Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sesat Pikir Menilai Orang

31 Maret 2015   10:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan pertama adalah : Siapa Menilai Siapa ? Pada tulisan sebelum ini saya tulis : Menilai Orang Lain itu Tuntutan, menilai diri sendiri itu keutamaan. Dalam masa kampanye Pemilu 2014 ini sepertinya saya didesak untuk berkesimpulan bahwa “menilai orang lain” itu merupakan Tuntutan Hidup Sosial. Bukan saja nama partai tetapi nama pribadi minta dinilai. Setiap kali kita mendengar membaca tentang orang lain yang harus kita sikapi. Masih banyak lagi fenomena orang menilai orang, seperti : Kepala semua tata kerja/organisasi kepada bawahan, Hakim terhadap terdakwa, Guru terhadap Siswa, Ortu terhadap anak, tetapi juga siapa saja terhadap dirinya sendiri. Itu semua Harus, atau kita akan menjadi orang tertutup dan tidak peduli. Dan itu baik sekali bila penilaian kita tepat dan bermanfaat minimal tidak menimbulkan gangguan, salah-salah merusak hubungan baik yang sudah lama dibagun. Maka jangan sampai ada Sesat Pikir dalam menilai orang.

Pertanyaan kedua adalah : Menilai orangnya atau kerjanya/perbuatannya, atau keduanya ? Memang orang bisa menyoal orangnya atau perbuatannya,salah satu, atau perbuatannya kemudian orangnya, keduanya. Semua tergantung dan disempurnakan oleh/pada pertanyaan berikutnya ini.

Pertanyaan ketiga adalah : Bagaimanan Latar Belakang, dan tujuan penilaian itu untuk apa ?Penilaian harus bagaimana dan seperti apa tergantung pada latar belakang, kedudukan penilai dan yang dinilai, hubungan/relasi antar mereka dan tujuan penilaiannya. Disamping itu juga ada ukuran-ukuran penilaian sesuai kesadaran moral, hokum, peraturan, kebiasaan atau aturan tidak tertulis. Dengan ukuran-ukuran dan tolok ukur yang tertentu itu orang menilai peristiwa, perilaku orang, dan lalu akhirnya pelakunya yaitu orangnya. Penilaian terhadap orang atau perilakunya berupa apapun, dilarang bila posisi kita memang sedang ber”perkara” dan berdiskusi mengenai “pendapat”, “pemikiran”, yang memang sebatas berdiskusi baik formal ilmiah maupun informal saja.

Pertanyaan keempat adalah : Tanpa mengurang keharusan mengkaji kebenaran peristiwa, banyak kali kita harus mencoba mengerti “motivasi” perbuatan seseorang. Menilai seseorang sebaiknya mempertimbangkan maksud baik orang tersebut. Hal tersebut berguna bagi penilai untuk tidak berlaku keras dan kejam terhadap kesalahan orang. Perlu disadari motivasi dan niat baik perlu menjadi sebagian ukuran berat ringan kesalahan. Atas dasar kesalahan itu berat bila ada kesengajaan dan kesadaran penuh. Seperti diketahui menurut suatu paradigma/ketentuan moral ada : kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan materialiter adalah kesalahan nyata, menurut tata lahir yang dibuktikan terjadi, dan kesalahan formaliter yaitu kesalahan yang lengkap/resmi melanggar hukum moral, karena disadari dan diniati.

Pertanyaan kelima adalah : Apakah penilai benar-benar tanpa atau dengan prasangka-prasangka terhadap sasaran pada saat sebelum menilai.?Prasangka baik dan prasangka buruk atan mempengaruhi hasil penilaian, dan cenderung membuat penilaian (apriori) itu tersesat dan kurang valid. Sementara keputusan penilaian (aposteriori) obyektif sesungguhnya diperoleh dari fakta dan data murni berdasarkan penelitian bukti.

Pertanyaan penutup adalah:Pernahkan anda menilai diri sendiri ? Menilai Diri Sendiri :sebagai refleksi dan mengkaji jati diri sendiri atau sekedar upaya mencari pembenaran diri.

1.Orang yang pernah menilai diri sendiri, dengan atau tidak dengan dikaitkan pada upaya koreksi diri, akan lebih bersabar menghadapi kepelbagaian orang.

2.Orang yang pernah menilai diri sendiri, dengan atau tapa cermin, akan lebih mampu mengukur kemampuan diri yang sebenarnya, akan mengurangi peluang konflik dengan orang lain.

3.Menilai orang lain boleh disebut tututan social, tetapi menilai diri sendiri adalah keutamaan hidup dan kearifan yang menyejukkan.

Tulisan ini melanjutkan renungan saya yang sudah agak lama lalu ini untuk sedikit lebih menyempurnakannya :

a.http://filsafat.kompasiana.com/2014/03/21/menilai-orang-lain-dan-menengok-diri-sendiri-641394.html

Dibaca 935 Komentar: 6430

b.http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/03/23/ketika-saya-dinilai-orang-negatif-641620.html

dibaca 135 Komentar: 1610.

Hati-hati jangan sesat jalan piker menilai orang, jalan kembalinya susah dicari.

Untuk rekan Kristiani :Selamat Hari Raya Paskah.

Salamku hormatku untuk semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun