjawab kami. Kami mendapat titipan dari lima keluarga luar Jawa yang belajar di Yogyakarta. Seorang dari Palembang, aseli Jateng. Seorang lagi Papua-Jawa, dan tiga yang lain Papua–Batak. Sungguh perpaduan yang tidak demikian mudah di”rumus”kan. Tetapi diskusi saya suami-isteri memperoleh pembelajaran sbb:

1.Memang mereka itu masih remaja, belum dewasa, masih akan berekembang, tidak stabil, suka berubah tidak mudah ditebak

2.Latar belakang keluarga mereka “tidak cukup memberi bekal” pedoman perilaku, uang memang tidak kurang.

3.Perilaku sederhana yang membutuhkan pembiasaan, pembudayaan, tidak muncul yaitu : kesantunan, kebersihan, ketertiban dalam makan, tidur, belajar.

Sepertinya pidato didepan isteri saya bagaikan pidatonya Ibu Mega kayak bicara didepan kaca. Saya membandingkan diri saya yang pernah muda. Saya pernah “tersinggung” oleh penilaian orang tetapi justru termotivasi jauh untuk berprestasi. Saya pun berharap bisa “menyentuh” anak-anak agar termotivasi berbuat positif sedini mungkin. Sementara itu harus diingatkan betapa pentingnya pendidikan dalam keluarga untuk terbentuknya perilaku yang berbudaya. Apa lagi kalau mengharapkan anak seperti : Ananda Ali anak umur 6 tahun yang berjuang menjadi tulang punggung keluarga bagi ibunya yang buta dan kakaknya yang sakit……….

Pendeknya kita bisa membuat imaginasikan, suatu keterkaitan antar factor factor dimedan pengamatan kita dengan istilah : Benang-benang merah kehidupan. Bandingkan : “sesuatu yg menghubungkan beberapa hal (faktor) sehingga menjadi satu kesatuan (kiasan)” (http://www.kamusbesar.com/48503/benang-merah).

Dengan menemukan benang merah, kiranya bisa ditemukan alur historis, alur sebab akibat, alur keserupaan jenis, rupa, warna, kekuatan, dsb yang memudahkan dalam analisa selengkapnya. Ingat bahwa informasi penting untuk membuat evaluasi dan menyusun perencanaan, mengambil keputusan dst.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun