Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Awal Pengakuan adalah Penemuan Diri

18 Juli 2012   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengakuan itu adalah Berbagi Diri.. Pada awalnya adalah Penemuan diri. Penemuan diri bisa merupakan kesadaran diri yang menggembirakan. Orang itu bahagia menemukan diri yang ternyata memuaskan. Orang itu gembira, titik. Orang itu bangga dan bahagia, titik.

Tetapi Penemuan diri pada kenyataan, atau penemuan atas diri sendiri, yang apa adanya, itu sering menyakitkan. Sebab ternyata kita serba tidak sempurna. Maka pertanyaannya adalah “dapatkah kita sampai pada pengakuan itu.?” Pengakuan yang pada dasarnya adalah menyampaikan hal dirinya sendiri kepada orang lain – berbagi diri pada orang lain.

Dengan cermin cerita ini anda tentu maklum dengan maksud saya. Sebuah penemuan ditahun 1984. Saat itu penulis mengikuti Penataran P4, 120 jam, sekitar tiga minggu. Peserta adalah para pimpinan Orpol, Ormas, Lembaga Pendidikan. Maka selain para peserta itu pimpinan dan orang dewasa penuh, juga nampak beberapa peserta kaum muda. Mereka dari Ormas Mahasiswa atau Pemuda. Berkumpul bersama dalam kancah “pendidikan” dan pergumulan bersama tentulah wajar terjalin kerjasama belajar bersama dan pertemanan diantara orang dewasa (Andragogi). Waktu itu seorang aktivis mahasiswa yang seorang gadis yang cerah menjadi bintang tenar ditengah kami sekitar 15 orang dalam satu kelompok kerja. Dan eloknya anak itu nempel saja pada saya dan ada saja yang ditanyakan pada pemulis tentang apa saja. Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang menyangkut pribadinya saya berikan dia fotocopy halaman halaman buku karya tulis teman seklas saya yang sedang belajar untuk S2nya di Pilipina. Saya beranggapan itu praktis, dan menjawab pertanyaan. Buku itu tentang pembangunan pribadi.Empat, lima lembar saya berikan kepada gadis itu. Dengan maksud baik: membantu dia. Apa yang terjadi di akhir penataran kami. Gadis itu salah terima, teks yang saya fotocopy itu disangkanya tulisan saya dan dia kecewa besar ketika saya luruskan persepsinya.

Aku menemukan diriku bahwa aku memang bukan penulis teks bacaanku itu dan itu membuat gadis itu kecewa. Tak kusangka dia berfikir itu semua karyaku……. Dan aku menyesal mengapa tidak buku itu saja seluruhnya saya berikan. Image dan gambaran gadis itu salah dan itupun mengejutkan dan aku juga menyesal mengapa bukan aku sendiri penulis buku itu. Kenyataan itu menyakitkan saat itu.

Pengalaman actual yang memberikan kesan berbeda adalah saat aku menerima buku dan membaca karya tulis Rekan kita Ibu Arimbi Bimoseno. Buku itu memberi “Cermin Kehidupan dan Pengukur Diri” seperti judulnya, juga kepadaku. Dan itu membuat aku dan kehidupanku bercermin. Dan itu membuat aku bisa mengukur diri dan memperoleh kebahagiaan, seperti diharapkannya : “Semoga buku ini menorehkan warna cerah dalam bingkai lukisan hati pembaca”.

Awalnya saya kurang bahagia bahwa Rekan Arimbi menggunakan paradigma Karma dalam hampir seluruh bukunya. Saya merasa Rekanku ini terbelenggu oleh “Karma”. Dia ini mengajak Penemuan Diri dengan tuntunan Karma, bahkan membuktikan hokum karma dalam cermin kehidupan, dan mengajak menyikapi Peristiwa terkungkung dalam kisi-kisi Karma.

Tetapi saya semakin paham bahwa karma dipakai oleh Rekanku ini sebagai methoda pendekatan dalam penemuan diri, pemahaman peristiwa maupun menguji prinsip prinsip kehidupan yang kita pakai dalam kehidupan ini.

Sebab diakhir bagian buku ini Rekan penulis ini menunjukkan kiprah kebebasan hatinya dalam …..” C I N T A “. Diawali dengan Cinta itu “kebebasan” dari dosa dan dari kepentingan sendiri sampai pada Cinta itu “keselamatan dari Tuhan” hingga Cinta itu “kedamaian”.

Buku ini buku kesejukan yang tidak menyakitkan dari seorang penulis yang dalam relaksasi mewartakan kedamaian. Dia itu menurut Rekan Aridha P. disebut Mutiara yang bernyawa. Saya melihat Ibu Arimbi Bomoseno itu adikku dalam usia tetapi kakakku dalam kearifan, karena dia berani dan berhasil menulis. Sementara saya belum menerbitkan tulisan apapun. Di Kompasiana ini tulisan sebaik apa dari saya baru merupakan percobaan pembelajaran aseli tulen 100% .

Inilah pengakuan, ini tulus, lega, tanpa beban dan kejengkelan, berbeda dari cermin cerita pertama diatas. Dala cermin kedua ini Penemuan diri yang jujur nyata dan menggembirakan, karena kebenaran dan kepercayaan akan Tuhan yang memberikan Rahmat dan Hidayahnya sesuai dengan KehendakNya yang kudus.

Semoga pengakuan ini menggelitik anda yang akan memasuki bulan Suci bulan Ibadah Puasa. Semoa anda semua menemukan baik religiositasnya maupun spiritualitasnya, seperti kita baca dari tulisan baru-baru ini dari Ibu Arimbi Bimoseno juga

Selamat memasuki Bulan Ramadhan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun